tirto.id - Ingat ini: Tak semua pagi di pasar Tanah Abang terkesan tenang meski tampak lengang. Kamis, 10 Mei pukul 07.00, cahaya di dalam gedung masih remang. Di lantai dasar Blok B, kawasan dagang busana muslim, baru dua kios yang buka. Kios itu bernama RUBY, yang menjual busana muslim wanita, dan toko mukena di seberangnya yang melayani dua perempuan bernikab.
Penjaga kios RUBY, yang mengenalkan diri "Eneng", harus menenangkan para pembeli. "Maaf, barang masih di jalan. DP saja dulu terus ditinggal. Nanti saya simpankan barangnya dan ngasih tahu kalau sudah datang,” katanya berkali-kali kepada pembeli. Pembeli itu meminta kepastian waktu, tapi Eneng berkata sulit mengabulkan permintaan macam itu.
Itu memunculkan raut cemas wajah pembeli. Sebagian besar dari mereka datang dari pinggiran Jakarta. Berharap bisa cepat membawa pulang beberapa kodi barang pesanan. Dengan terpaksa, mereka mengeluarkan berlembar-lembar duit seratus ribu sebagai uang muka.
Dalam waktu satu jam, Eneng telah melayani belasan orang. “Kemarin penuh. Puluhan orang di sini. Panjang bener pada ngantre dari jam enam pagi. Eh, si Mami baru dateng jam satu siang. Eneng, kan, jadi takut janjiin.” Mami yang ia maksud adalah Ruby, pemilik toko yang dalam perjalanan dari lokasi konveksi miliknya di Bandung menuju pasar.
Melihat kios yang ramai, sulit membayangkan saat Ramadan tahun lalu, pemilik toko sempat kesulitan menarik penghasilan Rp10 juta per hari. RUBY baru ramai menjelang pertengahan 2018. Pada awal tahun ini, toko masih sepi, karena terimbas pedagang kaki lima.
Pagi itu seorang pelanggan memutuskan tetap berdiri di depan Eneng dan menelepon Ruby. Setelah telepon ditutup, ia mengucapkan kekhawatiran karena meninggalkan tiga balita. Yang bungsu berusia beberapa bulan dan masih harus disusui tepat waktu. Selesai curhat, ia menelepon lagi. Begitu saja berulang kali. Tak lama kemudian, pembeli-pembeli lain kembali datang. Mereka yang duduk, menopang dagu. Sesekali menghela napas. Yang berdiri mondar-mandir di depan toko.
Sudah lebih dari 30 menit berlalu sejak Ruby mengabarkan bakal cepat tiba di Tanah Abang, sentra grosir terbesar se-Asia Tenggara. Itu sekitar pukul 10.00. Jalan raya di depan pasar lebih mirip seperti tempat parkir. Situasi di dalam pasar bagai kemacetan Jakarta di jam pulang kantor. “Dari Bandung ke Tanah Abang 1,5 jam," kata Ruby. "Satu jam putar balik di depan untuk sampai ke sini.” Suaranya serak dan nyaris tertelan keramaian.
Ia belum sempat tidur nyenyak sebab berangkat ke Bandung pukul 12 malam untuk mengambil barang. Kehadiran Ruby bersama ribuan potong baju disambut sorakan pembeli. Saat Ruby mulai menggunting karung baju, para pembeli meneriakkan model dan warna yang diinginkan. Pada saat yang sama, pesanan via WhatsApp bertubi-tubi mengalir.
Pembeli busana eceran yang baru masuk pasar mulai singgah di depan toko. Para penjaga toko dan Ruby tetap sibuk meladeni pelanggan lain. “Ada ukuran, Kak? Berapa harganya?” tanya beberapa pembeli kepada saya yang duduk di sebelah manekin. Untungnya tak perlu waktu lama untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Para pelanggan tetap berteriak, “Karput! Karput!” Karput adalah model baju terbaru karya Ruby. Nama itu singkatan dari Kartika Putri, selebritas dengan 7,3 juta pengikut di Instagram, yang pernah mematut diri mengenakan setelan gamis merah muda dan abu-abu. Sepintas bentuknya seperti kimono. Gamis itu langsung jadi busana terlaris sebulan belakangan.
Menjelang Lebaran, Ruby fokus memasarkan beberapa model gamis dengan harga Rp110.000 hingga Rp135.000. Ia sendiri yang merancang desain busana. Inspirasi datang dari unggahan foto tren busana di aplikasi Pinterest.
“Sebenarnya yang saya jual di sini ya gaya yang saya suka. Sederhana. Minimalis. Kalau sekarang, saya sesuaikan dengan gaya modest wear,” kata wanita lulusan pendidikan tata busana ini.
Sebagian besar baju diproduksi dalam palet warna muda seperti merah muda, ungu, dan cokelat. Semuanya polos tanpa bordir. Pola dan potongannya sederhana. Ruby mendesain model lain yang ia namakan blazer, terusan yang membuat pemakainya terlihat seperti mengenakan luaran panjang.
Dalam seminggu, ibu lima anak ini bisa menjual 4.000 potong busana dari tiga kios yang ia miliki di pasar. Beberapa pembeli adalah sesama pedagang di Pasar Tanah Abang.
Di pasar ini, keberadaan modest wear kekinian mulai terlihat di beberapa toko. Jumlahnya belum dominan dan butuh kejelian untuk menemukannya. Jenis busana itu terselip di antara kios-kios yang menjual abaya berhias manik-manik dan bordir.
Modest wear yang senuansa dengan gaya sehari-hari desainer atau koleksi busana sejumlah desainer muslim muda jadi pemandangan baru di samping deretan baju yang diobral di muka kios. Manekin-manekin di toko mereka mengesankan bahwa pengusaha mode di pasar ingin menarik perhatian hijaber Milenial yang gemar bergaya.
Sylvia, pemilik toko Syl, hampir tak jenak duduk bila menjaga toko. Makan pun ia lakukan sambil meladeni pembeli. Syl buka setiap hari dari pukul 8 pagi sampai 4:30 sore. Wanita-wanita muda berdatangan memasuki toko untuk memilih jumpsuit, overall, dan busana luaran.
Beberapa model baju di toko Syl berpoles warna cerah untuk memberikan kesan muda dan fun. "Sebenarnya busana ini tidak saya khususkan bagi wanita muslim, tetapi 90 persen pembeli adalah wanita berhijab," kata Sylvia, yang menjual busana dari harga Rp80.000.
Toko ini tak menyediakan kamar pas. Jika pembeli hendak melihat potongan busana di badan, mereka tinggal melirik para penjaga toko. Sylvia meminta para penjaga toko mengenakan berbagai model busana terbaru. Setiap hari mereka mengenakan warna dan model yang berbeda.
Usia toko Syl belum setahun. Sebulan belakangan, pendapatan Syl sudah naik dua kali lipat. Sebagai lulusan sekolah mode yang lahir dari generasi Milenial, mudah saja bagi Sylvia merancang busana yang berpotensi laris. “Busana yang saya jual di sini adalah refleksi gaya saya.”
Bulan ini Sylvia merasa cukup lega. “Awal tahun kemarin orang menawar harga lebih dari 50 persen. Bahkan di bawah modal usaha. Mau masuk pertengahan tahun baru membaik. Penjualan sudah sesuai ekspektasi,” katanya via telepon, beberapa hari setelah saya mengunjunginya.
Tren Terkini dan Perubahan Pola Belanja
Bulan ini, Hengky, pemilik toko Akela, membalut jajaran manekin dengan jumpsuit, setelan blus dan celana kulot sewarna, dan gamis rompi (busana yang lebih tampak seperti terusan panjang). Lampu sorot putih yang meyinari tiap manekin memperlihatkan kilau bahan busana tifstar.
Dengan aksesori berbagai model topi, manekin memancarkan citra gaya busana wanita tahun 1960-an yang mengesankan sisi elegan. Hengky mendesain busana-busana tersebut. Ia melihat jenis busana yang dikenakan banyak orang di tempat umum, memodifikasinya, dan menjualnya dengan harga Rp220.000 untuk satu terusan.
Seorang wanita setengah baya membeli satu gamis mengilap itu setelah menghabiskan beberapa menit untuk berdiskusi dengan dua sejawatnya. “Sekarang pembeli harus diyakini. Tiga tahun ke belakang ini pola konsumsi berubah. Dulu, orang yang suka dengan model bisa langsung beli. Tidak perlu menawar. Sekarang orang cenderung memikirkan harga,” ujar Hengky.
Ia mengingat masa-masa kios buka sejak jam 7 pagi dan orang-orang berebut baju beberapa jam setelahnya. Dan butuh lebih dari satu penjaga toko untuk meladeni para pembeli. Perubahan ini bukan disebabkan pedagang kaki lima. Bagi Hengky, situasi ekonomi dan politik negara lebih berpengaruh.
"Tiga tahun lalu saya melayani transaksi eceran. Sebelum itu tidak boleh. Pedagang-pedagang lain juga demikian," katanya. Sekarang ia mesti sabar. Pembeli tetap ada meski sulit diprediksi jumlah konsumsinya.
Hal senada diungkapkan Vandi, pemilik Tunic, yang berusia 22 tahun, dan mulai berbisnis di Pasar Tanah Abang dalam dua tahun terakhir. Ia menilai tahun ini daya beli turun. Tokonya baru ramai tiga bulan sebelum Lebaran, atau sebulan sebelum Ramadan.
Vandi menargetkan konsumer muda perempuan, “Cuma perempuan yang bisa bilang kehabisan baju walaupun baru beli baju.” Ia menampilkan atasan-atasan berpotongan asimetris, hiasan aksen drape atau ruffle, hingga pita pada busana.
Di benak Vandi, tunik untuk Hari Raya umat Islam tak mesti berbentuk polos. Ia suka bermain dari sisi desain. Soal bahan, Vandi jatuh hati pada linen burberry. Ide model busana datang dari baju-baju yang kerap dikenakan vlogger dalam negeri.
Kini Vandi lebih banyak melayani pembeli grosir. Sebagian dari mereka datang dari Papua dan Sabang, Aceh. Mereka menjual busana di toko swalayan setempat. Di samping itu, Vandi punya belasan pembeli tetap dari pedagang toko daring.
Setiap dua minggu ia merilis desain busana baru. Satu model busana yang diproduksi antara 350-400 potong biasanya ludes dalam 14 hari. Harganya dari Rp110.000 untuk atasan dan Rp215.000 untuk terusan.
Modest Wear Hari Ini
Dua tahun belakangan, istilah modest wear marak diperbincangkan dan diterapkan para desainer dan pengusaha mode. Modest wear merujuk pada jenis busana tertutup dan berpotongan longgar. Cakupannya celana panjang, blus, rok, dan luaran. Prinsipnya, bila dikenakan akan menutupi sebagian besar anggota tubuh.
Istilah ini semula muncul di negara Barat untuk menyebut model busana muslim yang nonkonvensional. Reina Lewis, profesor studi budaya di London College of Fashion dan pengarang Muslim Fashion: Contemporary Style Cultures,menyebut bahwa modest wear di Inggris telah diterapkan dalam penampilan sehari-hari. Kegemaran orang terhadap celana denim ketat telah beralih ke celana panjang berpotongan lebar.
Inggris serius dalam menyikapi kemunculan jenis busana modest wear. Pada tahun ini, London Fashion Week, acara pekan mode yang menetapkan tren fesyen dunia, memberi slot bagi desainer modest wear. Acara ini menghadirkan desainer dan penikmat mode dari Timur Tengah.
Fenomena serupa terjadi di Amerika Serikat pada 2010-an. Vanessa Friedman, kritikus mode untuk The New York Times,sepakat gaya modest wear jadi populer karena lini busana premium seperti Céline, Vetements, dan Erdem mengeluarkan jenis busana berpotongan longgar dan tertutup.
Negara-negara itu seolah tak ingin mengabaikan pelbagai hasil riset yang di antaranya menyebut modest fashion akan jadi industri yang mereguk pendapatan 450 miliar dolar AS pada 2019. Proyeksi populasi muslim yang mencapai angka 29 persen pada 2030 juga menjadi faktor pendukung tren modest wear. Selain Inggris dan AS, pebisnis busana di Australia dan Rusia tertarik menjajali ranah modest wear.
Demikian pula di Indonesia. Ruang bagi desainer busana muslim untuk memamerkan karya semakin besar seiring kelahiran desainer modest wear baru.
Dian Pelangi tidak eksis sendiri. Ada nama-nama lain, termasuk Restu Anggraini, Ria Miranda, dan Norma Hauri. Label busana yang sudah cukup lama seperti Sofie juga muncul lagi dengan imej modest wear masa kini.
Muslim Fashion Festival (MUFFEST) pun digelar. Penyelenggaranya adalah Indonesia Fashion Chamber. Tahun ini acara yang diselenggarakan pada 18-22 April 2018 meraih 51.389 pengunjung dan menghasilkan nilai transaksi sebesar Rp38,9 miliar.
Ali Charisma, desainer dan National Chairman Indonesia Fashion Chamber, berharap agar Indonesia bisa menjadi kiblat desain modest wear karena punya potensi dari sisi motif, teknik, dan model. "Tahun ini ada kemajuan, bukan hanya dari model busana, tetapi juga dari sisi pendidikan. Para pelaku mode antusias menambah wawasan dengan mengikuti berbagai workshop.”
Bagi Ali, desainer busana memang jadi garda depan dalam menentukan tren tetapi ia pun tidak mengesampingkan peran sebuah pasar seperti Tanah Abang. “Pangsa pasarnya besar sekali. Produk perlu dikembangkan. Jangan sampai serupa dengan yang dijual di negara lain. Kasarnya, lebih baik para pengusaha mode mengikuti gaya desainer lokal ketimbang mengambil model busana di negara lain."
"Buat saya pribadi, ini tidak masalah karena desainer dan pengusaha mode itu bermain di segmen berbeda,” ujar Ali.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam