tirto.id - “Paket enam potong Chicken McNuggets ... dari McDonald’s saja 6,69 dolar AS! Grande Caramel Frappucino di Starbucks harganya juga cuma 5,75 dolar AS !,” kata Lynn Yaeger jurnalis Vogue di tahun 2010. Ungkapan ini ia gunakan untuk menggambarkan kekonyolan harga sebuah gaun H&M yang hanya dibandrol 4,95 dolar AS (sekitar Rp 68.000).
Pada tahun 2017, H&M di Inggris bisa menjual sebuah gaun dengan harga 3,49 pound sterling. Harga gaun ini sudah jauh lebih murah dari paket enam potong Chicken McNugget di McDonald's London.
Merek-merek seperti H&M, Zara, Uniqlo adalah surga fashion harga murah yang tetap up to date terhadap tuntutan gaya. Jajaran merek ini merupakan sebuah manifestasi model bisnis paling mutakhir dan sukses di industri busana saat ini: fast fashion.
Baca juga: Rahasia di Balik Kekinian Zara
Istilah fast fashion digunakan untuk mendeskripsikan koleksi busana murah mengikuti tren merek-merek mentereng yang diproduksi dalam waktu cepat. Dahulu proses produksi tren busana dari catwalk yang sifatnya eksklusif ke konsumen secara luas membutuhkan waktu hingga enam bulan. Saat ini, Zara, H&M, ataupun Uniqlo bisa menyajikan gaya terkini untuk dibeli konsumen hanya dalam waktu satu bulan.
Fast fashion memungkinkan proses desain, pembuatan barang, dan distribusi ke brick and mortar store ataupun toko daring dapat dirampungkan dalam waktu yang sangat singkat. Retailer fast fashion telah menghancurkan dinding tradisional dasar pergantian koleksi yang sebelumnya mengikuti pergantian musim negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sebaliknya, para peritel ini dapat menciptakan “musim” yang berfungsi untuk menciptakan tren seperti: “back to school”, “prom”, “wedding”, “Denim season” agar dapat menarik konsumen setidaknya satu kali sebulan untuk melakukan pembelian (Aungelov, 2015).
Produsen-produsen ini juga melakukan diversifikasi produk melalui rentetan merek dengan target basis konsumen yang berbeda pula. Sebagai contoh, Inditex, yang tidak hanya punya Zara, tetapi juga Pull & Bear, Stradivarius, Bershka, Massimo Dutti. Diversifikasi produk perusahaan fast fashion menambah jangkauan konsumen.
Saat ini, industri fast fashion dikuasai oleh tiga pemain besar yakni Inditex, H&M, dan Uniqlo. Berdasarkan laporan keuangan yang berakhir pada tahun fiskal Januari 2017, Inditex berhasil mencatat penjualan 27,72 miliar dolar AS, H&M 24,12 miliar dolar AS, dan Uniqlo 16,18 miliar dolar AS.
Fakta sukses model bisnis fast fashion dapat dilihat dari meningkatnya jumlah konsumsi rata-rata busana yang meningkat sebanyak 60 persen setiap tahunnya (McKinsey, 2016). Tidak hanya itu, selama kurun waktu dari tahun 2000 hingga 2014 produksi busana mengalami peningkatan hingga dua kali lipat seiring dengan peningkatan tingkat kosumsi ini.
Baca juga: Menjadi Narsisis Lewat Kaus
Harga murah yang ditawarkan oleh para retailer fast fashion menjadi daya tarik utama bagi konsumen. Berbelanja busana dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak tetapi tetap “hemat”. Data dari American Apparel and Footwear Association tahun 2013 rata-rata penduduk Amerika Serikat membeli 64 potong garmen per tahun. Tak hanya itu, bahkan berbelanja busana murah diklaim sebagai sebuah bentuk hiburan yang dapat memberikan rasa senang. Selain harga murah, riset oleh Magrath and McCormick (2013a) menunjukkan pesatnya integrasi teknologi dalam bentuk aplikasi smartphone oleh retailer juga memengaruhi meningkatnya angka konsumsi.
Masalah di Balik Harga Murah
Sayangnya, harga murah yang ditawarkan oleh para retailer fast fashion ini kerap menuai kritikan. Harga murah itu dituding rawan eksploitasi. Para produsen dianggap membayar buruh dengan upah yang sangat rendah untuk menekan biaya produksi sehingga menghasilkan barang yang murah.
Retailer fast fashion yang rata-rata berasal dari Eropa dan Amerika Serikat ini memotong biaya produksi, melalui kerja sama dengan pabrik garmen di negara dengan gaji buruh yang rendah seperti di Bangladesh, Cina, dan Vietnam. Diwartakan oleh Business Insider, rata-rata pekerja pabrik di Bangladesh yang memasok pakaian untuk H&M hanya mendapatkan gaji 87 dolar AS per bulan, jauh dari standar gaji minimum Bangladesh sebesar 286 dolar AS.
Ongkos buruh yang rendah ditambah dengan basis konsumen besar di negara dengan mata uang yang nilainya lebih tinggi membuat harga murah fast fashion bukan hambatan dalam meraup keuntungan.
Laporan dari Greenpeace pada tahun 2016 menunjukkan bahwa fast fashion tak hanya berpotensi eksploitatif dari segi ekonomi. Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat dari limbah pabrik tekstil juga tidak dapat dianggap remeh; limbah tekstil yang sulit terurai dan pencemaran lingkungan karena limbah zat kimia beracun ke tanah maupun air sungai mengancam kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang.
Malangnya nasib buruh dan potensi buruk kerusakan lingkungan ini seakan tertutupi oleh gemerlap kekayaan yang dimiliki oleh para petinggi retailer fast fashion. Amancio Ortega, pendiri Zara, merupakan orang terkaya di Eropa dengan nilai kekayaan bersih mencapai 85 miliar dolar AS. Sedangkan, Stefan Persson, mantan chairman dari H&M memiliki nilai kekayaan setidaknya 19,1 miliar dolar.
Akademisi, aktivis, dan jurnalis yang mengkritik model bisnis fast fashion bersuara bahwa dampak negatif dari fast fashion dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengurangi jumlah pembelian dengan beralih ke barang yang lebih mahal, tetapi memiliki kualitas untuk tahan lebih lama atau berbelanja di tempat baju bekas. Untuk itu, belanja baju bukan sebuah ritual yang dilakukan setiap minggu, melainkan sebuah investasi yang harus dipikirkan secara matang. Kedua, tidak membeli sama sekali dari retailer fast fashion dengan kemudian beralih kepada "slow fashion" merek fashion yang memperhatikan dampak produksi busana kepada pekerja industri, konsumen, maupun ke ekosistem (Fletcher, 2014). Dalam kasus ini, konsumen mengetahui asal-usul baju yang mereka gunakan agar memastikan produk yang mereka gunakan bebas dari eksploitasi; sebuah hasil karya seorang manusia yang bukan sebatas komoditas belaka.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti