tirto.id - Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Arieska Kurniawaty menyebut bagi perempuan, 2020 adalah tahun krisis multidimensi. Hal itu diungkapkannya saat Peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020.
Pandemi COVID-19, kata dia, membuktikan sistem ekonomi politik global patriarkis yang selama ini dijalankan hanya untuk segelintir orang. Tidak hanya menjadi penyebab dari pemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan, tapi juga telah memperburuk dampak krisis yang terjadi.
Pandemi tidak hanya membuat krisis kesehatan tapi juga ekonomi dan sosial maupun politik. Dan bagi perempuan krisis itu makin memperburuk keadaan.
“Bagi Perempuan tahun 2020 ini adalah tahun krisis multidimensi yang semakin menambah lapisan penindasan yang dialami termasuk bagaimana krisis ini memperkuat kekerasan dan ketidakadilan gender yang sudah ada sebelum krisis,” kata Arieska saat memaparkan Catahu Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020 secara virtual, Minggu (13/12/2020).
Krisis pandemi membuat perempuan menghadapi hal yang lebih berat. Misalnya adanya pembatasan sosial berskala Besar (PSBB) telah membuat 69 persen perempuan harus lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan rumah tangga. Termasuk hal itu turut meningkatkan angka kekerasan terhadap rumah tangga maupun kekerasan gender berbasis online.
Namun temuan Solidaritas perempuan melampaui itu kata Arieska. Di bulan Agustus menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia dan dalam situasi pandemi, para perempuan adat Pubabu di NTT menangis ketakutan karena mendengar tembakan dari Polisi, anak-anak dimasukkan ke dalam mobil secara paksa dan diinjak leher dan kepala.
Kemudian perempuan pesisir di Makassar yang selama ini mempertahankan identitasnya sebagai nelayan terancam penggusuran oleh pembangunan proyek strategis nasional Makassar New Port. Mereka kemudian dikecualikan dari distribusi bantuan sosial oleh pemerintah setempat karena dianggap selalu melawan.
Sementara di wilayah perbatasan, para perempuan buruh migran yang mengalami penundaan deportasi mengalami tindakan yang tidak manusiawi di pusat tahanan sementara. Bahkan beberapa di antaranya harus melahirkan anak tanpa didampingi tenaga kesehatan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) Venetia Ryckerens mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 diakuinya banyak terjadi.
“Data sistem informasi online perlindungan perempuan Kemen PPA berdasarkan pelaporan 20 Januari 2020 sampai dengan 12 Desember 2020 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 6.642 kasus dengan korban perempuan dewasa 6.758 orang dan korban kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 4.040,” kata Venetia dalam kesempatan yang sama.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Restu Diantina Putri