tirto.id - Pandemi COVID-19 di Indonesia membuat sejumlah sektor usaha terpuruk, bahkan tak sedikit perusahaan yang telah memutus hubungan kerja karyawannya. UMKM yang biasanya tetap berjalan di tengah krisis ekonomi pun suram di tengah Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB).
Bagaimana dengan usaha parsel jelang lebaran?
Salah satu agen penjual sembako yang juga menjalani usaha parsel di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Evan mengatakan, bisnis paket sembako dan parcel miliknya masih tetap jalan di tengah pandemi Corona.
Ia mengaku, tidak ada penurunan jumlah pemesanan parsel meski pandemi. Permintaan di tahun ini dan tahun lalu tak berbeda jauh, yaitu sekitar 120 paket. Ia mengklaim, sejak pertengahan Ramadan, pesanan parsel sudah close order.
Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari Rp500.000 sampai Rp750.000. Namun, Evan hanya membatasi pemesanan parsel di angka 100-120 paket.
“Kalau parsel enggak bisa banyak-banyak, rangkainya susah. Jadi saya batasi hanya 100 – 120-an paket,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (14/5/2020).
Evan mengakui permintaan parsel memang tinggi, namun bisnis paket sembako tahun ini jadi andalan.
Jika pada Ramadan lalu permintaan paket sembako hanya dipesan 500 paket, tapi saat ini ada 1.200 paket sembako yang sudah dipesan hingga pertengahan bulan puasa.
“Kalau dulu [lebaran 2019] kan paket sembako paling 500 paket, kalau sekarang bisa sampai 1.200 paket. Jumlah ini sepertinya akan bertambah, karena kalau paket sembako lebih fleksibel dan gak ada close order,” kata dia.
Paket sembako yang dimaksud Evan adalah jenis paket sembako yang dibungkus dalam goodie bag dan kardus. Permintaan paket sembako jenis ini melejit karena banyak korporasi sampai masyarakat yang memesan paket tersebut untuk dibagikan sebagai bantuan sosial.
Paket yang disediakan pun beragam, mulai dari paket Rp100.000 sampai Rp350.000. Semua paket isinya hampir sama, yaitu beras, minyak, gula, telur, sarden dan mie instan. Perbedaan dari setiap paket hanya ditentukan dari kuota sembako, ada yang berat dan ringan.
“Saya juga awalnya mikir ini ada COVID-19, orang-orang bakal pesen parsel enggak ya. Makanya saat awal puasa itu sepi, tapi pas pertengahan puasa mendadak ramai. Karena parcel sudah close order, akhirnya banyak yang pesen di paket sembako ini,” kata dia.
Berkah dari kebanjiran order juga dirasakan Adlina, penjual parsel di Kota Malang. Ia mengaku meski ada penurunan jumlah orderan, namun nominal dari barang orderan meningkat tajam. Biasanya di tahun lalu ia bisa menjual 300 parsel/bulan, namun di tahun ini hanya 200 parsel.
“Memang pemesanannya turun, tapi yang pesan parsel di tahun ini lebih mahal-mahal. Misalnya kalau di tahun lalu banyak yang pesan parsel Rp100.000, nah sekarang banyak yang pesan parsel di harga Rp350.000 ke atas,” kata saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/5/2020).
Ia menjelaskan, pandemi COVID-19 membuat orang tidak bisa pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga. Sebagai pengganti absen kunjungan ke keluarga dan kerabat, maka parsel jadi pilihan untuk tetap jalin hubungan kekeluargaan di tengah pandemi.
Adlina mengaku belum ada kesulitan untuk mendapatkan stok bahan untuk parsel. Suasana Malang masih normal sebelum diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) per 17 Mei 2020.
Adlina bisa mengantongi Rp80 juta dari jualan parsel ini selama pandemi. Sementara tahun lalu pendapatan dari bisnis parsel hanya Rp50 juta.
Ia menjelaskan, usai lebaran dirinya akan terus membuka layanan parsel jenis sembako dengan memperkuat jaringan online.
“Jadi kisaran Rp80 juga ya, itu kisaran, sekarang lagi disiapin penjualan online, dan sepertinya gak bakal ke kue kering, bakal ke sembako, biar lebih laris,” kata dia.
Strategi memperkuat penjualan di jaringan online juga sudah dilakukan oleh penjual lain. Berdasarkan data riset dari Telunjuk.com, penjualan bahan-bahan pokok atau sembako di toko online disebut meningkat 400 persen sejak PSBB diberlakukan pada 31 Maret.
Pola belanja sembako untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat selama PSBB beralih toko ke online karena aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 membatasi masyarakat ke luar rumah.
Alhasil, masyarakat berbondong-bondong menggunakan aplikasi e-commerce yang ada untuk membeli produk kebutuhan sehari-hari, mulai dari kebutuhan bumbu dapur, sayur, dan lainnya. Telunjuk.com mencatat transaksi pembelian sembako di Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak mencapai 670.755 transaksi.
Semenjak pengumuman Presiden Jokowi mengenai pasien positif Corona pertama di Indonesia (02/03), total estimasi penjualan pada minggu tersebut mencapai Rp392 Juta. Sedangkan usai pengumuman PSBB, (31/03) total estimasi penjualan pada minggu tersebut adalah sebesar Rp4,1 miliar, atau terjadi peningkatan dari Rp392 juta.
Penjual Parcel Musiman Pilih ‘Absen’ ke Jakarta
Cerita Evan dan Adlina bertolak belakang dengan yang dialami Bayu, penjual parsel musiman yang biasa nongkrong di trotoar Stasiun Cikini. Kepada reporter Tirto, Bayu menceritakan soal keputusannya untuk tidak berjualan parsel di tahun ini.
“Tahun ini saya enggak jualan parsel,” kata dia.
Bayu yang biasa datang ke Jakarta sepekan sebelum bulan puasa, di tahun ini memutuskan untuk tetap berada di Solo sampai pandemi COVID-19 selesai. Ia memilih tak berjualan karena khawatir tak bisa kembali ke kota asalnya bila nekat ke Jakarta untuk memburu rezeki musiman ini.
“Saya biasa datang ke Jakarta seminggu sebelum bulan puasa. Siap-siap ke supplier buat belanja kemudian dirangkai. Tapi tahun ini enggak jualan, saya takut ke Jakarta, takut enggak bisa pulang ke Solo,” kata dia.
Bayu tak sendiri. Kasus takut dan tak bisa jualan parsel juga dikeluhkan sekitar 50 pengusaha parsel musiman yang masuk dalam Paguyuban Pedagang Kaki Lima di Stasiun Cikini.
“Padahal kalau jualan bisa lah dapet Rp30 juta, tapi mending tahun ini enggak jualan dulu. Ada 50 penjual parsel musiman seperti saya, kebanyakan dari Jabodetabek ya. Mereka juga sama gak bisa jualan tahun ini,” kata Bayu.
Peluang di Tengah Pandemi
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal memandang masing-masing menggeliatnya bisnis parel tak lepas dari kondisi yang membatasi ruang gerak masyarakat. Parsel jadi salah satu wadah silaturahmi kala hubungan fisik tak bisa dilakukan.
“Justru kan sekarang mobilitas orang terbatas karena ada social distancing. Jadi kunjung-mengunjung kan jadi dibatasi, jadi orang tidak bisa bersilaturahmi ketika lebaran. Mereka menyampaikannya dalam bentuk parcel,” kata Faisal.
Namun, ia tidak sepakat bila menggeliatnya bisnis parsel dikatakan sebagai cerminan daya beli masyarakat mengalami kenaikan. Kondisi ini sebenarnya fenomena biasa di kala Ramadan dan Lebaran.
Hanya saja, kata Faisal, tahun ini menjadi istimewa karena ada kondisi-kondisi tertentu yang ‘memaksa’ orang beralih ke parcel untuk menggantikan pertemuan fisik.
Terlebih, sambung dia, ada kemudahan dari sisi teknologi yang memungkinkan masyarakat melakukan belanja secara online. Beragam akses dan saluran transaksi online membuat siapa saja bisa bertransaksi selama memiliki gawai dan terjangkau jaringan internet.
“Kalau ngomongin soal daya beli naik, itu bukan. Tapi biasanya konsumsi rutin menjelang lebaran sebenarnya,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz