Menuju konten utama

Cerita Peserta Acara Syiar Kekhalifahan yang Ditolak di Mana-mana

Para peserta dialog Syi’ar Kekhalifahan Islam Sedunia 1440 H ditolak beristirahat di mana-mana. Acaranya telah dibatalkan.

Ilustrasi Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Pembebasan membawa poster ketika menggelar aksi di kawasan Jalan Balaikota Medan, Sumut, Sabtu (25/10). ANTARA FOTO/Septianda Perdana

tirto.id - Bus pariwisata berbagai ukuran berbaris teratur di Arena Pekan Raya Jakarta. Beberapa bus sudah berangkat duluan. Di luar bus, dekat trotoar, satu keluarga sedang berdiri. Sang ayah bolak balik masuk keluar bus mencari tempat duduk yang kosong untuk istri dan tiga anaknya, tapi tak juga dapat.

Mereka akhirnya berpisah. Istri dan anak masuk mobil Avanza, sementara si ayah naik bus.

Di dekat mereka, sopir-sopir bus sedang duduk dan menyesap rokok, menikmati jeda waktu sebelum kembali berangkat. Beberapa polisi berjaga di dekat mobil patroli, terletak di bagian paling belakang rombongan.

Rombongan sudah merapikan barang sejak subuh Sabtu kemarin (17/11/2018). Malam sebelumnya mereka menumpang istirahat di Masjid At Taqwa PRJ, Kemayoran. Itu terpaksa dilakukan karena belum ada kepastian tempat menginap dari panitia pusat. Meski sempat berselisih dengan pengelola masjid, akhirnya mereka diizinkan menginap dengan syarat pagi-pagi harus sudah berkemas.

Seorang pria dengan baju hijau panjang tengah mondar-mandir. Tulisan di baju belakangnya "Khilafatul Muslimin." Syahrin namanya, ketua rombongan daerah Sumbawa Barat. Ia sedang menghubungi panitia acara.

“Ini lagi mengurus tempat acara nanti, sebelumnya kan enggak jadi di Masjid Az Zikra. Tadi dapat kabar, acara bakal diadakan di Masjid Kubah Emas Depok,” kata Syahrin.

Bersama supir, Syahrin mengatur hendak lewat mana. Berkali-kali ia menelepon seseorang untuk memastikan tempat. “Supaya jelas aja,” imbuhnya.

Seorang Pria dengan baju dan topi hitam bertuliskan lafaz tauhid datang. Ia mengenalkan diri sebagai Fahri. Ia dari rombongan Sumbawa Barat juga, sama dengan Syahrin. Fahri datang ke Jakarta bersama istri dan dua anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar.

Fahri cerita, untuk berangkat ke Jakarta ia mengeluarkan Rp1 juta per kursi untuk pulang-pergi. Total ia menghabiskan Rp3 juta untuk transportasi, belum untuk biaya inap dan makan. “Itu ditanggung masing-masing, kami sudah berprinsip seperti itu,” kata Fahri. Ia lalu pamit dan bergegas masuk bus karena rombongannya hendak berangkat.

“Kalau mau, ikut saja mas ke Depok,” ajaknya.

Rombongan Terombang-ambing

Ketidakjelasan nasib orang-orang ini adalah karena acara yang hendak mereka datangi, dialog Syi’ar Kekhalifahan Islam Sedunia 1440 H, ditentang berbagai pihak. Acara tersebut seyogyanya dihelat 17 hingga 18 November. Agenda tersebut akan berisi tablig akbar, dialog, dan jalan sehat.

Awalnya kegiatan direncanakan di Masjid Akbar Kemayoran, Jakarta Pusat. Namun menjelang hari H, pengelola masjid menolak memberi izin.

Selain di Kemayoran, acara Khilafatul Muslimin itu juga tak dapat izin untuk diadakan di Masjid Az Zikra, Kabupaten Bogor. “Awalnya kami dapat izin, namun belakangan izinnya dicabut sepihak,” kata Zulkifli, penanggung jawab peserta dari timur Indonesia.

Acara yang sudah diselenggarakan 12 kali itu diadakan bergantian di berbagai daerah. Pernah diadakan di Sumbawa, Bandung, Surabaya, dan yang terbaru di Klaten pada 2014 lalu. Di Klaten itulah ditetapkan acara selanjutnya akan diadakan di Jakarta.

Daeng Zul, demikian Zulkifli dipanggil, mendapat kabar dari panitia di Jakarta bahwa acara dibatalkan ketika sudah di jalan. “Sudah jauh, tidak mungkin kembali lagi. Yasudah, lanjut saja,” cerita Zul.

Mereka Sampai di Jakarta Jumat pagi, pukul 10.00. Rencana awal, rombongan akan menginap di Masjid Az Zikra, Bogor. Mereka sudah dapat izin, bahkan Kapolda Jawa Barat juga beri izin, klaimnya.

“Saya selalu dihubungi oleh panitia pusat, katanya datang saja dulu nanti diarahkan. Terus kemarin kami diarahkan ke Kemayoran. Kami tidak tahu tempat menginap di mana, serba tidak tahu,” cerita Zul.

Oleh panitia, rombongan kemudian mendapat arahan untuk ke Kemayoran. Hari itu juga mereka mencari tempat penginapan terdekat. Dapatlah hotel di dekat Mangga Dua. Karena kapasitas kamar tidak cukup, maka yang menginap di hotel hanya perempuan dan anak-anak, yang laki-laki diarahkan ke Masjid At Taqwa.

Miskomunikasi terjadi antar rombongan dan manajemen JIExpo. Pihak manajemen melalui satpam bertanya kepada pengurus masjid mengenai rombongan.

Polisi kemudian datang dan mengajak rombongan berdiskusi. Menurut Zul, mereka berbincang hingga tengah malam.

“Saya beri jaminan sama Kapolres bahwa kami tidak akan berbuat macam-macam. Kami aman pokoknya. Kami ingin menunjukkan Islam yang sebenarnya itu seperti apa. Islam yang damai, tidak menghina orang, mencaci orang, tidak berbuat keonaran,” kata Zul.

Setelahnya mereka diarahkan ke Masjid Dian Al Mahri atau lebih dikenal sebagai Masjid Kubah Emas Depok. “Kalau di sana nanti dilarang juga, ya kita pulang ajalah, yang penting kita sudah sampai Jakarta. Niat kami sudah kesampaian,” ujar Daeng yang sehari-hari bekerja sebagai wiraswasta. Ia punya bisnis jual beli mobil dan barang bekas di Bima.

Agus, pengurus Masjid At Taqwa, membenarkan pernyataan Zul. Jumat pagi, ia sedang bersih-bersih masjid untuk persiapan salat Jumat. Sekitar jam sepuluh, rombongan bus datang. Ia mengira rombongan tersebut datang ke JIExpo untuk datangi pameran yang sedang berlangsung.

“Mereka kemudian berbaur dengan jemaah lain, salat Jumat bersama. Namun sampai salat selesai, mereka tidak beranjak. Tetap duduk,” cerita Agus.

Satpam JIExpo kemudian bertanya ke Agus. “Saya jawab ‘tidak tahu.’ Saya coba tanya ke salah satu dari mereka, katanya mau silaturahim. Saya enggak ngerti apa maksudnya. Terus pihak manajemen minta pengurus masjid usir mereka, karena enggak ada izin.”

Agus sebenarnya enggan mengusir mereka, karena rombongan tersebut baik-baik. Tidak menyebabkan keributan dan sejenisnya. “Dari manajemen penginnya ya gitu, akhirnya pihak polisi datang pas malam untuk berunding. Saya tidak ikut, jadi enggak tahu apa bahasannya. Akhirnya mereka diizinkan menginap,” kata Agus.

Semuanya beristirahat di luar masjid yang sudah dikeramik. Bagian dalam masjid atapnya sedang diperbaiki.

Tak Ada Hubungan dengan HTI

Zul dan Fahri mengaku baru pertama ini mengalami kesulitan seperti ini.

Menurutnya, acara ini sudah ditetapkan jauh-jauh hari, bahkan sebelum Joko Widodo naik jadi presiden. “Jadi bukan baru-baru ini dibuat, juga tidak ada niatan mengacaukan Jakarta.”

“Mereka kurang paham saja tentang khilafah ini. Disangkanya kami sama dengan organisasi lain yang dukung mendukung salah satu pasangan calon presiden. Kami tidak ada urusannya dengan politik dari salah satu pihak,” katanya, berasumsi kenapa banyak pihak menolak mereka. Ia juga curiga penolakan terjadi karena nama khilafah belakangan “mulai rusak oleh segelintir oknum.”

“Kami tidak ada hubungannya dengan politik, juga tidak ada hubungannya dengan HTI (Hizbut Thahrir Indonesia). Kami Khilafatul Muslimin ingin memperkenalkan Islam yang damai. Kalau ditolak lagi ya wallahualam, mudah-mudahan tidak. Karena kita ini betul-betul membawa misi damai.”

Dalam keterangan resminya, Ketua Panitia Syi’ar Kekhalifahan Islam Sedunia Ustaz Hadi Salam mengatakan mereka membatalkan acara atas rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan aparat.

“Kita tau kondisi politik jelang pilpres ini, dan kita baru heboh dengan kasus [pembakaran] bendera, ditambah bencana gempa di Donggala, kalau bisa diskusi tentang khilafah ini ditunda,” begitu kata mereka.

Mereka berencana untuk tetap bertemu di Monas, Minggu pukul 07.00 (18/11), untuk sekadar saling sapa satu sama lain.

Baca juga artikel terkait DISKUSI KHILAFAH atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino