tirto.id - Kenaikan tarif kargo udara pada Oktober 2018 lalu membikin efek domino pada beragam sektor perekonomian. Apalagi kenaikan yang diterapkan cukup drastis, antara 40-90 persen. Sektor jasa ekspedisi mengambil kebijakan menaikkan tarif biaya jasa sehingga membikin arus perdagangan ikut kena imbas, terutama pada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Sebelum bisa menggunakan jasa pengiriman lewat udara, para pemakai jasa kargo harus mendapat tanda terima berupa dokumen yang disebut Surat Muatan Udara (SMU). Pihak maskapai penerbangan akan bekerja sama dengan agen untuk menjual SMU sebagai bukti fisik pengiriman udara antara pengirim kargo, pengangkut, dan hak pengambil kargo. SMU inilah yang lazim disebut sebagai tarif kargo.
Indah Wulandari adalah salah satu masyarakat yang ikut merasakan dampak kenaikan tarif pesawat. Ia adalah perantau di Biak, sebuah pulau kecil di bagian utara Pulau Papua, yang datang dari Surabaya. Sehari-hari, Indah berprofesi sebagai pedagang warung dan pedagang online ikan asin serta ragam perlengkapan masak.
Sebelum kenaikan tarif kargo, ia merasa kehidupannya di Biak sudah cukup terisolasi. Untuk pergi ke daerah lain, masyarakat Biak harus melakukan perjalanan dengan kapal atau pesawat. Bahkan untuk cek kesehatan atau mendatangkan bahan pangan sekalipun. Seperti daerah-daerah terpencil lain di Indonesia, Biak tak cukup punya fasilitas kesehatan memadai. Masyarakat harus pergi ke Makassar untuk mendapat layanan kesehatan lengkap.
“Saya jual ikan asin cuma Rp80 ribu/kg, tapi ongkos kirimnya dari Rp140 ribuan jadi Rp185 ribuan ke Jakarta,” katanya saat merespons kenaikan SMU beberapa waktu lalu.
Jika sebelum kenaikan harga ia bisa memperoleh omzet lebih dari Rp3 juta, kini usaha penjualan online-nya harus gulung tikar. Banyak konsumen protes akibat tarif pengiriman yang melebihi harga jual barang yang ia tawarkan. Tak hanya itu, kenaikan biaya kargo membikin harga kebutuhan pokok naik dua kali lipat karena barang-barang harus didatangkan dari Surabaya, Makassar, atau Jayapura.
Selain Indah, keluhan yang sama juga muncul dari para pelanggan bisnis Pipit, seorang ibu rumah tangga yang menawarkan bisnis jasa titip (jastip) IKEA ke seluruh wilayah Indonesia. Meski buatnya kenaikan kargo tidak berpengaruh pada volume penjualan, Pipit membenarkan bahwa pada 2018 tarif kargo telah mengalami kenaikan hingga beberapa kali.
“Konsumen tanya kenapa sekarang lebih mahal. Rata-rata tetap lanjut transaksi tapi ada juga yang jadi pending, nabung dulu,” ungkap Pipit kepada Tirto.
Penyesuaian Tarif
Sejak 15 Januari 2019, JNE resmi menaikkan tarif pengiriman untuk layanan Regular, OKE dan YES dari Jabodetabek ke seluruh tujuan dalam negeri. Besaran kenaikan tarif bergantung pada tujuan pengiriman dan jenis layanan dengan kenaikan rata-rata sebesar 20 persen. Sementara pengiriman paket dalam kota atau antar kota Jabodetabek tetap berlaku tarif normal.
“Langkah ini harus dilakukan karena biaya operasional turut meningkat seiring kenaikan biaya kargo udara rata-rata 70 persen,” ujar M. Feriadi, Presiden Direktur JNE.
Menurutnya, selama ini JNE telah berupaya tidak menaikkan tarif layanan. Mereka memberlakukan kenaikan tarif terakhir pada tahun 2015 sebesar 10-15 persen. Sebelumnya kenaikan ongkos kirim juga terjadi pada 2008 sebesar 17 persen dan pada 2013 sebesar 10-15 persen. Artinya, kenaikan ongkos kirim di tahun 2019 kali ini menjadi yang paling besar dibanding kenaikan tarif sebelumnya.
Langkah penyesuaian yang dilakukan JNE telah disepakati Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) melalui surat No. 122/ DPP.ASPER/XI/2018. Maka dari itu, tak hanya JNE, sebanyak 200 perusahaan ekspedisi sejenis yang tergabung dalam Asperindo juga akan menyusul kebijakan serupa pada Januari 2019 ini.
Alternatif Transportasi Lain
Selain melakukan penyesuaian tarif, JNE bersama dengan anggota Asperindo lain juga menjalankan beberapa model solusi. Mereka sadar, tak selamanya bisnis ekspedisi bisa bergantung pada maskapai penerbangan. Ketika ketergantungan tinggi, maka setiap biaya kargo naik bisnis mereka pun akan terganggu. Asperindo mengalokasikan pengiriman paket menggunakan moda transportasi lain, yakni lewat jalur darat dan laut.
“Ada penurunan ongkos kirim JNE sebesar rata-rata 17 persen untuk pengiriman dari Jabodetabek ke beberapa tujuan,” kata Feriadi.
Kebijakan ini merupakan imbas dari penyesuaian pengiriman menggunakan moda transportasi selain udara. Kota-kota tujuan paket tersebut mencakup Tegal, Purwakarta, Cilegon, Cirebon, Semarang, Surabaya, Bandar Lampung, Madiun, Malang, Probolinggo, Jember, Kupang, Pontianak, Palangkaraya, Samarinda, Ujungpandang, Sorong, Palembang, Batam, Mataram, Bontang, Kendari, Ternate, Ambon, Jayapura, Bengkulu, Jambi, Medan, dan Banda Aceh.
Langkah serupa juga diterapkan anggota Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI). Saat ini, mereka sedang membuat penyesuaian tarif logistik yang diperkirakan naik mencapai 15-20 persen. Mereka masih berharap ada evaluasi dari maskapai untuk penyesuaian tarif kargo. Sebab meski bisa dialihkan ke moda transportasi lain, ada pengiriman logistik tertentu yang tetap harus menggunakan kargo udara.
“Ini tergantung jenis barang dan kebutuhan kecepatan pengiriman,” kata Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua ALFI menanggapi penyesuaian tarif logistik. Ia berharap agar pihak maskapai mau berdiskusi dan memberikan transparansi untuk menemukan titik tengah tarif. “Supaya kita juga bisa jelaskan ke pasar, dan mereka (konsumen) bisa terima.”
Selain pengalihan moda transportasi, solusi lain yang sedang disusun adalah menyediakan angkutan 'freighter'. Angkutan ini diproyeksikan sebagai transportasi angkut yang digunakan secara bersama oleh anggota Asperindo. Solusi seperti ini sudah diterapkan lebih dulu oleh perusahaan ekspedisi di luar negeri seperti FedEx, DHL dan TNT. Mereka mengoperasikan sendiri pesawat khusus kargo sehingga tak terpengaruh kenaikan tarif kargo dari maskapai komersial.
Editor: Maulida Sri Handayani