Menuju konten utama

PKL Pasar Tanah Abang Tetap Ramai Pembeli Bukti PSBB Jakarta Gagal?

Lapak PKL di sekitar Pasar Tanah Abang ramai pengunjung di tengah pandemi COVID-19, apakah bukti Pemprov DKI gagal menerapkan PSBB?

PKL Pasar Tanah Abang Tetap Ramai Pembeli Bukti PSBB Jakarta Gagal?
Warga berbelanja pakaian yang dijual pedagang kaki lima di Jalan Jati Baru II, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/5/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Lapak pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (17/5/2020) terlihat ramai pembeli di tengah pandemi COVID-19 dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Dari foto yang tersebar luas di sosial media, pengunjung lapak PKL berbelanja seperti biasa di tengah keramaian. Bahkan rela berdesak-desakan untuk membeli baju persiapan keperluan Lebaran.

Imbauan Presiden Jokowi agar masyarakat menjaga jarak selama PSBB untuk menghindari penularan virus COVID-19 (Corona), tak dihiraukan.

Mencermati perilaku masyarakat dan PKL tersebut, Ketua Koperasi Pedagang Pasar Tanah Abang, Yasril Umar mengaku kecewa. Pasalnya, PKL yang berdagang di sekitar Pasar Tanah Abang diberikan toleransi jika melanggar aturan termasuk kali ini terkait PSBB.

Padahal, ia bersama 15.000 pedagang lain yang sewa kios di Gedung Tanah Abang sudah ikut aturan pemerintah untuk tidak berjualan sejak Maret April 2020. Tindakan tersebut dilakukan sebagai langkah dukungan pedagang pasar untuk menekan angka pasien positif COVID-19 di Indonesia.

"Kenapa [PKL] bisa jualan, kami sudah 60 hari tak jualan. Padahal sudah masuk masa-masanya jualan," ujar dia kepada Tirto, Senin (18/5/2020).

Para pedagang yang resmi berjualan di Pasar Tanah Abang, lanjut Yasril, bahkan rela menanggung kehilangan pendapatan dalam jumlah besar demi mematuhi kebijakan pemerintah.

Ia menjelaskan jika dihitung potensial kerugian dari seluruh pedagang Pasar Tanah Abang yang tak berjualan mencapai Rp100 miliar/hari. Dengan kata lain, bila dikalikan dengan 60 hari mereka tak berdagang maka potensial pendapatan yang hilang selama Tanah Abang sepi mencapai Rp6 triliun.

"Ya itu potensial lost kita Rp75 miliar sampai Rp100 miliar per hari," terang dia.

Kekecewaan pedagang 'resmi' di Pasar Tanah Abang ini wajar mengingat Perumda Pasar Jaya menutup pusat grosir terbesar di Asia Tenggara itu sejak pertengahan Maret 2020 akibat pandemi COVID-19.

Tak tanggung-tanggung, selain hilangnya potensi pendapatan, para pedagang juga harus menanggung biaya operasional selama tutup karena tetap ditagih pihak pengelola. Salah satunya, pedagang gorden Indra mengeluh sudah menyewa kios di Pasar Tanah Abang selama setahun senilai Rp60 juta tidak diberikan keringanan oleh manajemen pengelola pasar.

Selain sudah membayar sewa lapak yang tak digunakan, Indra juga harus membayar service charge sebesar Rp1,2 juta per bulan. Kata Indra, menurut manajemen, dana itu akan digunakan untuk biaya perawatan kebersihan Pasar Tanah Abang selama tutup operasional.

"Sebenarnya saya sudah minta keringanan ke manajemen [PD Pasar Jaya] di service charge. Karena saya enggak ada pemasukan sama sekali. Tapi enggak direspons. Kebayang sebulan operasional harus keluar sewa Rp5 juta/bulan terus service charge Rp1,2 juta/bulan," jelas dia.

Apabila dana Rp1,2 juta per bulan digunakan untuk perawatan kebersihan pasar. Barang-barang Indra di dalam pasar seharusnya aman. Namun, ia mengklaim banyak barangnya yang dimakan tikus.

"Barang aman ya, tapi yang di depan [pajangan] sudah dimakan tikus," ujar dia.

Nasib malang tak hanya dialami Indra. Salah satu pedagang kain di Pasar Tanah Abang Blok A Reja mengalami kondisi yang lebih parah.

Selain tak mendapat pemasukan akibat tak bisa berdagang, kini Reja dipaksa membayar biaya perawatan dan layanan atau service charge.

Kondisinya makin sulit, selain tak bisa berdagang di Pasar Tanah Abang, ia juga tak bisa berdagang di tempat lain lantaran barang dagangannya tak bisa keluar dari Pasar Tanah Abang sebelum membayar service charge.

"Sekarang kita pedagang Blok A Tanah Abang harus bayar service charge dulu baru boleh ambil barang di kios. Padahal gedung sudah tutup lebih dari 1 bulan apakah ini enggak terlalu zalim tuh pengelola?" kata dia kepada Tirto, Senin (18/5/2020).

Tak hanya ditagih biaya perawatan, para pedagang yang menunggak juga dikenakan denda yang cukup mencekik.

"Masalah denda service charge, kayak rentenir. Kalau telat bayar kita kena denda Rp5.000 per hari. Kalikan saja kalau 1 bulan telat bayar. Kalau 2 bulan telat bayar, listrik diputus. Kalau 3 bulan telat, kios digembok. Ini yang terjadi selama ini. Denda berjalan terus Rp5.000 per hari," keluhnya.

Hingga berita ini dimuat, Direktur Utama Perumda Pasar Jaya, Arief Nasrudin belum merespons terkait keringanan service charge pada para pedagang di Pasar Tanah Abang selama tutup PSBB.

Penjelasan Satpol PP Soal PKL Tanah Abang

PKL Tanah Abang kembali menjamur berjualan dan memicu pusat keramaian bukan hanya kali ini saja terjadi. Jelang Lebaran setiap tahunnya, PKL memang mulai menggelar lapak di sekitar Pasar Tanah Abang. Bedanya, kali ini ada aturan PSBB yang melarang kerumunan dan ada aturan jaga jarak.

Terkait keramaian pengunjung PKL Tanah Abang, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin mengklaim pihaknya tak tinggal diam menyikapi peristiwa tersebut.

Kata Arifin, PKL yang melakukan pelanggaran pun telah diberi peringatan. Ia mengaku keramaian yang terjadi di Pasar Tanah Abang tak berlangsung lama karena petugas yang berjaga langsung mengambil tindakan.

"Kemarin PKL itu mereka sempat memang menggelar lapak dagangan mereka ketika anggota kita sedang dalam istirahat. Kan Tanah Abang itu kan dijaga banget. Namanya juga [ditinggal] untuk salat. Ketika istirahat kemudian dagang lagi. Itu PKL juga dagangnya enggak lama tuh. Paling 1-2 jam," kata dia kepada Tirto, Senin (18/5/2020).

Arifin mengatakan lapak PKL juga digelar bukan di jalan raya. Saat melakukan penertiban, ia menemukan kepadatan terdapat di gang-gang sempit di kawasan Pasar Tanah Abang.

"Tempatnya agak di dalam dan agak di lorong-lorong. Enggak di jalan raya. Ya kami bubarkan. Enggak ada denda, belum sampai sana," kata dia.

Pihaknya juga sudah melakukan evaluasi terkait pelanggaran PSBB. Mulai dari denda tempat makan sampai kasus terakhir yaitu memberi denda pada salah satu fast food terkemuka sebesar Rp10 juta karena membuat farewell party.

"Jangan dilihat yang kecil kecil lah [kerumunan Tanah Abang], kita juga denda yang restoran besar. Di Jakarta Barat di Hayam Wuruk. Semua Tanah Abang, Kebayoran Lama, Jatinegara semua itu diawasi penjagaan personel setiap hari 2.000 orang," ujar dia.

Akibat Ketidaktegasan Pemerintah Soal Aturan PSBB

Dalih Satpol PP bahwa kerumunan hanya berlangsung sebentar tak bisa diterima begitu saja. Sebab penularan virus bisa terjadi dalam waktu singkat apalagi dalam kasus Tanah Abang ini, kerumunan terjadi hingga 2 jam.

Perilaku tersebut juga jadi bukti masyarakat mulai lengah di tengah pandemi yang belum menunjukkan kurva mereda. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, ada sejumlah hal yang jadi pemicu perilaku masyarakat tersebut.

Pertama, ketidaktegasan pemerintah dalam menerapkan PSBB. Ketidaktegasan itu salah satunya tercermin dari langkah pemerintah yang memberikan kelonggaran penerapan PSBB yang dilegitimasi dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal 'masyarakat harus hidup berdamai dengan Covid-19'.

Menurut Faisal, pernyataan itu seolah membuat penerapan PSBB yang dilakukan selama ini sia-sia.

"Relaksasi yang dilakukan pada saat jumlah pertambahan positifnya belum turun itu sia-sia. Saya pikir [kerumunan Tanah Abang] satu anomali, jadi tak ada pun satu negara di dunia yang lakukan relaksasi sebelum kondisi jumlah orang terjangkit itu mengalami pertumbuhan yang tajam," jelas dia kepada Tirto.

Relaksasi PSBB yang tidak diikuti dengan langkah kehati-hatian akan menimbulkan risikonya yang sangat besar. Alasan pemerintah untuk menghidupkan kembali perekonomian jangan menjadi bumerang karena kurva pandemik belum turun.

"Pemerintah enggak akan dapat dua-duanya. Gak bakal dapat keselamatan masyarakat, gak dapat juga ekonomi. Ada kemungkinan jumlah penyebaran wabahnya jadi lebih luas dan lebih banyak. Akhirnya tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi. Kemudian anggaran untuk menanggulangi dampak kesehatan itu akan jauh lebih besar dan lama," terang dia.

Kedua, pemerintah tak serius memberikan bantuan sosial sebagai penyangga hidup mereka yang kehilangan pendapatan.

Menurut Faisal, keramaian masyarakat di lapak PKL Tanah Abang merupakan wujud protes masyarakat secara psikologis di tengah beratnya beban hidup yang mereka tanggung saat pandemi COVID-19 ini.

Ia menegaskan, jangan sampai pemerintah melonggarkan PSBB saat jumlah pasien belum turun drastis.

Angka infeksi virus corona (Covid-19) telah menembus 18 ribu pasien per 18 Mei 2020. Data tersebut diumumkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Senin sore, 18 Mei 2020. Detailnya, total jumlah kasus positif corona di Indonesia saat ini telah sebanyak 18.010 pasien. Dalam 24 jam terakhir, ada 496 kasus baru yang terkonfirmasi positif corona.

"Jelas faktornya dari ekonomi [kerumunan]. Pokoknya jangan longgarkan kalau jumlah penularan belum turun. Pemerintah memang tidak tegas soal PSBB ini banyak pelanggaran masih banyak yang curi-curi [keluar] apalagi kalau kemudian itu dilonggarkan lebih parah itu," tandas dia.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri