tirto.id - Dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terus bergulir. Baru-baru ini Kejaksaan Agung meningkatkan status perkara tersebut ke tahap penyidikan.
Keuangan perusahaan pelat merah tersebut minus. Mereka bahkan mencatatkan diri sebagai perusahaan dengan gagal bayar polis terbesar dalam sejarah asuransi Indonesia.
Ekuitas Jiwasraya pada kuartal III/2019 tercatat sudah minus Rp23,92 triliun—utangnya Rp49,6 triliun tapi asetnya hanya Rp25,6 triliun. Jiwasraya juga tercatat rugi Rp13,74 triliun per September 2019.
Bobroknya pengelolaan perusahaan asuransi pelat merah itu makin santer terdengar saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan temuannya pada Rabu siang, 7 Januari lalu.
Ketua BPK Agung Firman menyebut manajemen lama Jiwasraya melakukan penyimpangan investasi sepanjang 2010-2019. Praktik yang mengarah pada fraud tersebut melibatkan direksi hingga pihak-pihak di luar perusahaan.
Manajemen lama Jiwasraya, menurut BPK, tak melakukan analisis pembelian dan penjualan saham atas data yang valid dan objektif. Hal tersebut terlihat dari aset finansial pada instrumen saham sebanyak 22,4 persen atau senilai Rp5,7 triliun. Dari total tersebut, hanya 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45), sementara sisanya ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Jual-beli saham tersebut terindikasi dilakukan dengan 'kesepakatan harga', sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya. Dari transaksi tersebut, sejumlah pihak juga dicurigai menerima fee.
Tak hanya itu, aset finansial Jiwasraya pada instrumen reksadana juga tak mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Dari total 59,1 persen atau Rp14,9 triliun aset finansial Jiwasraya pada reksadana, hanya 2 persen yang dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja baik atau top tier management.
Temuan BPK seperti akan mempercepat penyelidikan kasus yang merugikan 5,5 juta nasabah ini. Namun ternyata tidak demikian. Mengurai benang kusut Jiwasraya tak semudah memadamkan nyala api pada lilin: sekali tiup mati.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, Jiwasraya telah melakukan kurang lebih 5.000 transaksi terkait investasi reksadana, saham dan pengalihan pendapatan sepanjang 2009-2018. Transaksi ini harus diteliti betul.
Kejagung juga harus menilik kembali ratusan saham yang dibeli Jiwasraya—termasuk pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga mendapatkan keuntungan dari jual-beli tersebut.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Trisasongko mengatakan, ada ratusan saham yang dibeli Jiwasraya mulai periode 2014. "Ada 107 saham underlying, tinggal direct 26 saham, dan indirect itu 100 saham," katanya, akhir Desember tahun lalu.
Berdasarkan catatan Tirto, Jiwasraya memang banyak membeli saham-saham lapis tiga sepanjang kepengurusan Hendrisman Rahim—Dirut Jiwasraya sebelum Hexana. Beberapa di antaranya adalah PT Graha Andrasentra Propertindo Tbk (JGLE), PT Pool Advista Finance Tbk (POLA), PT Prima Cakrawala Abadi Tbk (PCAR), PT dan Capitalic Investment (MSN).
Ada pula dana yang ditempatkan pada saham PT Semen Baturaja (SMBR) PT PP Properti (PPRO), Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP), dan PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM).
Saham lapis tiga sering disebut sebagai junk stocks atau small-cap stocks. Mereka memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi dan sering menjadi incaran para spekulan.
Harganya juga terhitung murah jika dibandingkan saham lapis satu dan dua. Meski demikian, perubahan harga saham-saham itu sangat cepat dan memiliki risiko tinggi.
Belum lagi, kata dia, ada perpindahan aset finansial dari instrumen surat utang negara (SUN) yang berkualitas tinggi ke instrumen berkualitas rendah baik saham maupun reksadana.
Akibat penempatan aset finansial pada instrumen low quality tersebut, harga aset finansial Jiwasraya pada instrumen saham ambles dari Rp5,7 triliun pada 30 September 2017 menjadi Rp1,4 triliun per Desember 2019. Sementara di instrumen reksadana, hanya tersisa Rp4 triliun dari sebelumnya Rp14,9 triliun.
Melihat apa yang harus dilakukan, wajar bila Jaksa Agung tak berani menjanjikan kapan kasus ini selesai diusut. Pada 8 Januari lalu, ST Burhanuddin hanya mengatakan kalau pemeriksaan memang memakan waktu "agak lama." Ia, misalnya, harus meneliti betul dari ribuan transaksi itu "mana transaksi bodong, mana transaksi 'digoreng', mana transaksi yang benar."
"Jadi tolong, teman-teman, kami perlu waktu," katanya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino