Menuju konten utama

Slow Fashion, Cari Untung Tanpa Singkirkan Etika

Apa artinya jika gaya Anda malah merusak makhluk hidup lain dan lingkungan?

Slow Fashion, Cari Untung Tanpa Singkirkan Etika
Koleksi busana Stella McCartney. FOTO/REUTERS

tirto.id - Desainer asal Inggris Stella McCartney merasa lega saat membaca laporan yang dibuat oleh Ellen McArthur Foundation. Penelitian tersebut menulis cara-cara untuk mengurangi dampak buruk industri fast fashion.

Salah satu poin menyatakan bahwa jumlah pembelian busana telah naik dua kali lipat selama 15 tahun terakhir, tetapi persentase dikenakannya busana tersebut menurun sebanyak 20 persen.

Cara-cara itu serupa dengan praktik slow fashion. Istilah ini dipopulerkan oleh Kate Fletcher, profesor sustainabilitas, desain, fashion pada Centre for Sustainable Fashion, University of the Arts London. Ia juga konsultan dan aktivis desain.

Dalam esai yang ia tulis pada 2010, Fletcher menggunakan kata slow fashion untuk menyebut bahan yang diproduksi dengan cara baru, yakni dengan pertimbangan sejarah, tahan lama, dan berdesain klasik. Slow fashion juga menawarkan model bisnis baru yang mempertimbangkan etika.

“Pertanyaannya bukan bagaimana memproduksi lebih banyak produk busana tetapi apa konsekuensi sosial dan ekologis dari produksi tersebut. Apakah keuntungan yang hendak dicapai sebanding dengan usaha ekstra yang dikeluarkan?” tulis Fletcher dalam esai tersebut.

Baca juga:Apakah Gaya Berbusana Anda Membahayakan Lingkungan?

Banyaknya pemberitaan di media tentang efek buruk yang ditimbulkan dari sektor fast fashion membuat wacana slow fashion atau yang kerap disebut juga dengan sustainable fashion mulai dipraktikkan di sejumlah negara.

Tiga tahun lalu, desainer busana ternama asal Inggris, Vivienne Westwood, memutuskan untuk berhenti melakukan ekspansi volume produksi busana. Ia ingin fokus pada kualitas produk yang dihasilkan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan.

Choosing well and make it last,” jadi kalimat yang kerap ia ungkapkan di berbagai acara terutama yang menyangkut fashion berkelanjutan.

Selain Westwood, McCartney juga kerap bicara soal fashion berkelanjutan. Ia juga berupaya agar produk yang dihasilkan lahir dalam ranah berkelanjutan. Dalam wawancara dengan Vogue, putri Paul McCartney ini mengatakan ia menghindari penggunaan bulu atau kulit dari binatang sebagai bahan dalam desain produk.

“Kami berupaya melakukan hal yang terbaik. Kami memang tidak sempurna tetapi kami mencoba membuka wacana yang belum banyak diperbincangkan dalam sejarah mode. Sekarang adalah saatnya untuk melihat hal apa yang bisa dilakukan dan bagaimana teknologi bisa menyelamatkan kita,” kata McCartney kepada Vogue.

Baca juga:Kritikan di Balik Harga Murah Fast Fashion

Dalam peragaan Paris Fashion Week 2017, McCartney menampilkan aksesori yang terbuat dari botol plastik daur ulang dan kasmir daur ulang. Kepada Strait Times, ia mengaku tetap bisa mendapatkan mendapatkan keuntungan dari koleksi yang ia buat.

Selain desainer ternama, ada pula label-label kecil, komunitas, dan individu yang terlibat dalam praktik fashion berkelanjutan. Dari sisi mengurangi sampah produksi, muncul lini Kleiderei dari Jerman. Kleiderei adalah layanan sewa menyewa busana bekas layak pakai.

Di Swedia, ada sejumlah label yang berkomitmen pada kelestarian lingkungan, pemberdayaan sosial, dan ekonomi keberlanjutan (sustainable economy). Label tersebut ialah Hope, Uniforms for The Dedicated, Dagmar. Hope ialah salah satu lini yang punya perhatian lebih pada keberlanjutan sosial. Semua desain baju dibuat dalam varian ukuran bagi pria dan wanita.

Uniform for The Dedicated ialah label yang banyak melakukan eksplorasi bahan. Mereka menciptakan polyester ramah lingkungan. Label ini juga mempertanyakan tentang bisnis model. Mereka mempraktikkan sistem sewa bagi konsumen, juga tengah melakukan penelitian untuk membuat bahan busana dari udara. Bahan tersebut akan diolah menjadi material serupa polyester tetapi ramah lingkungan.

Adapun Dagmar ialah label yang tengah mengeluarkan produk yang dibuat dengan teknik cetak tiga dimensi. Teknik ini akan memotong rantai produksi,” kata Pauline Ström Gunnér, kepala pada Sustainable Business, Swedish Fashion Council.

Baca juga:Bagaimana Streetwear Menjadi Barang Mewah

infografik slow fashion

Di Indonesia, sejumlah desainer turut melakukan praktik fashion berkelanjutan. Novita Yunus, misalnya. Pemilik label batik Batik Chic ini memanfaatkan teknik eco print dan pewarna alam dari daun Jati. Ekshibisi Slow Fashion Lab yang diadakan beberapa bulan lalu menampilkan para pelaku sustainable fashion seperti Adra World dan Threadapeutic.

Kedua label itu fokus pada ranah upcycle, yaitu mengubah bahan bekas menjadi benda baru. Di sana juga diperlihatkan sejumlah praktik eksplorasi serat alam dan tumbuhan yang pernah dilakukan di Indonesia. Ada kain yang muncul dari serat nangka dan pewarna dari ampas kopi.

Aprina Murwanti, peneliti dan kurator ekshibisi "Slow Fashion" berkata bahwa Indonesia sebenarnya punya banyak potensi untuk menjadi pelaku slow fashion karena ketersediaan ragam sumber daya alam.

“Ada baiknya pemerintah turut membantu para pelaku usaha di bidang sustainable fashion ini. Dari sisi ketersediaan bahan baku misalnya. Di samping itu, harus diperhatikan pula bagaimana kondisi tempat tinggal para perajin penghasil bahan baku, bagaimana kebersihan tempat produksi mereka, dan apakah desain dari produk sustainable fashion sudah masuk dalam kategori wearable dan durable,” kata Aprina.

Saat ini, ranah sustainable fashion di dalam negeri juga telah menyentuh sektor busana muslimah atau modest wear. Desainer Ria Miranda akan memamerkan koleksi slow fashion pertamanya di acara Dubai Modest Fashion Week. Ia memanfaatkan teknik eco print bermotif bunga dan pewarna alam dari buah alpukat yang akan diaplikasikan pada kain sutera dari serat alam.

Ria Miranda, juga Stella McCartney, adalah contoh orang yang percaya bahwa bisnis fashion bisa tak hanya berorientasi pada profit, tapi juga pertimbangan etis.

McCartney jugalah yang menunjukkan bahwa ia bisa tetap beroleh untung tanpa harus berkontribusi dalam membuat dunia menjadi buntung.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani