Menuju konten utama
16HAKTP

Ambil Kendali, Hapus Konten Intim Tanpa Izin di Dunia Digital

Konten intim yang disebarkan tanpa izin dapat dilaporkan dan dihapus melalui layanan dari organisasi masyarakat sipil SAFEnet, atau bisa juga lewat Komdigi.

Ambil Kendali, Hapus Konten Intim Tanpa Izin di Dunia Digital
Header diajeng Menghapus Konten Intim di Dunia Digital. tirto.id/Quita

tirto.id - Penyebaran konten intim tanpa izin atau non-consensual intimate image (NCII) merupakan salah satu jenis kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), istilah KBGO didefinisikan sebagai kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Dalam UU TPKS Pasal 14, KSBE tidak spesifik menyebutkan tentang penyebaran konten intim tanpa konsen.

Meski begitu, realitasnya, kasus penyebaran konten intim tanpa izin atau NCII di Indonesia kian mengkhawatirkan.

Menurut data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) per Juli hingga September 2024, terdapat 76 aduan kasus NCII dan 325 aduan tentang ancaman penyebaran konten intim.

Korban mengalami kekerasan berlapis. Konten intim, dalam beberapa kasus, sejak tahap pembuatannya, bahkan tidak diambil atas izin korban.

Korban bisa dipaksa, diintimidasi, atau dibuat tidak sadar saat konten intim tersebut dibuat. Dalam beberapa kasus, kejadiannya bahkan tanpa persetujuan, misalnya, pelaku memakai kamera tersembunyi.

Wida Arioka, koordinator Awas KBGO, sebuah inisiatif dari SAFEnet, menjelaskan bahwa korban NCII biasanya menginginkan satu hal: konten yang telah menyebar di dunia digital dapat dihapus dan dimusnahkan.

Wida menjelaskan bahwa pengaduan korban dapat disampaikan kepada SAFEnet melalui situs resmi SAFEnet, aduan.safenet.or.id.

“Mereka [korban], sudah paham dengan layanannya SAFEnet, jadi tidak sampai ke jalur hukum,” ujarnya.

Namun demikian, apabila setelah itu korban merasa perlu melakukan tindakan hukum—misalnya somasi terhadap pelaku—Wida menyebutkan bahwa pihaknya akan merujuk korban ke lembaga bantuan hukum terdekat.

“Kami akan rujuk ke LBH terdekat yang jadi rekan kami,” ungkapnya.

Wida juga mengungkapkan pentingnya mengikuti konsultasi tentang keamanan digital bagi korban.

“Kebanyakan dari mereka ingin agar tidak terhubung lagi dengan pelaku. Jadi, kami memberikan konsultasi keamanan digital—dicek privasinya bagaimana, apakah ada sosial media, atau akses-akses tertentu di teleponnya, yang terhubung dengan pelaku.”

Selain itu, Wida menyoroti pentingnya konseling sebagai bagian dari pemulihan korban.

Dalam hal ini, SAFEnet bekerja sama dengan lembaga lain untuk menyediakan layanan konseling gratis bagi korban NCII.

Peluang dan Tantangan

Korban NCII berhak mendapatkan penanganan dan pemulihan, termasuk penghapusan konten bermuatan seksual dalam kasus kekerasan seksual yang menggunakan media atau sarana elektronik.

UU TPKS mengatur pemenuhan hak tersebut. Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menangani konten TPKS sesuai Pasal 46.

Selain itu, Pasal 47 mengharuskan jaksa untuk berkoordinasi dengan ketua pengadilan dan Kementerian Kominfo dalam penghapusan konten tersebut.

Pasal 55 memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menutup akses pada data atau sistem elektronik yang mengandung TPKS selama proses peradilan.

Meski begitu, menurut kertas kebijakan Urgensi Pengaturan Penghapusan Konten Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik yang Berpihak Pada Pemenuhan Hak Korban, UU TPKS Pasal 46 masih memiliki kekurangan.

Pasal tersebut tidak menunjuk kementerian atau lembaga spesifik yang memiliki kewenangan untuk menghapus atau memutus akses informasi elektronik yang bermuatan kekerasan seksual.

Penggunaan frasa “Pemerintah Pusat”, menurut kertas kebijakan tersebut, membuat pelaksanaannya tidak jelas, karena banyak pihak yang bisa terlibat dan harus berkoordinasi.

diajeng Menghapus Konten Intim di Dunia Digital

Ilustrasi menghapus konten intim di dunia digital. FOTO/iStockphoto

Terlebih soal implementasi UU TPKS, yang menurut Wida, masih belum merata di seluruh daerah.

Di Bali, misalnya, pihak kepolisian sudah mulai menerapkan UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual, dengan unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang mulai melihatnya sebagai pendekatan yang lebih berfokus pada korban.

Namun di daerah seperti NTT dan NTB, penggunaan UU TPKS masih minim karena belum adanya aturan turunan yang jelas, terutama terkait penanganan konten bermuatan seksual di media elektronik.

“Unit PPA-nya juga belum tahu bagaimana caranya menelusur barang buktinya. Nah, yang punya kemampuan tersebut adalah unit siber. Akhirnya dibawanya ke unit siber,” ujar Wida.

Di unit siber yang lebih terbiasa dalam menangani masalah digital dan aspek-aspek teknis, kasus tersebut kemudian diproses dengan UU ITE.

Padahal, menurut Wida, UU TPKS seharusnya lebih memberikan perlindungan bagi korban.

“UU ITE perspektifnya lebih pada pelanggaran tindakan asusila. Jadi, sangat mungkin di beberapa kasus, korban malah juga ikut dianggap turut serta dalam memproduksi konten, dianggap membuat dapat diaksesnya konten intim tersebut,” terang Wida.

Revisi UU ITE kedua terbaru, yang disahkan pada Januari 2024 lalu, juga belum memaparkan keadilan restoratif yang berpihak kepada korban, termasuk korban NCII.

Antara Komdigi dan Platform Media Sosial

Kominfo atau sekarang disebut Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga memiliki mekanisme pengaduan sendiri melalui aduankonten.id.

“Benar-benar bisa dimanfaatkan sebenarnya buat teman-teman semua. Hanya saja sosialisasinya mungkin belum banyak yang mengetahui,” kata Wida.

Dia juga menambahkan bahwa Komdigi memiliki koneksi yang kuat dengan platform digital karena platform-platform tersebut harus tunduk pada aturan di Indonesia.

“Jadi, sebenarnya yang lebih punya gigi itu si Kominfo, ketika mereka bilang, ‘ini turun’,” kata Wida.

Terlebih, terdapat Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020).

Dalam PP PSTE, terdapat Pasal 95 yang mengatur peran pemerintah dalam mencegah penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, berdasarkan UU ITE dan UU Pornografi.

Tindakan pencegahan ini dilakukan dengan memutus akses langsung oleh pemerintah atau dengan memerintahkan PSE untuk memutus akses terhadap informasi, salah satunya yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum (Ayat 2).

Selain itu, Pasal 15-18 juga memberi hak untuk menghapus informasi yang tidak relevan dan mengeluarkannya dari mesin pencari.

Namun untuk yang kedua, korban perlu mengajukan permohonan ke pengadilan terlebih dahulu.

Permenkominfo 5/2020 mengatur soal kewajiban perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang dianggap melanggar hukum, termasuk yang “meresahkan masyarakat” (Pasal 9 ayat 4).

Yang menjadi permasalahan, frasa “meresahkan masyarakat” dapat diartikan bermacam-macam.

Poin itulah yang berpotensi membuat perusahaan media sosial terlalu berhati-hati sehingga akhirnya menyensor banyak konten, meskipun tak semuanya benar-benar melanggar.

diajeng Menghapus Konten Intim di Dunia Digital

Ilustrasi menghapus konten intim di dunia digital. FOTO/iStockphoto

Terlebih dari itu semua, menurut Pasal 14 dan 15, perusahaan hanya memiliki waktu 4 jam untuk menghapus konten yang dianggap meresahkan.

Meskipun SAFEnet lebih sering langsung menghubungi platform karena sudah memiliki jalur komunikasi yang terjalin, aduan melalui Kominfo tetap memiliki peran penting.

“Kami tetap berkomunikasi dengan Kominfo terkait pelanggaran tertentu, terutama untuk menilai kinerja mereka,” kata Wida.

Wida menjelaskan bahwa Komdigi semestinya memiliki komitmen yang kuat untuk menangani NCII, meskipun sekarang terlihat lebih fokus pada masalah judi online.

SAFEnet memiliki hubungan baik dengan platform besar seperti Meta dan Google dalam menangani penghapusan konten nonkonsensual.

Namun demikian, ada beberapa platform yang lebih sulit ditangani, seperti X (sebelumnya Twitter), WhatsApp, dan Telegram, terutama karena mereka menggunakan enkripsi bersifat end-to-end.

Percakapan, termasuk konten di dalamnya, yang dienskripsi secara end-to-end, hanya bisa dibaca oleh si penerima dan lawan percakapan.

“Yang susah karena itu disebarkan via jaringan pribadi atau japri. Mereka [platform] juga tidak bisa mengakses karena end-to-end. Itu sebenarnya cukup meresahkan.”

Hal ini menjadi lebih rumit ketika pelaku mengetahui nomor telepon orang tua atau kontak orang terdekat korban, lalu menyebarkan kontennya kepada kontak tersebut satu per satu secara pribadi.

diajeng Menghapus Konten Intim di Dunia Digital

Ilustrasi menghapus konten intim di dunia digital. FOTO/iStockphoto

Saat menangani aduan konten, Wida bercerita, SAFEnet biasanya langsung menghubungi platform terkait. Di satu sisi, korban juga bisa melaporkan langsung ke platform melalui fitur report.

Meski begitu, Wida mengakui bahwa respons dari platform dapat bervariasi.

“Kadang ada yang cepat, kadang ada yang cukup lama. Kata mereka, itu tergantung load kerjanya mereka.”

Wida menjelaskan bahwa platform media sosial menggunakan mesin moderasi otomatis untuk memeriksa konten yang diunggah.

Mesin ini dapat menghapus konten yang mengandung kata-kata tertentu yang terdeteksi.

Menariknya, pengguna aplikasi digital kini semakin lihai dalam mengakali sistem deteksi.

Misalnya, mereka mengganti huruf “e” dalam kata “seks” menjadi angka “3” untuk mengelabui sistem moderasi.

Terkait kasus-kasus seperti itu, pihak platform berusaha melibatkan sumber daya manusia untuk memoderasi konten yang lebih kontekstual.

Wida menambahkan, dalam kasus-kasus tertentu, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah, pihak platform acap kali tidak memahami konteksnya. Di situlah, SAFEnet berperan memberikan transkrip dan konteks yang jelas saat melaporkan kasus.

“Kami akan terus-menerus membangun komunikasi. Kami juga terus-menerus menuntut tanggung jawab platformnya sendiri untuk lebih serius melawan NCII,” ungkapnya.

Kolaborasi adalah Kunci

SAFEnet aktif membangun jaringan di berbagai daerah untuk mendukung memperjuangkan hak-hak digital, salah satunya penghapusan konten intim nonkonsensual.

“Misalnya, di Bali, kami juga berjejaring dengan LBH APIK Bali, HopeHelps di kampus, lalu Girl Up yang memang punya concern di isu KBG,” ungkap Wida.

Wida menekankan pentingnya membangun koneksi yang solid di daerah-daerah, karena banyak kasus yang muncul di luar kota-kota besar.

“Kami tahu bahwa kasus ini ada di daerah-daerah juga. Misalnya, ternyata kami butuh rujukan LBH terdekat. Nah, kami mesti tahu perspektif di daerah tersebut bagaimana, makanya kami berjejaring.”

Dalam upaya ini, sejak 2022, SAFEnet mulai membentuk Siaga Respon Insiden Keamanan Digital dan Kekerasan Berbasis Gender Online (Srikandi KBGO), sebuah jaringan yang tersebar di berbagai daerah, seperti Jabodetabek, Jawa Barat, dan Palu.

Wida menjelaskan, korban acap kali menghendaki untuk akses berbicara langsung—layanan yang masih cukup sulit disediakan oleh SAFEnet.

Oleh karena itu, jaringan seperti Srikandi KBGO di berbagai daerah hadir untuk menjembatani kebutuhan ini.

“Mereka akan menjadi tangan-tangan jejaringnya SAFEnet untuk menjangkau korban yang ada di daerah,” jelas Wida.

Di tingkat nasional, SAFEnet telah berjejaring dengan organisasi-organisasi seperti ICJR, PurpleCode Collective, LBH Apik Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Jakarta Feminist untuk memperkuat penanganan kasus.

Stop di Kamu

Dalam menghadapi peredaran konten intim nonkonsensual di internet, Wida menegaskan pentingnya peran individu untuk tidak turut menyebarkan konten tersebut.

“Peran penting kita tentu saja untuk tidak menyebarkan ketika melihat ada konten intim yang muncul di sosial media masing-masing.”

Wida juga mengingatkan bahwa setiap orang perlu untuk ikut melaporkan konten nonkonsensual yang sudah tersebar.

“Kalau bisa, tidak menyebarkan dan ikut melaporkan. Misalnya, ada kasus. Jangan sampai itu menyebar ke yang lain, berhenti aja di kamu. Lalu, kamu report, karena kita punya fitur report,” jelasnya.

Lebih lanjut, Wida menyoroti dampak yang lebih besar pada korban.

“Sering kali terjadi, ketika kasus itu viral, videonya menyebar, lalu kemudian komentar-komentarnya jadi menyalahkan korban, memojokkan korban, dan itu membuat korban menjadi korban dua kali. Jadi korban NCII dan jadi korban bullying juga di internet,” pungkas Wida.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Haetami

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Ahmad Haetami
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih