tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terhadap mantan Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Fakhri Hilmi terkait perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
“Menyatakan terdakwa Fakhri Hilmi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primer dan dakwaan subsider," ujar Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Kamis (7/4/2022).
Putusan dengan nomor 1052 K/PID.SUS/2022 diketok pada 31 Maret 2022. Hakim yang bertugas yakni Soesilo, Agus Yunianto, dan Desnayeti.
Pertimbangan majelis hakim, Fakhri sudah menjalankan tugas dan kewenangan jabatan sesuai standar operasional prosedur, berdasarkan Peraturan OJK Nomor 1/PDK.02/2014. Sehingga Fakhir tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.
"Memulihkan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya," ujar Andi.
Dalam persidangan terjadi perbedaan pendapat, hakim Agus Yunianti menilai Fakhri bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Sebelumnya Fakhri Hilmi divonis penjara 6 tahun dengan denda Rp200 juta subsider penjara 6 bulan di pengadilan tingkat pertama. Kejaksaan Agung menetapkan Fakhri sebagai tersangka sejak 25 Juni 2020.
Hakim juga membebankan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp10 ribu.
“Menyatakan terdakwa Fakhri Hilmi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” tulis putusan hakim dikutip dari situs SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Fakhri didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU No.1/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dan, dakwaan subsider Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hakim menyita barang bukti berupa 1 bandel Salinan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 67/P Tahun 2012 tanggal 18 Juli 2012; 1 bundel Laporan Hasil Analisis Awal Perdagangan Saham PT. INTI AGRI RESOURCES Tbk. (IIKP) periode Februari s.d Desember 2015; 1(satu) buah dosir warna hitam yang bertuliskan LCGP Sept 2013 – April 2014, yang berisi: 1 set fotocopy sesuai asli Catatan Dinas Nomor: CD-128/PM.1212/2017 Tanggal 29 Mei 2017, Hal : Kesimpulan Laporan Hasil Analisis Awal LCGP; 1set fotocopy sesuai asli Surat Tugas Nomor: ST-243/PM.121/2016 Tanggal 19 Desember 2016; dan 1 set fotocopy sesuai asli Surat BEI Nomor: S-06233/BEI.WAS/12-2014 Tanggal 19 Desember 2014 beserta lembar disposisi; 1set fotocopy sesuai asli Surat OJK Nomor: S-1542/PM.21/2019 Tanggal 16 Desember 2019, Hal : Perintah Untuk Melakukan Tindakan Tertentu (PT MNC Asset Management).
Kasus ini bermula dari pertemuan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo dengan Direktur PT Inti Agri Resources sekaligus Advisor di PT Maxima Integra Investama, Joko Hartono di kantor pusat Jiwasraya pada Mei 2008.
Pada pertemuan tersebut, Hary bersepakat dengan Joko bahwa Jiwasraya akan membeli saham-saham milik Heru Hidayat (Pemilik PT Maxima Integra Investama) yang transaksinya akan diatur oleh Joko.
Fakhri Hilmi, selaku pejabat OJK sebagai pengawas asuransi, ikut terseret dan ikut diadili.
Setelah vonis tingkat pertama, jaksa mengajukan banding ke PT DKI Jakarta. Dengan nomor putusan banding 28/PID.TPK/2021/PT DKI pada 27 September 2021; Fakhri Hilmi divonis lebih tinggi, 8 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan penjara.
“Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut. Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 5/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst tanggal 17 Juni,” tulis putusan banding.
Hakim yang bertugas ialah James Butar Butar sebagai hakim ketua dan dua hakim anggota: H Mohammad Lutfi dan Singgih Budi Prakowo. Hakim juga membebankan terdakwa membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang ditingkat banding sebesar Rp5 ribu.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyayangkan vonis bebas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Semestinya OJK mampu mendeteksi awal upaya penggorengan saham yang dilakukan pihak swasta dengan pihak Jiwasraya tersebut.
OJK tidak menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal dan tidak ada tindakan untuk menghentikan transaksi tersebut. Mestinya dalam satu-dua hari OJK sudah tahu sehingga kerugian keuangan negara tidak parah, kata Boyamin.
“Seharusnya MA mampu memotret keadaan begini, atas jebolnya Jiwasraya, diduga kurangnya pengawasan pihak OJK. Apakah ada konsekuensi hukum atau tidak, itu kembali ke pembuktian para hakim,” ujar Boyamin kepada Tirto, Jumat (8/4/2022).
Boyamin berharap MA bersikap tegas atas kelemahan OJK menjalankan fungsi pengawasan. MA mestinya mampu memberikan hukuman. MA menilai Fakhri telah bertugas sesuai dengan SOP dalam perkara ini.
“Kalau ini dianggap prosedur nanti, khawatir OJK teledor. Ini bukan soal memenjarakan orang. Tapi ada faktor perbaikan,” ujar Boyamin.
Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung belum bisa menanggapi hasil putusan kasasi Mahkamah Agung. Mereka masih menunggu salinan putusan lengkap.
“Kami hormati putusan MA. Karena belum dapat putusan lengkap, kami tunggu dulu,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan RI Ketua Sumedana kepada reporter Tirto, Jumat (8/4/2022).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz