Menuju konten utama

Penutupan Jalan Jatibaru Tanah Abang Melanggar Aturan Lalu Lintas?

Ditlantas Polda Metro Jaya meminta Pemprov DKI mengembalikan fungsi Jalan Jatibaru sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Penutupan Jalan Jatibaru Tanah Abang Melanggar Aturan Lalu Lintas?
Kebijakan penutupan jalan Jatibaru Raya di depan Stasiun Tanah Abang, Jumat (22/12). tirto.id/Lalu Rahadian.

tirto.id - Langkah Pemprov DKI Jakarta menutup Jalan Jatibaru Raya, Kampung Bali, Tanah Abang kembali menuai polemik. Setelah mendapat penolakan dari warga dan sopir angkutan umum, kini kebijakan Gubernur-Wakil Gubernur DKI, Anies Baswedan-Sandiaga Uno itu mendapat sorotan dari Ditlantas Polda Metro Jaya.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Halim Paggara mengatakan, instansinya akan mengirimkan surat kepada Pemprov DKI Jakarta untuk mengevaluasi penataan Tanah Abang yang menutup Jalan Jatibaru Raya tersebut.

Dalam suratnya, kata Halim, Ditlantas akan membeberkan dampak apa saja yang dirasakan masyarakat terkait kebijakan penutup jalan umum yang digunakan untuk fasilitas Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Transjakarta itu. Akan tetapi, evaluasi ini masih memerlukan validasi data yang baru, dan bisa dilakukan setelah libur tahun baru berakhir.

“Dampak kemacetan, kecelakaan dan sebagainya, itu kan baru bisa kita lihat nanti setelah hari aktif. Sekarang, kan, belum. Anak-anak sekolah masih pada libur panjang, jadi belum bisa representatif datanya,” kata Halim.

Halim menuturkan, pihaknya akan meminta Pemprov DKI mengembalikan fungsi jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebab, kata Halim, aturan tersebut adalah peraturan tertinggi yang harus ditaati, bahkan dibuat peraturan turunannya oleh pemerintah daerah.

Selain itu, Halim menambahkan, dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, bagian dari jalanan yang harus disesuaikan fungsinya meliputi semua bagian. Hal ini termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

“Kalau sengaja mengakibatkan terhambatnya fungsi jalan, harus bayar denda Rp1,5 miliar atau penjara 18 bulan,” kata Halim menambahkan.

Kebijakan Pemprov DKI ini juga mendapat sorotan dari Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Meliala. Dalam konteks ini, pihaknya akan mengkaji dugaan terjadinya pelanggaran administrasi dalam penyediaan lapak untuk PKL di Tanah Abang tersebut.

Kajian hendak dilakukan karena Ombudsman RI tidak menduga langkah Pemprov DKI memindahkan PKL dari trotoar di kawasan Stasiun Tanah Abang ke jalan raya. “Permasalahannya, pertama bagaimana dengan modalitas hukumnya? Karena terlalu banyak ketentuan yang dilanggar,” kata Adrianus, akhir Desember lalu.

Menurut Adrianus, pada November lalu Ombudsman telah merilis hasil investigasinya mengenai penataan PKL di ibu kota. Lembaga itu menemukan sejumlah maladministrasi dalam kegiatan penataan dan penertiban PKL selama ini.

Ombudsman RI saat itu menyimpulkan ada tiga persoalan dalam proses penataan PKL di DKI. Pertama, penataan rawan praktik maladministrasi. Kedua, pengawasan Pemprov DKI dalam penertiban PKL belum optimal. Ketiga, penyalahgunaan wewenang membuka ruang transaksional yang justru merugikan PKL.

Karena itu, untuk konteks penataan PKL di DKI, Ombudsman RI merekomendasikan Gubernur DKI Anies Baswedan agar melakukan sejumlah langkah perbaikan.

Sebulan usai hasil investigasi diterbitkan Ombudsman, penataan PKL dilakukan oleh Gubernur Anies. Perbaikan dilakukan menyasar pedagang di kawasan Tanah Abang. Alih-alih diusir dan dipindahkan ke bangunan-bangunan pasar, PKL di Tanah Abang justru disediakan lapak persis di badan jalan depan Stasiun Tanah Abang.

“[Pertama] diskresi umumnya buat orang, bukan kelompok PKL. Kedua, diskresi bersifat temporer dan ini bersifat jangka panjang, apakah diskresi dapat dilakukan? Menurut kami kok tidak. Kami harapkan Pemda DKI segera bereskan modalitas hukumnya,” kata Adrianus.

Sebaliknya, Wakil Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko menyampaikan bahwa penutupan jalan tersebut merupakan diskresi Gubernur dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Apalagi, kata Sigit, Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang diklasifikasikan sebagai milik Pemprov DKI, sehingga penggunaanya bisa dialihfungsikan dengan diskresi Gubernur.

“Tidak ada jalan nasional di Jakarta, kecuali jalan tol,” kata Sigit saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (4/1/2018).

Sigit mengatakan, konsep penutupan yang dilakukan Pemprov DKI itu adalah transisi penataan dan bukan kebijakan permanen. “Makanya kami hanya sementara dari jam delapan pagi sampai jam enam sore. Nanti kalau sudah selesai konsep jangka panjangnya, kami ubah lagi,” kata Sigit.

Pendapat Sigit tersebut dibenarkan oleh Kepala Badan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono. Dalam focus group discussion di Hotel Milenium, Kamis (4/1/2017), ia mengatakan bahwa sebenarnya penutupan jalan tersebut tidak bermasalah asalkan dibuat peraturan gubernurnya.

Hal tersebut sama dengan yang dilakukan di kawasan Thamrin untuk kegiatan car free day, yang diatur Pergub Nomor 12 tahun 2016. “Jadi boleh-boleh saja,” kata Bambang.

Sayangnya, BPTJ belum mengetahui apakah Pemprov DKI telah mengeluarkan Pergub penutupan sementara itu atau belum sebelum penataan dilakukan.

Lebih lanjut, Bambang justru menyarankan solusi jangka panjang penataan lalu lintas dan PKL di Jalan Jatibaru, Tanah Abang tersebut agar dapat dilaksanakan secepat mungkin.

Beberapa di antaranya, kata Bambang, seperti pembangunan “pedestrian bridge” atau jembatan penyeberangan orang yang menghubungkan langsung pintu selatan Stasiun KAI Tanah Abang dengan kawasan Pasar Tanah Abang. Selain itu, pelebaran trotoar jalan Jatibaru, integritas moda transportasi yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang ke Daerah Thamrin, Roxy, Kebon Sirih, Abdul Muis, dan Harmoni, serta penerapan sistem Transit Oriented Development secara menyeluruh.

Sebab jika tidak, kata Bambang, sangat sulit menghilangkan kesemrawutan dan kemacetan di Jalan Jatibaru yang merupakan titik strategis bertemunya PKL dan calon pembeli yang berasal dari stasiun.

Terlebih, dari hasil pengamatan BPTJ pada jam-jam sibuk, sekitar pukul 06.45 –07.45 WIB, kedatangan penumpang dari Stasiun KAI mencapai puncaknya, yakni sebanyak 7846 penumpang. “Ini yang menjadi problem menahun dan harus ditangani secara komprehensif dengan penataan sistem transportasi yang terintegrasi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PENATAAN TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz