tirto.id - Pada 24 Februari lalu saat jalanan di London Inggris dipenuhi para pekerja yang bergegas menuju kantor, di depan 26 Brewer Street, antrean panjang mengular di blok pertokoan. Mereka duduk, berdiri, dan berbicara sembari menunggu toko buka. Kebanyakan dari para pengantre telah menunggu sejak semalam. Padahal, London sedang diselimuti cuaca dingin itu. Namun, para pengantre itu tak pedulu. Mereka menanti bukanya toko Palace, sebuah label pakaian Streetwear yang lahir di kota itu.
Hal serupa juga terjadi di Singapura pada 13 Juli lalu. Ratusan anak muda menunggu dua hari sebelum toko dibuka untuk mengantre produk terbaru dari Supreme x Louis Vuitton collection. Hanya 350 orang yang berkesempatan membeli produk-produk yang dijual. Antrean sudah mengular sejak 11 Juli, diperkirakan ada 600 orang yang menantikan produk terbaru itu. Louis Vuitton adalah merk pakaian ternama yang banyak menjual produk dengan harga sangat mahal, sementara Supreme adalah label pakaian Streetwear yang sudah banyak dikenal dan tak bisa disebut murah juga.
Baca juga: Fesyen Gen Z: Minggir Seleb Teve, Selebgram Panutan Kami
Ada fenomena “hypebeast”, sebutan untuk para pengguna barang streetwear yang sedang hype atau tren saat diluncurkan. Fenomena ini pada mulanya hanya berkisar di produk-produk streetwear seperti Palace (didirikan Lev Tanju pada 2009 di Inggris), Supreme (didirikan oleh James Jebbia pada 1994 di Amerika), atau BAPE (Didirikan oleh Nigo pada 1993 di Jepang). Namun, kini merek-merek adibusana seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Dior mulai melirik pasar Streetwear.
Wajah generasi hypebeast ini diwakili oleh Milenial dan Gen Z. Salah seorang figur yang oleh Guardian dianggap sebagai wajah modern hypebeast adalah Gully Guy, alias Leo Mandella, bocah 14 tahun asal Warwicshire yang memiliki 197.000 follower di Instagram. Ia biasa dikenali di akun instagramnya menggunakan Supreme, Palace dan Bape dan mengklaim telah menghabiskan 9.000 poundsterling untuk gaya berpakaiannya.
Fenomena serupa bisa dan mudah dikenali di Indonesia. Anda bisa membuka akun instagram @pahi_id dan melihat bagaimana anak muda Indonesia tenggelam dalam subkultur hypebeast ini. Dalam akun ini anak muda Indonesia baik laki-laki atau perempuan memamerkan diri tengah memakai merek-merek streetwear terkenal. Pakaian seperti OFF WHITE, Anti Social Social Club, dan BAPE hingga berbagai sneaker seperti Air Jordan dan Yezzy. Banyak orang yang sengaja menautkan diri dengan akun ini berharap bisa masuk dalam kurasi @pahi_id.
Baca juga: Menjadi Narsisis Lewat Kaus
Dalam akun instagram @pahi_id terlihat seseorang tengah memakai Supreme x Louis Vuitton yang produknya berkisar mulai dari 20-60 juta rupiah. Ada pula seseorang yang memakai sepatu Nike Air MAG Back To The Future (2016) sepatu dengan harga $28.000 atau setara dengan Rp374.024.000. Di Indonesia produk-produk streetwear sangat laku dijual di Instagram, meski harganya tidak murah, untuk satu produk pakaian seperti BAPE bisa dijual dengan harga Rp1-3 juta, sementara untuk jaket Supreme bisa mencapai Rp8-12 juta tergantung kebaruan, langka, dan ukuran.
Ezra Silitong, yang telah sembilan tahun bekerja di industri fashion Indonesia menilai fenomena hypebeast merupakan produk industri fashion yang sebenarnya mudah diduga. Orang tak lagi ingin terlihat keren di pesta mewah, tapi juga di kehidupan sehari hari. Mewah menurut Ezra tak lagi bisa didefinisikan dengan sesuatu yang ekstravagan, tapi hal sederhana. “Sekarang eranya glamour udah bukan lagi proper dress, people want to look 10 years younger dan streetwear (membuat) itu lebih personal,” kata Ezra, yang juga membuat desain produk, pakaian, fotografi busana, konsultan brand, hingga menulis fashion itu.
Baca juga: Gurita Bisnis Kanye Lewat Yeezy
Louis Vuitton, Gucci, dan Dior adalah nama besar yang mewakili merek mahal high fashion. Mereka yang menggunakan merek ini biasanya mencari kebanggaan, glamor, dan tentu saja kualitas terbaik dari sebuah produk pakaian. Salah satu alasan mengapa kolaborasi ini muncul, banyak anak muda generasi Z hari ini menyukai gaya pakaian streetwear yang nyaman digunakan dan memiliki karakter. Digabungkan dengan kebanggaan dan gengsi high fashion maka hasilnya adalah kolaborasi yang digemari.
Limei Hoang dari Bussinessoffashion.com menyebut bahwa pada 2025, sebanyak 45 persen pasar barang mewah akan dikuasai oleh Milenial dan Gen-Z. Hal ini bersumber dari riset dari Bain & Co. Luxury Study yang bekerja sama dengan Fondazione Altagamma. Salah satu indikator yang digunakan adalah belanja barang mewah pada 2016 yang mencapai 280 miliar dolar. Diperkirakan pada 2025 pasar barang mewah akan mencapai 324 miliar dolar di mana generasi Z dan milenial akan menjadi konsumen utama.
Merek-merek Fashion terkemuka butuh pasar baru, saat Baby Boomer atau Gen X tak lagi jadi fokus pasar. Mereka mulai melirik ke kelompok milenial dan Gen Z. Tentu ada penyesuaian tipe pakaian dan juga desain. Selera yang ada disesuaikan untuk kemudian dibuat produk adibusananya. Tapi bukan berarti merek-merek terkenal ini tunduk pada selera pasar, malah sebaliknya, dengan pengaruh kebanggaan dan besarnya citra merek, mereka dengan mudah membentuk selera pasar. Gucci misalnya bekerja sama dengan Highsnobiety untuk pakaian mereka, menghasilkan satu juta impresi dan 2.700 klik di situs milik Gucci.
Baca juga: Haute Couture atau Adibusana yang Tak Dipahami Orang Awam
Dulu, tujuan membeli merek mewah adalah menciptakan produk unggulan yang mewujudkan cita-cita eksklusivitas dan aspirasi pemakainya. Sekarang, mereka mulai mempertimbangkan nilai-nilai yang dianggap penting oleh generasi muda. "Streetwear sekarang harganya naik (jadi mahal), mau enggak mau high fashion juga menyamakan untuk menarik demand. Diikutin juga dengan tren 'statement' on product. Apalagi pengaruh politik, cara bicara dalam pakaian menjadi lebih straightforward,” kata Ezra.
Ezra yang juga menjadi konsultan brand streetwear lokal dan turut ambil bagian dalam proyek fashion eksperimental menyebut bahwa ada pergeseran selera dan konsumen pasar fashion adibusana. Menurutnya, banyak merek besar mulai fokus pada generasi Z daripada milenial. Saat kelompok Milenial fokus pada pengembangan bisnis atau aktivitas fisik seperti traveling atau gaya hidup minimalis, generasi Z secara terbuka menjadikan konsumerisme sebagai bagian hidup. “Milenial justru yang melihat mereka (generasi Z) sebagai pasar dan memanfaatkan itu,” katanya.
Apa yang dikatakan Ezra bisa dilihat dari situs streetwear seperti Highsnobiety dan Hypebeast. Dua situs itu menghasilkan 9 juta pengunjung setiap bulannya. David Fischer yang mendirikan Highsnobiety pada 2005 dan Kevin Ma mendirikan Hypebeast pada tahun yang sama. Mereka saat ini menjadi dua orang dengan situs paling berpengaruh dalam komunitas streetwear. Pada mulanya kedua situs itu hanya fokus pada streetwear, kini mereka mulai mempromosikan merek seperti Louis Vuitton, Dior dan Gucci
Ezra menyebut bahwa banyak brand Streetwear yang mapan seperti BAPE dan Supreme telah memiliki basis penggemar yang kuat. Mereka tak lagi membuat produk untuk sekadar dipakai, tapi juga untuk dibanggakan. “Mereka sudah terlalu lama di industri sehingga mereka harus melangkah. Ketika demand untuk mereka semakin tinggi, mereka pun sudah bisa merasa nyaman untuk menaikan harga dan tidak lagi disetarakan dengan streetwear baru yang masih seumur jagung,” ujar Ezra.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti