tirto.id - Media Cina merilis sebuah video yang menampilkan Abdurehim Heyit, musisi dan penyair Uighur untuk menepis tuduhan Turki bahwa Heyit meninggal saat berada di kamp penahanan di Xinjiang.
Pada Sabtu (9/2/2019) Turki meminta Cina untuk menutup kamp di Xinjinag yang menampung Muslim Uighur karena diduga kamp tersebut adalah kamp penahanan yang merenggut kebebasan dan hak asasi Muslim Uighur di Xinjiang.
Melansir Time, Muslim Uighur di Xinjiang mengalami penyiksaan di kamp tersebut.
Turki juga menyebut Heyit meninggal dalam penjara Cina. Heyit diduga disiksa hingga meninggal di daerah otonomi Uighur di Xinjiang, Cina.
Keesokan harinya, dilaporkan BBC, Radio Internasional Cina, dalam layanan berbahasa Turki mengunggah sebuah video yang menampilkan Abdurehim Heyit yang mengatakan bahwa dia berada dalam ‘keadaan baik’ dan ‘dia sedang dalam masa interogasi karena menyalahi hukum negara’.
“Kami berharap orang Turki dapat membedakan antara benar-salah dan mengoreksi kesalahan mereka,” kata Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri kepada reporter BBC.
Melansir The Guardian, video tersebut merupakan momen pertama kemunculan Heyit setelah hampir 2 tahun.
Musisi yang terkenal karena pusis-puisi berbahasa Turki dan penampilannya dalam music tradisional Uighur ini dipenjara sejak 2017. Putra Heyit sempat menjenguknya, namun teman-teman sejawatnya mengaku tidak mendengar kabarnya lagi sejak Heyit ditahan.
Heyit merupakan musisi pertama yang ditahan di Xinjiang karena dianggap menbahayakan keamanan negara melalui lagu-lagunya. Lagu-lagu tersebut dianggap berbau politik, salah satunya lagu berjudul “Stubborn Guest” yang secara terselubung menyinggung control Cina terhadap Xinjiang.
Lagu lainnya berjudul “Query of the Conscience” yang dalam salah satu liriknya berbunyi, “Ketika hati nuraniku bertanya untuk apa aku hidup, aku menjawab, untuk rakyatku, tanah airku.”
Namun, unggahan video Heyit tidak serta merta membebaskan Cina dari kritik para aktivis Uighur di berbagai belahan dunia. Mereka percaya bahwa kamp penahanan Muslim Uighur di Xinjiang sangat keras.
“Tampaknya, dia (Abdurehim Heyit) terlihat stres dalam video tersebut karena kesulitan mengungkapkan kata-kata dengan mulut bergetar. Ini bukan Abdurehim Heyit yang kita kenal. Video tersebut juga seharusnya membuktikan kesalahannya dalam berekspresi lewat lagu-lagunya, bukan kemenangat diplomasi Cina,” kata Alip Erkin, aktivis Uighur di Australia seperti diberitakan SCMP.
Heyit terkenal dengan penampilannya memainkan dutar, alat music tradisional yangg berbentuk kecapi panjang dengan dua senar.
“Video ini terasa seperti pengakuan paksa [pemerintah] Cina yang biasanya dipakai untuk orang orang yang ‘hilang dan dipaksa lewat kekerasan oleh polisi untuk berpura-pura bahwa mereka baik-baik saja,” cuit Magnus Fiskejo, Profesor Antropologi di Cornell University dalam kaun twitternya.
Amnesty International juga menyampaikan pendapatnya melalui Patrick Poon, seorang peneliti yang skpetis dengan video tersebut.
“Tidak jelas kapan dan dimana video ini diambil, kalau pemerintah Cina benar-benar ingin membuktikan bahwa dia masih hidup, cara paling mudah adalah mengizinkannya berbicara dengan keluarganya, teman-teman, dan para jurnalis secara langsung tanpa gangguan,” katanya.
Editor: Yantina Debora