tirto.id - Tak ada yang lebih mahir membuat Rasulullah tersenyum lebar melebihi Nu’aimān bin Umar Al-Anshāry. Ia sumber kekonyolan dan kelakar pada zamannya. Dalam pelbagai riwayat, tingkah konyolnya sering kali membuat Rasulullah kerepotan tapi berujung pada senyuman.
Sekali waktu, sebagaimana diceritakan dalam kitab Musnad Imam Ahmad, ketika Nu’aiman berzikir di dalam Masjid bersama dengan Rasulullah dan para sahabat, datang seorang Badui yang mengendarai onta dan hendak bertemu dengan Rasulullah. Ia pun masuk ke dalam masjid, mendekati Rasulullah yang sedang khusyuk berzikir.
Nu’aimān dan para sahabat yang lain segera menyingkir karena orang Badui tersebut hendak berbicara empat mata dengan Rasulullah. Di luar masjid mereka melihat seekor onta yang cukup gemuk. Salah seorang sahabat mendekati Nu’aimān.
“Bagaimana kalau kita sembelih saja onta itu?” ucapnya sembari menunjuk onta yang berada di bawah pohon kurma di depan Masjid.
“Ide bagus. Tapi, kalau ketahuan siapa yang akan bayar?” tanya Nu’aimān.
“Urusan gampang. Kan ada Rasulullah. Pasti beres,” jawab sahabat itu meyakinkannya.
“Rasulullah adalah garansi dan solusi segala musim. Ada Rasulullah, segala urusan beres,” demikian pikir Nu’aimān. Ia pun segera mencari golok. Onta berhasil disembelih sesaat sebelum orang Badui itu keluar dari Masjid.
“Ontaku, Muhammad. Ontaku disembelih lelaki keparat itu!” teriak orang Badui.
Rasulullah segera menuju sumber kagaduhan, kemudian bertanya siapa pelaku yang lancang menyembelih Onta orang Badui itu.
“Nu’aimān, Rasulullah,” jawab sahabat serempak.
Rasulullah segera mencari Nu’aiman yang ternyata bersembunyi di rumah Ziba’ah binti Zubair. Di sebuah ruangan kosong ia menutupi tubuhnya dengan daun Kurma. Rasulullah meminta Nu’aimān keluar ruangan dan menginterogasinya.
“Siapa yang menyuruhmu menyembelih onta si Badui?” tanya Rasulullah.
“Mereka (sahabat-sahabat lain yang ada di Masjid) yang menyuruh. Bahkan, mereka bilang nanti kalau misalnya orang Badui minta ganti, Rasulullah yang akan tanggung jawab,” kata Nu’aimān.
Rasulullah menghela napas panjang dan menggelengkan kepala sembari tersenyum. Saking seringnya Nu’aimān bertindak konyol dan berhasil membuat tertawa lepas, Rasulullah berkata kelak Nu’aimān akan masuk surga sembari tertawa.
Wajah Setan dan Puasa Enam Bulan
Al-Jāhiz adalah seorang ulama yang pandai membuat lelucon dengan menertawakan dirinya sendiri. Sekali waktu ia berkisah. Saat ia berdiri di depan pintu rumahnya, seorang wanita cantik menghampiri. Ia berpikir wanita itu tertarik pada ketampanan dan karisma yang dimilikinya. Ia segera digelandang oleh wanita tersebut.
“Tunggu dulu. Sabar. Jangan buru-buru. Kita halalkan dulu hubungan kita. Biar sama-sama nyaman,” ucapnya.
Wanita itu tak menghiraukannya. Cengkeraman tangannya semakin kuat, derap langkahnya kian cepat, hingga sampailah mereka di depan sebuah toko perhiasan. Di hadapan pemilik toko, perempuan itu berkata tegas, “seperti ini!”
Al-Jāhiz kebingungan. Ia tak mengerti maksud pembicaraan antara si perempuan dengan si pemilik toko.
“Jadi dia akan membuatkanku perhiasan?” tanya Al-Jāhiz kepada pemilik toko.
“Bukan. Perempuan itu pernah membawa batu mata cincin kepadaku, dan menyuruhku untuk melukiskan gambar setan di atasnya. Aku berkata padanya bahwa aku tak pernah melihat setan sama sekali. Lalu dia datang dan membawamu kemari,” jawab pemilik toko.
Kepiawaian Al-Jāhiz dalam memproduksi humor dan kelakar, salah satunya dituangkan dalam karyanya yang bertajuk Al-Bukhala. Ia bercerita tentang orang-orang pelit yang menjalani hidup dengan aneh, konyol, dan menjijikkan.
Ibnu Al-Jauzi adalah ulama humoris yang mengabadikan kisah-kisah kepandiran dalam karyanya yang sangat populer bertajuk Akhbaārul Hamqā wal Mughaffalīn.
Salah satu kisahnya adalah tentang seorang pria yang baru mengetahui bahwa pahala puasa hari Asyura sama dengan pahala puasa setahun penuh. Pria tersebut akhirnya berpuasa setengah hari.
“Alhamdulillah berarti kamu telah mendapat pahala selama enam bulan. Lumayan dari pada tidak sama sekali” ucap Ibnu Al-Jauzi.
Humor memiliki korelasi yang cukup dekat dengan agama. Ia menjadi medium yang ampuh untuk mendakwahkan ajaran dan nilai-nilai agama.
Di Indonesia, para penceramaah kerap memanfaatkan humor sebagai bahan untuk menghayati nilai-nilai dan ajaran agama. Beberapa ulama bahkan mengabadikan koleksi humor mereka dalam bentuk karya seperti yang dilakukan oleh Kiai Bisri Mustofa yang menulis buku humor bertajuk Kasykul: Kumpulan Cerita Lucu (1989).
Seorang kiai di pelosok Jawa Tengah sempat berkata kepada anak-anaknya, yang relevan dalam konteks ini, “Aku sangat banyak membaca kitab. Aku mutalaah bejibun referensi. Tujuannya cuma satu, agar aku tahu betapa rahmat dan kasih sayang Allah sedemikian luasnya.”
Ya, rahmat dan kasih sayang Allah memang tak terbatas. Ia melingkupi segala, termasuk mereka yang beriman dalam balutan sikap yang kerap mengundang tawa.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh