tirto.id - Sejarah buku memiliki banyak rupa. Tidak hanya tentang pencerahan, tapi juga kegelapan. Narasi tentang buku dipenuhi kisah-kisah pedih: penentangan, pelarangan, pembredelan, hingga penghancuran.
Kisah yang paling memilukan terkait buku terjadi pada dekade 1200-an. Saat itu, sekitar 150.000 bala tentara Mongol menginvasi Baghdad yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam sejak berabad lampau. Para tentara ini menghancurkan apa yang tegak di bawah langit: masjid, rumah sakit, istana, dan perpustakaan. Puluhan ribu buku --merentang dari buku astronomi, kedokteran, kimia, zoology, geografi, juga kartografi-- koleksi The Grand Library of Baghdad dibuang ke sungai Tigris. Legenda mengatakan, aliran sungai Tigris menghitam karena tinta buku yang luntur.
Yang lebih memilukan lagi, itu bukan kisah terakhir penghancuran buku. Lebih dari 800 tahun sejak tragedi yang dikenal sebagai Siege of Baghdad itu, tindakan serupa masih langgeng dilakukan oleh penguasa.
Indonesia termasuk negara yang sering melarang, membredel, bahkan menghancurkan buku. Orde Lama sempat mengeluarkan UU No. 4 tahun 1963 yang membuat Kejaksaan Agung punya "hak" untuk melarang buku dan semua barang cetakan yang dianggap bisa mengganggu ketertiban umum. Meski DPR tidak mengesahkannya, Soekarno tetap memuluskan peraturan itu dengan menjadikannya sebagai penetapan Presiden. Kewenangan itu diteruskan lagi oleh Orde Baru yang tercatat paling banyak melarang buku dan barang cetakan lain.
Menurut dokumentasi Radio Buku, sejak 1959 hingga 2009, lebih dari 300 buku yang dilarang oleh pemerintah Indonesia. Pengarang yang bukunya paling banyak dilarang adalah Pramoedya Ananta Toer. Bukunya, Hoakiau di Indonesia, dilarang pada 1959. Judul lain yang juga dibredel adalah Keluarga Gerilya, Perburuan, Mereka yang Dilumpuhkan, Subuh, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, hingga Tjerita Dari Blora. Setidaknya ada 24 judul buku karya penulis asal Blora ini yang dilarang pemerintah.
Kebanyakan buku dilarang di Indonesia dikarenakan alasan ideologis, dianggap membahayakan Pancasila, meresahkan masyarakat, hingga karena ditulis oleh lawan politik. Karena itu, sejak Orde Baru berkuasa, sebagian besar karya yang dilarang adalah karya-karya penulis Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Atau penulis yang dianggap punya kedekatan dengan Uni Soviet. Karya Agam Wispi, Sobron Aidit, S. Anantaguna, hingga Utuy Tatang Sontani adalah termasuk yang banyak dibredel dan dilarang. Ada sekitar 174 judul buku dan majalah dalam serta luar negeri yang dilarang oleh lembaga bernama Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme DKI Jaya.
Tidak hanya yang berkaitan dengan ideologi negara, buku yang dilarang juga berkaitan dengan kebudayaan. Setidaknya, Indonesia pernah melarang semua buku beraksara Cina.
Meski Orde Lama dan Baru sudah lama tumbang, praktiknya pelarangan, pembredelan, bahkan penghancuran buku masih terjadi. Terutama untuk buku-buku yang punya tema sensitif, seperti tema komunisme atau sosialisme. Pada 2012, Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia, membakar ratusan eksemplar buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Semua bermula dari protes Front Pembela Islam yang menganggap buku itu menghina Nabi Muhammad SAW. Pembakaran buku itu disaksikan oleh pihak Majelis Ulama Indonesia, Kepolisian, dan Direktur Utama Gramedia. Ironis bukan, sebuah toko buku terbesar yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia, malah memberikan jalan untuk penghancuran buku.
Untuk penerbitan pun demikian. Walaupun tak ada pelarangan untuk menerbitkan buku-buku, tetap saja para penerbit harus, "kucing-kucingan dengan tentara bila menerbitkan karya-karya Karl Marx," kata Ronny Agustinus, pendiri Marjin Kiri, sebuah penerbit independen yang menghadirkan buku-buku terpilih dari bidang sosial, ekonomi, politik, sastra, sejarah, dan filsafat.
"Masih sama seperti 2-3 dasawarsa lalu."
Tak hanya pelarangan, diskusi buku maupun pemutaran film juga diserang dan dibubarkan. Di Yogyakarta, kota yang selama ini dikenal sebagai kota pelajar, ada puluhan kali tindakan intimidasi kepada para pegiat literasi. Ormas-ormas itu, juga kepolisian, memaksa untuk menyita buku-buku kiri. Hal serupa juga terjadi di Cirebon, Bandung, hingga Gresik.
Untuk soal ini, kita boleh mengacungkan jempol sekaligus malu kepada tetangga kita, Malaysia. Iklim buku mereka lebih bebas dan terjamin. Penerbit independen seperti Thukul Cetak bebas menerbitkan buku-buku beraliran kiri dan radikal, seperti yang mereka muat di situsnya.
Turki, negara yang kerap dikritik pegiat HAM karena kepimpinan Erdogan yang otoriter, juga sudah mencabut larangan penerbitan buku sejak 2013 silam. Sebelumnya, Turki melarang ribuan buku selama beberapa dekade terakhir. Beberapa judul yang dilarang adalah buku karya Karl Marx dan Friedrich Engels.
"Dulu memang sempat ada aturan pelarangan buku itu. Tapi sekarang, setahu saya, sudah tidak ada larangan lagi," kata Didit Haryadi, Pemimpin Redaksi Turkish Spirits, sebuah media penerbitan kolektif yang dikelola oleh pelajar Indonesia di Turki.
Menurut Didit, iklim pendidikan dan literasi di Turki berjalan dengan baik dan nyaris nihil pelarangan buku lagi. Beberapa pemikiran karya pemikir Dunia Barat pun dikaji dengan bebas, tanpa perlu ada ketakutan digrebek ormas. Di kampus Didit, juga ada banyak sekali diskusi terbuka perihal gerakan sosial. Juga banyak ajakan untuk long march pada Hari Buruh.
"Bahkan di Istanbul, saya pernah menjumpai Komunist Parti Gencleri, alias Pemuda-pemuda Partai Komunis, yang berkampanye tentang isu-isu tertentu," kata mahasiswa program master Sosiologi di İstanbul Üniversitesil ini.
Di Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai rumah bagi kebebasan, penentangan, penyensoran, dan pelarangan buku juga masih terjadi. Walau tidak separah di Indonesia yang sudah dalam tahap penghancuran buku.
Menurut American Library Association, ada setidaknya 11.300 buku yang ditentang sejak 1982. Untuk menggugah isu kebebasan membaca, sejumlah organisasi berbeda latar belakagn kemudian membuat Banned Book Weeks. Tahun ini, perayaan Banned Book Weeks dihelat pada 25 Oktober.
Menariknya, alasan penentangan berubah-ubah setiap dekade. Terkadang berkaitan dengan isu yang sedang hangat. Walaupun garis besarnya tetap sama, tak akan jauh dari isu seksualitas, homoseksualitas, dan bahasa yang tak pantas.
Pada dekade 1990, misalkan. Kebanyakan alasan penentangan atau penyensoran buku adalah, "Bahasa yang tidak pantas" atau "terlalu banyak adegan seks". Sekarang, isu pelarangannya mulai melebar.
"Penentangan sekarang lebih fokus pada keberagaman, yang berkaitan dengan warna kulit, LGBT, disabilitas, atau kaum minoritas," kata James LaRue pada TIME.
Menurut Direktur ALA Office for Intellectual Freedom, penentangan buku ini tidak hanya dilakukan oleh para kaum konservatif. Melainkan juga oleh para petugas perpustakaan atau perpustakaan umum. Menurut catatan LaRue, ada penurunan daftar buku yang ditentang tahun lalu. Pada 2014, ada 311 laporan terkait buku yang kontennya dianggap layak sensor. Menurun jadi 275 laporan pada 2015. Menurut LaRue, ini bisa diartikan dua hal.
Bisa jadi hal baik kalau memang orang sudah mulai lebih bebas dalam membaca buku. Bisa juga jadi hal buruk, karena ini bisa jadi indikasi semakin sedikit orang yang perduli tentang penyensoran. Jadi ada kemungkinan penyensoran buku sudah dilakukan sejak dari atas, sehingga semakin sedikit laporan.
Satu hal yang pasti: pelarangan atau penentangan buku bisa membuat angka penjualan makin meningkat. Ini terjadi pada buku seperti Fifty Shades of Grey yang penjualannya melonjak setelah ditentang dan disensor oleh kaum konservatif. Di Indonesia, buku-buku Pram yang dilarang malah membuat pembaca --terutama anak-anak muda-- penasaran. Sehingga buku Pram masih beredar di bawah tanah.
"Pelarangan buku itu selalu gagal menghentikan pembaca mendapatkan buku yang mereka inginkan."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti