Menuju konten utama

Bisakah Kebijakan Menutup Jalan Jati Baru Tanah Abang Dipidanakan?

Kebijakan publik yang diambil kepala daerah bisa masuk ranah pidana apabila ada unsur suap.

Bisakah Kebijakan Menutup Jalan Jati Baru Tanah Abang Dipidanakan?
Koalisi Pejalan Kaki melakukan aksi Tamasya Trotoar Tanah Abang Jalan Jati Baru Raya, Jakarta, Jumat (29/12/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - “Enggak lama [sprindik keluar]. Enggak sampai seminggu, kan semuanya masuk di humas. Masuk di humas dipilah.”

Kombes Adi Deriyan mengucapkan pernyataan tersebut di Mapolda Metro Jaya pada Senin (26/2). Direktur Tindak Pidana Khusus itu merespons laporan yang disampaikan Ketua dan Sekretaris Jenderal Cyber Indonesia, Muannas Alaidid dan Jack Boyd Lapian. Kedua pendukung Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta lalu itu menganggap penutupan Jalan Raya Jati Baru untuk pedagang kaki lima melanggar hukum: Pasal 12 Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan.

Sanksi atas pelanggaran itu tercantum dalam Pasal 63 yang berbunyi: "setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)."

“Ketika sprindik sudah dikeluarkan, kami akan panggil,” kata Adi memastikan pihaknya serius merespons laporan bernomor 995/II/2018/Dit.Reskrimsus yang dilayangkan pada Kamis (22/2) pekan lalu.

Namun bisakah polisi mempidanakan suatu kebijakan?

Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar laporan Muannas dan Jack terhadap Anies ke polisi salah alamat. Menurut Fickar kebijakan publik tak masuk dalam objek hukum pidana, sehingga mestinya laporan tentang penataan Tanah Abang ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Itu pun syaratnya pihak-pihak yang mengajukan harus punya legal standing, dalam hal ini berkaitan dengan pengalihan fungsi jalan itu,” kata Fickar saat dihubungi Tirto, Selasa (27/2/2018).

Fickar mengatakan satu kebijakan bisa masuk pidana apabila misalnya pejabat yang mengeluarkan kebijakan menerima suap. “Yang bisa dipidanakan jika diketahui seorang pejabat yang memutuskan kebijakan menerima sesuatu dari pihak yang diuntungkan oleh kebijakan itu," ujarnya.

Hal lain yang membuat laporan itu bermasalah adalah karena menurut Fickar kepala daerah berwenang mengambil kebijakan, baik dalam konteks membuat peraturan maupun membuat diskresi (menerobos aturan). Ia mencontohkan kasus pembangunan gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang menyeret mantan Dirut PLN, Dahlan Iskan ke persidangan.

Menurutnya kasus itu diusut bukan lantaran kebijakan yang dikeluarkan, melainkan dugaan korupsi yang membuat proyek tersebut mangkrak dan terbengkalai. “Itupun Dahlan Iskan akhirnya [menerima] putusan bebas,” katanya.

Menghambat Pengambilan Keputusan

Pengajar di Jurusan Administrasi Negara Universitas Indonesia Defny Holidin menilai pelaporan terhadap Anies Baswedan atas kebijakan penataan Tanah Abang itu tidak relevan jika tuntutannya didasarkan atas Undang-undang nomor 38 tahun 2004. Sebab, meski pasal 12 memuat larangan pengalihan fungsi jalan, namun pasal 13 dan 14 dalam beleid tersebut mengatur bahwa penguasaan jalan di lingkungan Provinsi ada di tangan Gubernur. “Apalagi ini adalah diskresi yang diambil masih punya cantolan (referensi) hukumnya," ujarnya kepada Tirto.

Defny mengatakan apabila kebijakan publik dipidanakan maka dampaknya pembangunan daerah akan terhamba. Apalagi, riset yang ia lakukan menunjukkan penghambat reformasi kebijakan dan penataan spasial di beberapa wilayah salah satunya disebabkan kekhawatiran kepala daerah menabrak aturan saat harus mengambil keputusan.

"Di sinilah sebabnya rasionalitas bahwa kebijakan bersifat imun (kebal) terhadap pemidanaan, kecuali jika di dalamnya ada ekses keuntungan pribadi dan orang lain sembari merugikan keuangan negara," ujarnya.

Di Balai Kota Anies Baswedan merespons santai rencana pemeriksaan yang akan dilakukan penyidik Polda Metro Jaya terhadapnya. Ia beralasan penutupan Jalan Jati Baru Raya bertujuan memberi rasa keadilan dan melindungi para pengusaha mikro, kecil dan menengah yang menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.

“Proses hukum tentu kita hormati dan kita lihat semuanya dalam koridor hukum,” katanya.

Penutupan Jalan Jati Baru Raya dilakukan Pemprov DKI pada akhir Desember 2017 dalam rangka penataan jangka pendek Tanah Abang. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB, kendaraan tak boleh lagi melintasi dua ruas jalan di depan stasiun Kereta Api Indonesia (KAI) Tanah Abang lama tersebut.

Satu ruas jalan digunakan untuk mengakomodasi Pedagang Kaki Lima (PKL) agar tidak berjualan di trotoar. Sementara satu jalur lainya digunakan untuk bus Transjakarta Tanah Abang Explorer yang mengambil penumpang dari stasiun.

Tak lama berselang, kebijakan itu mendapat sorotan dari Ditlantas Polda Metro Jaya lantaran dianggap melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Baca juga artikel terkait PENATAAN TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Muhammad Akbar Wijaya