tirto.id - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengaku tengah dalam proses mengubah aturan yang menjadi dasar hukum atas penerapan pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 0,5 persen. Melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, pemerintah berusaha mencegah UMKM untuk melakukan upaya manipulasi untuk meminimalkan pajak yang terutang atau tax planning.
“Kami mengusulkan di dalam (revisi) PP 55 tahun 2025 ada usulan perubahan penambahan pasal 20 A terkait dengan pengaturan biaya swap, gratifikasi, sanksi administrasi dan sanksi pidana yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,” ujarnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
Bimo mengungkapkan, pengaturan ulang PP 55/2022 ini dilatarbelakangi oleh adanya praktik tax planning dengan strategi branching. Dalam hal ini, beberapa wajib pajak (WP) yang menerima fasilitas PPh Final 0,5 persen menahan atau tidak melaporkan sebagian dari total omzet yang sebenarnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Selain itu, agar mendapat insentif PPh Final 0,5 persen, beberapa UMKM juga tertangkap melakukan praktik firm splitting alias memecah usaha yang dijalani.
“Jadi, untuk itu kami mengusulkan ada perubahan di pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) di Bab 10, terkait pengaturan ulang subyek PPh Final 0,5 persen wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dengan mengecualikan wajib pajak yang berpotensi digunakan sebagai sarana untuk melakukan penghindaran pajak atau anti-avoidance rules,” jelas Bimo.
Di sisi lain, revisi aturan ini juga dimaksudkan supaya kebijakan insentif PPh Final 0,5 persen bisa lebih tepat sasaran. Untuk ini, pemerintah akan mengatur lebih detil terkait agregasi total dari peredaran bruto konsolidasi UMKM.
“Untuk itu maka kami melakukan usulan perubahan pasal 58 penyesuaian penghitungan peredaran bruto sebagai kriteria Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, atau WPPBT. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu seluruh peredaran bruto dari usaha dan pekerjaan bebas baik yang dikenai PPh final ataupun yang dikenai PPh non final, termasuk peredaran bruto dari penghasilan di luar negeri,” tukas Bimo.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































