Menuju konten utama

Celios Minta Pemerintah Perbaiki Aturan Pasar Karbon di RUU PPSK

Bhima Yudhistira menilai, perlu ada perbaikan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang diinisiasi oleh pemerintah.

Celios Minta Pemerintah Perbaiki Aturan Pasar Karbon di RUU PPSK
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.

tirto.id - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, perlu adanya perbaikan dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang diinisiasi oleh pemerintah. Salah satunya terkait dengan desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.

Bhima mengatakan, sebaiknya pemerintah melibatkan Bappebti sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Diketahui, dalam Pasal 26 RUU itu menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh OJK.

"Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan," kata Bhima dalam pernyataannya kepada Tirto, Selasa (22/11/2022).

Bhima menuturkan peluang kolaborasi antara Bappebti dan OJK nantinya dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan. Di mana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

"Contohnya, ada perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi, dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru," katanya.

Bhima melanjutkan ketentuan berikutnya yang perlu di perbaiki adalah Pasal 5 A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.

Menurutnya, pemerintah harus merevisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon.

Sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru dibawah wewenang OJK.

"Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa," tutup Bhima.

Secara umum urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya pemerintah pada 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global. Melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41 persen (dengan bantuan internasional) pada 2030.

Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp3.779 triliun atau Rp343,6 triliun per tahun, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan APBN. Kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha.

Baca juga artikel terkait RUU PPSK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang