tirto.id - Mariah Idrissi tak pernah menyangka ia akan menjadi model terkenal. Meski tinggal di London yang kosmopolitan, ia gadis muslimah 23 tahun yang taat berhijab—ayahnya Pakistan, ibunya Maroko. Ketika seseorang menelepon dan memintanya menjadi bintang iklan H&M, jaringan peritel pakaian terbesar kedua di dunia setelah Zara, Idrissi setengah tak percaya, "Anda yakin mereka tahu saya memakai hijab?"
Kemunculan Idrissi dalam iklan pendek H&M, Close the Loop, cukup mengejutkan dunia fashion. Banyak yang melihat kemunculannya sebagai seorang hijabi dalam dunia fashion mainstream sebagai sebuah pencapaian besar. Ia menciptakan tren baru, dan kini menjadi pusat perhatian berbagai media gaya hidup.
"Ini mungkin karena fashion hijab mulai meledak dalam beberapa tahun terakhir," katanya, rendah hati.
Idrissi benar. Belakangan, industri hijab mengalami kemajuan signifikan. Brand-brand ternama mulai melirik kecenderungan ini sebagai peluang besar untuk memangsa pasar baru. Selain H&M, brand-brand seperti DKNY, Tommy Hilfiger, dan Mango ikut meluncurkan koleksi busana muslim.
Awal Januari 2016, brand sebesar Dolce and Gabbana pun menunjukkan usaha yang sangat serius untuk bersaing di pasar busana muslim. Untuk pertama kalinya, mereka meluncurkan koleksi jilbab dan abaya—busana wanita Arab berbentuk jubah berlengan panjang. Dalam 20 gambar di Style.com/Arabia, di antaranya mereka menampilkan jilbab sutra yang sangat mahal berwarna hitam dan dihiasi banyak renda khas Dolce and Gabbana. Majalah Forbes menyebut ini sebagai manuver bisnis tercerdas tahun ini.
Dalam buku Muslim Fashion: Contemporary Style Cultures, Reina Lewis, profesor London College of Fashion, menulis: selama ini busana muslim "kurang terwakili di media gaya hidup" dan di sisi lain "terlalu terwakili di media berita". Hal ini terjadi karena dua asumsi yang saling berhubungan: "fashion adalah pengalaman Barat" sementara "muslim bukanlah bagian dari Barat." Kini semuanya telah berubah, jilbab dan abaya telah menjadi bagian dari mode di Barat.
Keterlibatan Idrissi dengan H&M sekaligus menjadi pembuka pintu bagi industri fashion arus utama untuk menyasar pasar baru, pasar yang belum pernah mereka masuki sepanjang sejarah 60 tahun dunia periklanan modern: dunia muslim. Menurut laporan Global Islamic Economy Report, pasar baru ini diperkirakan akan menghabiskan uang sebesar $484 miliar untuk membeli pakaian—meningkat tajam dari $226 miliar pada 2013.
Memang, secara umum konsumen muslim tidak otomatis membeli pakaian muslim. "Tapi ada sejumlah faktor yang mendorong industri busana muslim akan terus tumbuh," kata Rafi-Uddin Shikoh, orang di balik Global Islamic Economy Report.
Pertama, faktor "pentingnya agama" dalam kehidupan masyarakat muslim. Di Eropa, hanya satu dari tiga responden yang menganggap agama penting. Sementara di Amerika Serikat, persentasenya naik-turun sekitar 50 persen. Di negara-negara yang Muslim, persentasenya mencapai 88 persen untuk yang masih menjunjung tinggi nilai agama.
Kedua, faktor demografi. Usia rata-rata di negara-negara mayoritas Muslim adalah sekitar 30 tahun, sementara Eropa dan Amerika Serikat sekitar 44 tahun. Hal ini menjadi penting karena daya beli konsumen muda cenderung tumbuh dari tahun ke tahun.
Ketiga, faktor ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim diproyeksikan tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun. Sementara Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan hanya tumbuh 3,4 persen dalam beberapa tahun ke depan.
Keempat, pertumbuhan penduduk bergama Islam. Menurut laporan PEW Research Center, Islam adalah agama yang paling cepat pertumbuhan pemeluknya. Diperkirakan 29 persen dari populasi dunia adalah muslim pada tahun 2030.
Geliat Bisnis Busana Muslim
Pada tahun 2000, Anas Sillwood pergi ke Yordania. Ia asli Inggris dan memperoleh gelar master bidang politik di London School of Economics. Kunjungan yang seharusnya hanya beberapa bulan itu ternyata mengubah jalan hidupnya. Di sana ia memutuskan masuk Islam, kemudian tinggal permanen di Amman.
Dari sinilah persoalan bermula. "Setiap saya pulang ke Inggris, saya selalu menghadapi masalah," katanya. "Orang-orang menatap saya dengan pandangan aneh karena busana yang saya kenakan. Itu terjadi berulang-ulang, saat itulah saya menyadari bahwa banyak muslim yang membutuhkan pakaian yang dirancang lebih bagus dengan bahan lebih baik."
Pada tahun 2002, ia meluncurkan Shukr, salah satu situs e-commerce mode Islam pertama yang melayani kebutuhan umat Islam di Eropa. Produk-produknya adalah pakaian muslim tradisional dengan sentuhan gaya modern. Anas menjadi pelopor di pasar yang pada masa itu tidak dilirik oleh siapapun. Intuisi Anas dengan cepat berkembang menjadi bisnis menjanjikan. Volume penjualan Shukr terus melonjak dari tahun ke tahun. Saat ini, pasarnya meluas hingga ke Amerika Serikat, kawasan Timur Tengah, dan Afrika Utara. Bisnisnya mendulang sukses besar.
Selain Shukr, pemain terbesar lain di pasar ini adalah Modanisa, e-commerce yang berbasis Turki yang didirikan pada 2012 oleh Karim Ture. "Saya ingat ketika saya menyadari ada kebutuhan yang luar biasa ini," kata Karim. "Saya sedang makan malam di sebuah restoran, di sebelah saya ada seorang gadis usia 20-an bersama ibunya. Cara berpakaian mereka sama persis. Tidak ada pilihan bagi mereka untuk tampil berbed—mencerminkan gaya masing-masing."
Saat ini, lebih dari 200 merek busana muslim yang menawarkan barang mereka di Modanisa. Modanisa telah menjual busana muslim di sekitar 60 negara. Konsumen menemukan apa yang mereka inginkan, memesannya, lalu barang dikirimkan ke rumah mereka.
Neslihan Cevik, pendiri perusahaan hijab M-Line Fashion yang juga penulis buku tentang transformasi peran perempuan dalam Islam, Muslimism in Turkey and Beyond, menggarisbawahi bagaimana di masa lalu perempuan muslim dilihat sebagai sosok-sosok monoton yang ditekan norma agama, sehingga tidak terlalu banyak kebutuhan dan tidak bebas menentukan pilihan sendiri. Tapi dari sudut pandang pemasaran, tentu saja anggapan seperti ini keliru. Dalam pemasaran, bahkan ketika orang tidak butuh akan sesuatu pun, Anda harus menciptakan kebutuhan itu.
"Perempuan muslim sebenarnya memiliki ratusan kebutuhan yang berbeda," kata Cevik. "Selain, penting juga dilihat bagaimana wanita muslim di seluruh dunia mulai terlibat lebih banyak dalam kegiatan publik, punya karier, punya kegiatan di luar rumah."
Untuk memenuhi kebutuhan spesifik dan keinginan individu itulah, Dilyara Sadrieva, seorang muslimah Rusia, mendirikan perusahaan Bella Kareema dan mendesain sendiri produk-produknya.
Ketika Sadrieva remaja, sebagian besar pakaian muslim yang dijual di Rusia berasal dari Turki atau Timur Tengah. Tapi pakaian-pakaian itu tidak cocok untuk iklim dan gaya Rusia. Sadrieva kemudian bertekad membuat sendiri pakaiannya. "Saya memulainya sebagai hobi, karena saya ingin memakainya untuk diri saya sendiri," katanya. Saat ini, Bella Kareema berhasil menjual ratusan item per tahun dan ikut ambil bagian dalam berbagai kesempatan fashio di London, Uni Emirat Arab dan Turki.
Rabia Z, desainer yang berbasis UEA dan salah satu yang paling terkenal di wilayah itu, mulai mendesain busana muslim pada 2001. Saat itu ia masih tinggal di AS dan, pascatragedi 9/11, banyak teman-temannya melepas jilbab mereka. "Saya tidak mau melepas jilbab, dan karena saya punya latar belakang tata busana, saya memutuskan mendesain sendiri pakaian dan jilbab saya. Ternyata banyak yang suka."
Meski permintaan terhadap pakaian buatannya terus meningkat dari tahun ke tahun, Rabia sampai sekarang masih sering terheran-heran sendiri. "Kadang saya masih sulit percaya, sekarang ada banyak orang yang mendesain pakaian untuk jutaan perempuan muslim."
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti