tirto.id - Tak ada keramaian di butik Dian Pelangi Prive. Disambut seorang pria berjas hitam, saya mampir seminggu setelah toko itu dibuka di bilangan Kemang Raya, salah satu kawasan menterang di Jakarta Selatan. “Di sini kami ingin memberi kesan berbeda. Dari pelayanan sampai penampilan para pekerja,” ujar Haikal Aziz, manajer toko, sambil merapikan jas.
Toko ini mungkin bikin fans desainer Dian Pelangi heran. Selama ini citra butik Dian kental dengan nuansa tradisional. Sementara kesan macam itu di butik tersebut hanya terlihat dari bahan beberapa baju yang menyiratkan motif umum pada kain tenun.
Aziz antusias memberi tur dengan pemandangan berbagai jenis gamis dan kaftan. Perlu tenaga untuk mencopot baju dari gantungan. Busana-busana itu berat karena detail manik-manik yang memenuhi bagian lingkar leher, dada, dan pundak, serta lengan baju. Rentang harganya antara Rp1.000.000 sampai Rp3.000.000.
Sore itu Aziz harus meninggalkan saya untuk menemani tamu yang datang. Sang tamu, dengan raut wajah lelah dan berusia sekitar 40-an tahun, tengah bingung mencari busana untuk menikah di Mekkah. Segera setelah meletakkan tas kerja di sofa, si pembeli berjalan pelan menuju rak busana yang menggantung deretan kaftan putih.
Sambil melihat-liat, ia bertanya kepada Aziz tentang tren terbaru. Tapi ia tak segera setuju dengan saran manajer toko. Sang pembeli terus keliling sambil berpikir. Sesekali ia duduk diam beberapa saat sambil memandang manekin-manekin.
Matanya kemudian tertuju pada setelan blus, rok, dan hijab. Lantas ia menuju kamar pas untuk mengganti seragam kantor dan hijab dengan busana di tangannya.
Wajahnya baru tersenyum saat kami, orang-orang yang ada di dalam toko saat itu, meyakinkan bahwa pilihannya sudah tepat. Ini terjadi setelah ia tiga kali ganti busana.
“Yang penting kelihatan kalau difoto,” kata si pembeli.
Si pembeli akhirnya pulang dengan sopir pribadi menaiki Fortuner abu-abu setelah membayar lebih dari Rp5 juta, membawa beberapa potong busana. Ini hal yang lumrah terjadi pada Aziz.
“Orang datang. Pilih-pilih. Duduk dulu di sofa. Pilih lagi, mengobrol, baru membeli busana. Lama. Tapi tetap saja yang paling laris adalah tunik-tunik di bawah Rp200.000 dan hijab di bawah Rp100.000,” katanya.
Akhir pekan lalu, toko diresmikan dengan mengadakan peragaan busana. Sepanjang hari, Aziz melayani tamu. Mereka yang datang adalah istri-istri pejabat pemerintahan hingga anggota komunitas pengajian dari Palembang. Satu pembeli bisa membeli 15 potong baju dan bertransaksi puluhan juta rupiah.
Ia bersyukur Dian Pelangi punya waktu kosong untuk menggelar acara peresmian toko sebelum memasuki Ramadan. “Karena banyak pelanggan yang mencari baju bukan untuk Lebaran tapi justru untuk acara buka puasa mulai dari hari pertama,” ujar Aziz.
Selang sehari setelah Dian membuka butik, Anggia Paramita juga memanfaatkan hari sebelum puasa untuk memperkenalkan Majesté, label busana bikinannya. Ia menyewa sebuah ruang apartemen untuk memperlihatkan 24 busana, kain hijab, dan mukena.
Di ranah mode tanah air, Anggia adalah pemain baru. Ia belum terpikir membuka butik sendiri. Target untuk memasarkan busana secara offline adalah dengan menitipkan barang di outlet-outlet busana premium seperti Masari, Plaza Indonesia, dan Galeries Lafayette, Pacific Place—semuanya tongkrongan konsumer tajir di Jakarta. Kini Anggia berupaya memenuhi sejumlah persyaratan agar koleksinya bisa segera hadir di sana. Sementara ini ia menjual produk busananya lewat media sosial.
Anggia menilai dirinya sendiri bahwa desain busananya bisa sesuai pasar gerai. Salah satu produk andalannya adalah blazer berkerah bundar seperti busana ikonik Jackie O, mantan ibu negara Amerika Serikat. “Saya mengidolakan Jackie,” katanya.
Tapi, bedanya, Anggia menjauhi warna merah muda. Ia memilih warna yang lebih kalem: biru dan putih serta memberi hiasan bordir bunga pada busana. Blazer dibuat sebagai busana pelengkap gamis. Harga busana-busana karya Anggia antara Rp800.000 hingga Rp.5.000.000.
Koleksi busana premium juga diluncurkan Restu Anggraini. Ramadan tahun ini ia membagi waktu untuk meluncurkan tiga jenis koleksi busana. Busana diluncurkan beberapa minggu sebelum puasa, masa awal puasa, dan mendekati Lebaran.
Dari sisi target pasar, koleksi terbagi lagi untuk kelas atas dengan jenis busana yang dibuat berdasarkan pesanan, dan untuk kelas menengah yang diproduksi massal. Bulan ini Restu punya ruang dagang baru lewat kerja sama dengan Matahari Department Store.
“Saya membuat 30 gaya busana untuk dijual di 90 cabang Matahari. Busana dibuat khusus untuk Matahari,” ujarnya. Busana itu di antaranya setelan celana lebar dan blus lengan panjang berwarna senada.
Satu forum jual-beli yang berkesan untuknya jelang Lebaran adalah bazar yang digelar oleh komunitas. Restu adalah pendiri Hijabers Community, yang paham atas tren Generasi Milienial, kelompok pasar perempuan muslim yang bergairah dan menjadi target laba bagi industri fesyen dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu aktivitas Restu adalah menyelenggarakan bazar Ramadan. Kini beberapa anggota komunitas tersebut berprofesi sebagai desainer busana. Bazar komunitas adalah ruang mereka berjualan bersama. Tahun ini bazar diadakan di Kota Kasablanka, salah satu mal di Jakarta Selatan.
“Laku keras," kata Restu. "Waktu itu saya membawa enam karung barang dagangan. Semua terjual. Sempat juga membawa beberapa koper berisi baju dan hijab. Ini juga habis. Momen bazar memang saya manfaatkan untuk menjual barang diskon."
Kenikmatan berdagang juga dirasakan dari penjualan daring. “Orang bisa lebih kalap kalau belanja online,” katanya.
Dari pesanan daring, Restu bisa menjual 20.000 hijab dalam tempo tiga hari. Produk lain yang masih menarik pembeli adalah terusan panjang dengan aksen ruffle pada bagian bawah. Dulu, Restu dicibir lantaran mengeluarkan gamis dengan model tersebut. Ternyata produk itu dengan cepat menjadi favorit. Kini aksen ruffle bahkan banyak ditemui pada busana muslim, selain karya Restu.
Bagi Restu, tren busana tak selalu berganti. Ada jenis busana laris yang tetap ia pertahankan. Ramadan tahun ini produksi busananya meningkat dua sampai tiga kali lipat.
“Bisa bayangin enggak sih gimana Pasar Tanah Abang di waktu-waktu kayak sekarang?” selorohnya dengan nada bercanda merujuk sentra grosir terbesar se-Asia Tenggara di Jakarta Pusat.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam