Menuju konten utama

Ketika Kelangkaan Kontainer Dunia Mengganggu Ekspor Indonesia

Kontainer langka saat pandemi, ekspor Indonesia pun tak maksimal.

Ketika Kelangkaan Kontainer Dunia Mengganggu Ekspor Indonesia
Kapal Logistik Nusantara 4 dari Jakarta melaksanakan bongkar muat kontainer di dermaga Pelabuhan Pelni Selat Lampa, Pulau Bunguran, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (13/11/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Hampir sembilan bulan lebih kontainer untuk keperluan ekspor-impor sulit didapat. Kelangkaan ini pun menjadi petaka bagi perdagangan dunia yang mulai pulih dari pandemi COVID-19.

Dampaknya terasa hingga Indonesia. Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan imbas kelangkaan ini ekspor sejumlah komoditas terlambat. Biasanya pengusaha hanya perlu waktu satu minggu untuk memesan kontainer, tetapi kini membengkak menjadi dua bulan.

Operasional kapal angkut berukuran besar dikurangi demi memangkas biaya operasional. Perusahaan lebih memilih mengoperasikan kapal angkut kecil. Saat kapal yang digunakan lebih kecil, Benny bilang kapasitas pengangkutan kontainer semakin terbatas juga. Demikian juga untuk pengangkutan kontainer kosong.

Di samping itu, kelangkaan juga disebabkan masih belum normalnya aktivitas pelabuhan dan angkutan darat di sejumlah negara. Ini menghambat pengembalian kontainer ke kapal angkut.

“Kontainer kosong enggak tahu di mana. Ekspor jadi kena delay,” ucap Benny kepada reporter Tirto, Senin (7/12/2020).

Di tengah kelangkaan ini, pelaku usaha diganjar meroketnya biaya angkut. Menurut Freightos Baltic Index (FBX), biaya kontainer 40 kaki atau forty-foot equivalent unit (FEU) sudah menyentuh 2.652 dolar AS/FEU per pekan pertama Desember 2020 atau naik 102 persen dari Desember 2019 yang berkisar 1.315 dolar AS/FEU.

Dalam catatan Benny, biaya angkut ke Amerika Serikat mengalami kenaikan 2-3 kali lipat. Biasanya pengusaha hanya membayar 4.000 dolar AS/FEU, kini menjadi 8.000-10.000 dolar AS/FEU.

Lonjakan biaya juga terpaksa ditanggung pelaku usaha bila ada permintaan khusus dari pembeli yang tidak menoleransi keterlambatan pengiriman barang. Benny bilang sejumlah pelaku usaha menuruti permintaan pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman udara yang berbiaya lebih mahal.

Hingga saat ini, Benny bilang tak banyak yang bisa dilakukan selain bernegosiasi dengan pengusaha angkutan. Ia memperkirakan pengusaha harus bertahan menghadapi situasi sulit ini hingga pertengahan 2021.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan sebenarnya tanda-tanda ekonomi kembali berdenyut sudah muncul. Data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia November 2020, misalnya, sudah menyentuh angka 50,6 poin, yang berarti industri sudah mulai berekspansi dan meningkatkan produksinya meski secara terbatas.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat ekspor sedang dalam tren positif. Sejak mencapai titik terendah 10,45 miliar dolar AS (Mei 2020), ekspor sudah menyentuh 14,39 miliar dolar AS (Oktober 2020), hampir menyamai posisi sebelum pandemi 14,88 miliar dolar AS (Oktober 2019).

Masalahnya, kelangkaan kontainer membuat pencapaian ini jadi tak maksimal. “Karena rebutan kontainer jadi tidak bisa ekspor sebanyak seharusnya,” ucap Tauhid kepada reporter Tirto, Selasa (8/12/2020).

Tauhid menjelaskan keterlambatan dan kenaikan biaya angkut bakal berdampak pada daya saing ekspor Indonesia. Hal ini dikhawatirkan kontraproduktif saat pemerintah sendiri sedang mendorong pertumbuhan ekonomi ke zona positif.

Menurut Tauhid, saat ini negara yang diuntungkan adalah yang memiliki kedekatan geografis dengan Cina. Pertama, karena Cina menguasai mayoritas produksi dan pasokan kontainer dunia. Kedua, perdagangan lebih mudah dilakukan antar negara yang memiliki konektivitas darat.

Selain ekspor, kelangkaan kontainer yang berkepanjangan ini juga dinilai punya potensi bahaya karena dapat mengerek harga komoditas yang diimpor Indonesia. Belum lagi 73,25 persennya oleh bahan baku untuk industri dalam negeri.

Meski demikian, Tauhid bilang hal itu belum perlu dikhawatirkan. Sebabnya permintaan dalam negeri masih lemah-lemahnya sehingga dampak kelangkaan kontainer masih relatif lebih mengkhawatirkan pada sisi ekspor.

Juru Bicara Menteri Perdagangan Fithra Faisal menambahkan, keterbatasan kontainer di Indonesia saat ini juga diperburuk dengan berkurangnya aktivitas impor lantaran produksi sejumlah negara belum sepenuhnya pulih. Hal ini, menurutnya, semakin mengurangi pasokan kontainer yang sebenarnya bisa kembali ke Indonesia.

Pemerintah, kata Faisal, sedang melakukan pembicaraan dengan sejumlah perusahaan perkapalan. Lobi-lobi seperti ini, menurutnya, penting karena perusahaan-perusahaan itu sekarang kerap memprioritaskan barang bernilai tinggi.

Ia menambahkan, Kemendag tengah mengkaji insentif untuk meringankan biaya kargo laut bagi produk UMKM--yang pasti terbebani dengan kenaikan harga kontainer.

Sementara solusi jangka panjangnya adalah mengurangi ketergantungan Indonesia pada rute perdagangan regional yang saat ini harus melalui Singapura lebih dulu sebelum mencapai negara tujuan sebenarnya. Menurutnya perlu ada perbaikan infrastruktur agar Indonesia juga menjadi rute alternatif.

“Semua ini permasalahan global. Perlu pendekatan global juga,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait EKSPOR INDONESIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino