tirto.id - Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada 42 dana pensiun yang ada di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menemukan kejanggalan. Dari 42 perusahaan dilakukan audit, sebanyak 70 persen atau 34 dana pensiun di perusahaan pelat merah itu dalam kondisi tidak sehat.
Audit dana pensiun perusahaan BUMN ini merupakan tindak lanjut permintaan dari Menteri BUMN, Erick Thohir beberapa waktu lalu. Tujuan audit dilakukan untuk perbaikan akuntabilitas dan tata kelola perusahaan. Pada tahap awal, audit dilakukan secara bertahap pada empat dana pensiunan BUMN.
Keempat perusahaan BUMN itu antara lain: PT Inhutani (Persero), PT Angkasa Pura I (Persero), PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau ID Food.
“Jadi yang kita nilai itu akuntabilitasnya, tata kelola dana pensiunnya. Kemudian kami coba mengidentifikasi area-area yang berisiko dan memberikan rekomendasi perbaikan,” ujar Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh dalam konferensi pers bersama di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Selasa (3/10/2023).
Ateh menjelaskan, dari empat sampel audit yang dilakukan BPKP, dua di antaranya terindikasi fraud, seperti masih banyak transaksi investasi yang dilakukan tanpa memperhatikan prinsip tata kelola yang baik, bahkan beberapa menyebabkan kerugian dana pensiun senilai Rp300 miliar.
“Jadi kami sudah sampaikan hasil audit ini tanggal 18 September yang lalu (kepada Erick Thohir), dan kami sebenarnya sudah memberikan langkah-langkah rekomendasi untuk perbaikan,” kata dia.
Erick sendiri mengaku telah meminta BPKP untuk melakukan audit dana pensiun di sejumlah BUMN. Langkah ini menjadi upaya bersih-bersih di tubuh perusahaan-perusahaan negara setelah kasus Jiwasraya dan Asabri beberapa waktu lalu.
“Ini amat sangat mengecewakan pekerja yang telah bekerja puluhan tahun. Masa tuanya dirampok oleh pengelola yang biadab,” kata Erick geram.
Dari temuan ini, Erick lantas meminta kepada Jaksa Agung untuk tidak ragu memberantas pelaku penyimpangan dana pensiun itu tanpa pandang bulu. “Seperti yang bapak lakukan pada kasus Jiwasraya, Asabri. Saya dan seluruh jajaran di Kementerian BUMN siap berhadapan dengan siapa pun yang main-main dengan nasib para pensiunan,” tegas Erick.
Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan, pihaknya akan menindaklanjuti laporan Erick dan hasil audit BPKP terkait kerugian negara. Ia menegaskan, mulai hari ini data-data yang telah diserahkan akan dianalisa oleh tim penyelidik.
“Tidak ada kata lain selain melakukan penindakan yang keras kepada oknum-oknum tersebut,” kata Burhanuddin di tempat yang sama.
Sementara itu, Direktur Utama ID Food, Frans Marganda Tambunan mengatakan, permasalahan dana pensiun di RNI termasuk yang menjadi prioritas perseroan dan juga Kementerian BUMN dalam satu tahun terakhir. Pihaknya juga menghormati dan mendukung laporan Erick terkait empat dana pensiun BUMN dalam rangka bersih-bersih.
“Sembari paralel bersama Kementerian BUMN melakukan pembenahan terhadap dapen RNI,” kata dia kepada reporter Tirto ketika merespons dugaan korupsi di tubuh perusahaanya, Selasa (10/10/2023).
Kasus dana pensiun di tubuh BUMN memang bukan pertama kali terjadi. Kasus korupsi di PT Asabri pernah terjadi sejak 2012 hingga 2019. Kasus itu telah merugikan keuangan negara senilai Rp22,7 triliun.
Pada 9 Mei 2023, Kejagung juga sudah menetapkan enam tersangka kasus korupsi dana pensiun PT Pelindo. Keenamnya diduga membuat negara merugi sekitar Rp148 miliar. Penyidik Kejagung menemukan indikasi perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan program pengelolaan dana pensiun di perusahaan pelabuhan tersebut.
Mengapa Dana Pensiunan BUMN Bermasalah?
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan, akar masalah dari dana pensiun BUMN terjadi karena mismanajemen. Mulai dari soal rasio kecukupan dana, permasalahan dalam pengelolaan investasi, serta kualitas dari talent pengelola dana pensiun.
“Poin penting lainnya adalah persoalaan good governance yang tidak berjalan dengan baik," ucapnya kepada reporter Tirto, Selasa (10/10/2023).
Toto mengungkap, persoalan pertama terkait rasio kecukupan dana ini biasanya dikaitkan dengan apakah posisi dana yang tersedia bisa menutupi kebutuhan kewajiban jatuh tempo. Posisi ideal adalah di atas 100 persen. Sumber dana berasal dari iuran peserta dan dari pemberi kerja, serta hasil dari pengelolaan investasi.
“Sering terjadi pemberi kerja terlambat memberikan iuran sehingga terakumulasi menjadi utang yang cukup besar (past service liability). Dalam konteks ini perlu kedisiplinan bagi pemberi kerja untuk menghindarkan posisi insolvabilitas dari dana pensiun," ucapnya.
Persoalan kedua, kata dia, terkait dengan bagaimana dana pensiun BUMN mengelola investasi. Sesuai aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka investasi dana pensiun bisa dilakukan secara langsung atau investasi dalam portofolio surat berharga.
Menurut Toto, selama ini sudah ada rambu-rambu yang dibuat OJK terkait pembatasan jenis investasi maupun besaran investasi yang boleh dikerjakan dana pensiun. Tapi realitas yang terjadi cukup sering pelanggaran dilakukan oleh pengelola dana pensiun BUMN.
Pelanggaran investasi tersebut misalnya terkait investasi langsung di mana investasi yang tidak feasible secara bisnis tetap dikerjakan. Misalnya investasi pada sektor properti. Kebocoran terjadi mulai dari pengadaan lahan, proses konstruksi sampai dengan feasibility aspek komersial dari proyek tersebut.
Sementara investasi pada portofolio surat berharga sering mengabaikan prinsip prudent, di mana investasi dilakukan tidak pada kategori surat berharga yang aman (bluechips), namun pada portofolio yang punya risiko tinggi.
“Akibatnya potensi kerugian menjadi sangat tinggi pada dana pensiun tersebut,” kata Toto.
Pertanyaan bagaimana mekanisme pengawasan dijalankan pada dana pensiun BUMN sehingga terjadi banyak pelanggaran? Menurut Toto, sebetulnya sudah ada laporan reguler yang diserahkan dana pensiun kepada OJK maupun kepada Kementerian BUMN. Demikian pula pengawasan yang dilakukan dewan pengawas pada dana pensiun BUMN.
Akan tetapi, kata dia, yang mungkin terjadi adalah early warning system di pihak otoritas pengawasan yang belum bekerja optimal. Demikian pula kualitas dewan pengawas dana pensiun, terutama dari unsur pendiri, patut dipertanyakan.
“Kalau mekanisme pengawasan berjalan normal mestinya berbagai pelanggaran pengelolaan dana pensiun bisa dicegah lebih awal,” ucapnya.
Persoalan kualitas pengawasan dan pengelolaan investasi, lanjut Toto, tentu berujung pada pertanyaan bagaimana kualitas talent yang dimiliki dana pensiun tersebut. Sebab sudah menjadi rahasia umum terkadang orang yang ditempatkan oleh unsur pendiri pada pengelola dana pensiun BUMN bukanlah the best talent yang ada di BUMN tersebut.
“Apalagi kalau pengelola dana pensiun lainnya juga kurang teruji dalam pengelolaan dana yang relatif besar. Ini menjadi sumber masalah kenapa Dapen BUMN tidak dapat bekerja optimal atau bahkan cenderung menjadi bahan ‘gorengan’ pihak lain," sebutnya.
Solusi dan Perbaikan Dana Pensiun
Agar kejadian tersebut tidak terulang ke depan, kata Toto, maka kualitas pengawasan perlu ditingkatkan, konsep three lines of defense harus bisa dioptimalkan. Pengawasan berlapis juga harus dijalankan secara internal sehingga kemungkinan kebocoran bisa diminimalisir.
“Hal ini perlu diperkuat dengan kualitas pengawasan pihak otoritas yang lebih antisipatif, sehingga potensi kebocoran bisa dideteksi lebih awal,” kata dia.
Solusi kedua adalah kualitas talent yang mesti ditingkatkan. Jadi pengurus dan pengawas dana pensiun BUMN tidak cukup sekadar lulus ujian kualifikasi dari OJK, tapi juga harus terbukti cakap yang terbukti dari rekam jejak yang mereka miliki.
“Ini penting untuk memastikan bahwa pengelola dana pensiun BUMN memang terdiri dari pihak profesional yang qualified di bidangnya," tuturnya,
Solusi ketiga, kata Toto, yang bisa ditawarkan adalah pengelolaan investasi dana pensiun BUMN yang bisa disentralisir pada perusahaan pengelola investasi profesional. Pemerintah memiliki BUMN IFG yang fokus pada pengelolaan jasa keuangan termasuk pengelolaan investasi.
“Jadi opsi ini bisa menjadi pilihan agar pengelolaan investasi Dapen BUMN bisa lebih profesional dan menghasilkan return yang lebih optimal," ucapnya.
Hal senada diungkapkan pengamat BUMN, Herry Gunawan. Ia mengamini memang sebaiknya dana pensiun ini tidak dikelola internal, yaitu entitas yang dibentuk oleh perusahaan sendiri. Karena potensi moral hazard-nya sangat tinggi, mengingat dana yang dikelola sangat besar.
“Selain itu, terkadang jadi tempat untuk menampung para pensiunan, sehingga jadi enggak profesional. Padahal, yang dikelola itu dana karyawan untuk pensiun kelak," ucapnya kepada Tirto, Selasa (10/10/2023).
Oleh sebab itu, dia mendorong sebaiknya dana pensiun karyawan dikelola oleh institusi keuangan yang berpengalaman. Dengan demikian, ada check and balance dalam pengelolaan, terutama terkait hasil investasi yang kerap jadi masalah.
“Terserah, mau BUMN juga atau lainnya bisa," ucapnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz