Menuju konten utama

Walau Penuh Konflik, Iran Royal Belanja Baju Muslim

Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, tapi industri busana muslim justru kurang berkembang. Berikut faktanya.

Walau Penuh Konflik, Iran Royal Belanja Baju Muslim
Model memperagakan busana muslim hasil karya sejumlah perancang di ajang Jakarta Muslim Fashion Week 2022 di Indonesia Convention Exibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, Kamis (20/10/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Iqba/nym.

tirto.id - Pangsa pasar bisnis dengan target utama umat muslim diprediksi akan menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam satu dekade mendatang. Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh kenaikan populasi umat muslim di dunia.

Studi dari Pew Researchmemproyeksi bahwa total populasi muslim di dunia pada tahun 2030 akan ada di level 2,2 miliar jiwa. Asia Pasifik masih tetap menjadi kawasan dengan konsentrasi penduduk muslim tertinggi, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara.

Salah satu industri yang diuntungkan oleh peningkatan populasi muslim ini adalah bisnis busana muslim. Prospek industri ini sudah tercium oleh para investor.

Sebuah studi yang berjudul “State of the Global Islamic Economy Report 2022” dari DinarStandard menyebutkan bahwa jumlah investasi yang digelontorkan untuk bisnis busana muslim meroket 7 kali lipat, dari USD3,4 juta di periode 2019-2020, melonjak ke level USD28 juta atau setara Rp420 triliun di rentang 2021-2022 (asumsi kurs Rp15.000/USD).

Keputusan investasi tersebut tentunya didukung fakta bahwa industri ini memiliki prospek yang cukup cerah.

Perlu diketahui, pangsa pasar untuk ready-to-wear pakaian muslim sudah mencapai ribuan triliun. DinarStandard, sebuah perusahaan yang fokus kepada riset pasar dan ekonomi islam, mencatat bahwa di tahun 2021 konsumsi umat muslim atas pakaian jadi menyentuh USD295 miliar atau setara Rp4.425 triliun.

Pangsa pasar tersebut bahkan diproyeksikan meningkat ke level USD375 miliar atau Rp5.625 triliun di tahun 2025. Hal ini berarti industri busana muslim diestimasi tumbuh rata-rata 6,1% setiap tahunnya. Bisnis yang cukup menjanjikan di tengah ancaman resesi dan penurunan konsumsi global.

Industri busana muslim memang sudah menunjukkan ketangguhannya.

Selama pandemi COVID-19, bisnis pakaian jadi terus menunjukkan tren pertumbuhan yang positif jika dibandingkan dengan sektor makanan halal, travel, kosmetik atau farmasi.

Infografik Busana Muslim

Infografik Busana Muslim. tirto.id/Fuad

Lebih lanjut, selain pertumbuhan populasi, tren pertumbuhan positif industri ini juga ditopang oleh perubahan pola konsumsi masyarakat.

Konsumen mulai beralih ke digitalisasi, dimana ini memungkinkan terjadinya transaksi lewat berbagai alternatif channel e-commerce yang juga memberi peluang penggunanya untuk belanja busana lintas negara.

Di lain pihak, tren digitalisasi juga mendorong pelaku usaha untuk lebih kreatif dalam mempromosikan produknya, mulai dari pendeketan marketing 3D virtual hingga virtual fashion show.

Cerahnya Prospek, Gaet Pengusaha Busana Retail

Konsumsi dan investasi industri busana muslim yang kian meningkat ini tentunya tidak ingin disia-siakan oleh para pelaku industri pakaian, termasuk merek busana ritel yang menyediakan busana untuk pasar secara umum. Mereka berlomba-lomba untuk turut menciptakan busana muslim versi mereka sendiri, terlebih lagi pada saat momen Bulan Ramadhan tiba.

Menurut Reina Lewis, seorang Profesor dari Cultural Studies London College of Fashion “Selama beberapa tahun terakhir, para merek telah memulai menganggap fenomena ini sebagai konsumen baru mereka." Bisa dikatakan “Bulan Ramadhan” adalah “Hari Natal” baru yang bisa dimanfaatkan untuk mengambil momentum menjual produk.

Beberapa merek yang telah melakukan itu antara lain, Zara. Dalam beberapa tahun terakhir penjualannya meningkat 85% di Qatar dan 65% di Uni Emirat Arab.

Pull and Bear juga mencatat hasil yang positif di Oman dengan penjualan meningkat sebanyak 85% dibandingkan tahun 2021. Lululemon juga berhasil menaikan penjualan menjadi 65% di Uni Emirat Arab.

Uniknya, RI Bukan Pangsa Pasar Utama

Meskipun Indonesia merupakan negara jumlah populasi muslim terbesar di dunia, tetapi Indonesia bukanlah pangsa pasar utama untuk bisnis busana muslim.

Berdasarkan studi DinarStandard, pada tahun 2017 Indonesia sempat menyabet posisi nomor dua setelah Turki dengan nilai pangsa pasar sebesar USD20 miliar. Namun, jumlah konsumsi menurun dan mengakibatkan Ibu Pertiwi terdepak dari posisi lima besar konsumen busana muslim pada tahun 2021.

Lantas, negara-negara mana saja yang menjadi konsumen busana muslim terbesar di dunia?

Iran yang notabene-nyanegara yang penuh dengan konflik dan cukup tertutup, justru merajai pangsa pasar industri ini dengan nilai konsumsi mencapai USD50,7 miliar atau setara Rp760,5 triliun. Kemudian diikuti oleh saudara persianya, yakni Turki dengan jumlah konsumsi USD36,2 miliar.

Selain bukan merupakan negara dengan konsumsi busana muslim terbesar, Indonesia juga bukan merupakan eksportir busana muslim terbesar ke negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Justru negara-negara pengekspor busana muslim lebih besar datang dari Tiongkok, Italia, India, Vietnam, dan Turki. Hanya Turki yang termasuk menjadi pengekspor dengan penduduk mayoritas muslim.

Padahal, jika melihat tren ekspor Indonesia untuk komoditas pakaian jadi dan tekstil berdasarkan data BPS (2021) sudah mencapai USD6,9 miliar. Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Inggris adalah pasar utama Indonesia.

Ini menunjukkan bahwasanya Indonesia mampu untuk mendorong ekspor pakaian jadi dan menjadi pusat busana muslim dunia.

Lantas, apa yang menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mendorong perannya menjadi aktor kunci dalam pasar busana muslim global?

Tantangan Industri Busana Muslim di RI

Indonesia sejatinya memiliki keinginan menjadi pemimpin dari industri busana muslim dunia, dimana hal tersebut merupakan bagian dari ambisi Tanah Air menjadi Global Halal Hub, dilansir dari Asia Nikkei.

Untuk menggapai ambisi tersebut, pemerintah mengembangkan Indonesia Islamic Economic Masterplan yang akan berakhir tahun depan. Sayangnya, wacana justru belum menunjukkan kemajuan sejak tahun 2018.

Memang, beberapa inisiasi seperti adanya Jakarta Muslim Fashion Week sangatlah membantu pemasaran brand Indonesia ke kancah global. Namun, dari segi tantangan lainnya, rasanya masih banyak yang perlu dibenahi.

Sebuah studi yang dikembangkan Yuniastuti dan Andrey, mencoba mengidentifikasi tantangan apa yang menjaid penghambat utama kemajuan industri busana muslim.

Hasil studi menemukan Ibu Pertiwi masih sulit merambah pasar global dikarenakan harga yang masih kalah saing dengan Tiongkok dan pelaku usaha lokal yang masih kesultan membaca tren pasar.

Sementara itu dari sisi domestik sulitnya akses untuk pembiayaan dan regulasi dari pemerintah pusat dan daerah yang belum seragam.

Baca juga artikel terkait BUSANA MUSLIM atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas