Menuju konten utama

Suara-suara Pro Kontra Penataan Pasar Tanah Abang ala Anies-Sandi

Penataan kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat memunculkan pro dan kontra, termasuk di antara para pedagang.

Suara-suara Pro Kontra Penataan Pasar Tanah Abang ala Anies-Sandi
Sejumlah tenda pedagang kaki lima (PKL) berdiri di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (22/12). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sabtu sore sekitar pukul 17.00, Jalan Jati Baru Raya ramai dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mulai berkemas menutup lapaknya. Semua nampak biasa saja di jalan yang persis terletak di depan Stasiun Tanah Abang itu, kecuali satu hal: tidak ada satu pun angkutan umum—kecuali bus TransJakarta—atau kendaraan pribadi seperti pada hari-hari biasa.

Meski tak ada kendaraan bermotor, kondisi jalanan bukan berarti lengang. Justru sebaliknya. Persis di tengah ruas jalan berderet rapi tenda berwarna merah dan biru. Tenda itu baru berusia beberapa hari, tempat berdagang PKL yang sebelumnya menjajakan barang di sepanjang trotoar.

Pemandangan ini mirip seperti pasar tumpah atau pasar dadakan yang menjamur pada bulan puasa saban jelang bedug magrib. Namun, ini jelas bukan karena bulan Puasa. Barisan PKL yang menjajakan rupa-rupa barang dagangan di tenda ini bisa ada karena kebijakan baru Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno sejak Jumat (22/12) lalu.

Menurut Anies, ini adalah konsep penataan jangka pendek kawasan Tanah Abang. kebijakan ini terutama dibuat untuk mengakomodir pejalan kaki dan pedagang.

"Pejalan kaki jadi leluasa. Bagi pedagang tetap bisa berdagang. Harapan kita, lewat penataan ini semua pihak bisa terakomodasi. Jadi mereka tidak lagi mengalami kerepotan saat keliling Tanah Abang," kata Anies di Balai Kota, Jakarta, sehari sebelum kebijakan diimplementasikan.

Pemprov DKI Jakarta menyiapkan 400 tenda, 115 untuk pedagang kuliner dan 265 untuk pedagang non-kuliner.

Sementara jalan di sekitar kawasan ini ditutup, sisi Jalan Jati Baru lainnya digunakan sebagai jalur bus yang disediakan PT TransJakarta secara gratis. Anies menyampaikan, PT TransJakarta menyiapkan 10 bus yang satu unitnya dapat menampung 66 penumpang.

Respons Pejalan Kaki

Ketika saya datang ke tempat itu, Sabtu (23/12), kesan pertama yang muncul bukan seperti yang diharapkan. Tempat itu sama kacaunya dengan kondisi sebelumnya, sama-sama berantakan. Di tengah jalan raya, misalnya, terlihat banyak sampah plastik berserakan.

Kesan serupa dikatakan Sri, 36 tahun, salah satu pengunjung Pasar Tanah Abang. "Kelihatan berantakan banget di sini. Harusnya ditata rapi lagi," katanya.

Suara yang sama disampaikan dengan Devi, 36 tahun, menurutnya niat Pemprov menata Tanah Abang belum terasa manfaatnya. Terlebih tenda yang dipakai untuk menjajakan dagangan tidak permanen, melainkan bisa dibongkar-pasang. "Kelihatan semrawut gini," katanya.

Kondisi demikian, kata Devi, membuatnya lebih cemas ketimbang yang sudah-sudah. Situasi yang semakin berdesakan, menurutnya, semakin potensial untuk pencopet melancarkan aksi jahat.

"Di sini kan terkenal banyak pencopetan, jadi kalau semakin berhimpitan seperti sekarang bisa jadi pencopetan semakin banyak," katanya.

Pro Kontra Sesama Pedagang

Devi dan Sri bisa jadi merasa dirugikan, tapi tidak demikian dengan pedagang. Berkebalikan 180 derajat, pedagang justru bersyukur dengan kebijakan ini, setidaknya Hilda, 23 tahun.

PKL kacamata sejak lima tahun lalu ini mengatakan bahwa kebijakan baru Anies-Sandi membuatnya lebih leluasa. Otomatis pendapatan pun naik.

"Pendapatannya naik 30 persen. Apalagi Sabtu ini lagi libur, jadi semakin lebih ramai dari Jumat kemarin. Ini hari libur, jadi makin ramai," katanya.

Ia lalu membandingkan dengan kebijakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurutnya sama sekali tidak memberi ruang untuk PKL mencari uang. Sterilisasi area stasiun membuatnya harus "kucing-kucingan" dengan Satpol PP. Belum lagi barang yang kadang tidak dikembalikan jika terkena razia.

"Dulu susah banget. Sekarang Alhamdulillah. Hampir tiap hari dulu enggak ada celah buat jualan, sekarang berubah," katanya.

Namun apa yang dirasakan Hilda tidak merata dan dirasakan pedagang lain. Ayu, 40 tahun, misalnya mengatakan bahwa dengan kebijakan ini tokonya justru lebih sepi. Ayu adalah pedagang di toko permanen dengan uang sewa Rp60 juta per tahun. Tenda-tenda ini berdiri persis di depan tokonya.

Menurutnya, karena ada tenda di tengah jalan, pendapatannya dari toko turun drastis dari Rp7 juta per hari jadi hanya Rp2 juta. "Pengunjung mau ke toko jadi males karena susah," katanya. Ia menuding Pemprov DKI tidak melakukan dialog dengan benar dan adil dengan para pedagang.

Hal yang sama dikatakan Rio. Penutupan Jalan Jati Baru Raya menurutnya mempersulit bongkar muatan barang. "Kalau gini kita musti nunggu sampai sore. Jam kerja nambah, biaya nambah. Harusnya kita yang diajak komunikasi. Bukan yang di jalan (PKL)," ujarnya.

Cerita lainnya datang dari Alex, 31 tahun, pria yang telah berdagang sejak 2004 di trotoar Stasiun Tanah Abang ini belum mendapat tenda. Ia mempertanyakan maksud awal kebijakan ini yang katanya untuk "mengakomodir pedagang trotoar."

Menurutnya, tidak sedikit pedagang yang mendapat tenda adalah mereka yang sebelumnya berjualan di dalam pasar, bukan pedagang yang biasa di trotoar atau PKL. "Yang saya inginkan hanya tempat untuk berjualan karena dagang di atas trotoar ini kan tidak boleh," katanya.

Alex tentu tak menolak bila diberi tempat baru oleh pemerintah untuk berdagang. Namun ia mewanti-wanti agar pengambil kebijakan memperhatikan betul soal potensi keramaian lokasi baru.

"Biar enggak kaya pasar Blok G. Itu kan semua suruh pindah ke sana tapi enggak ada yang mau beli. Sepi. Hasilnya nihil. Jadi pedagang mau kalau pemerintah bisa ngasih tempat baru asalkan itu berpotensi ramai dikunjungi."

Ada juga pedagang yang menawarkan solusi. Yusuf, 29 tahun, mengatakan bahwa Tanah Abang bisa ditata, asalkan baik sebagai tempat berusaha dengan beberapa syarat.

"Fasilitas jalan buat ke toko, parkiran yang tidak jauh. Itu keluhan dari konsumen yang datang ke sini. Mereka ingin aksesnya dipermudah," katanya.

Suara-suara para pedagang Pasar Tanah Abang ini hanya bagian dari dinamika penataan pasar yang berubah-ubah tergantung siapa yang berkuasa. Bagi pedagang adalah kepastian mendapatkan penghasilan dari usaha keseharian mereka dari pagi hingga sore.

Waktu sore pun tiba, jam menunjukkan pukul 18.00. Jalan Raya Jati Baru Raya kembali dilalui kendaraan. Meninggalkan pasukan oranye yang sibuk membersihkan sisa sampah plastik yang terbengkalai. Kita lihat nanti, sampai kapan kebijakan menyenangkan semua pihak ini bisa teruji.

Infografik HL Indepth Tanah Abang

Baca juga artikel terkait PENATAAN TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino