tirto.id - Memang serba salah jadi perempuan yang harus hidup dengan banyak stigma, termasuk jika harus berbicara atau bertindak perkara seksualitas.
Ada satu kisah dari A perihal pernikahan dan kehidupan seksualnya. Ia sudah menikah selama 13 tahun, tapi sejak 11 tahun belakangan kehidupan seksnya datar. Ia tak lagi mengalami orgasme ketika berhubungan badan.
Tak hanya itu, frekuensi bercinta dalam sebulan pun bisa dihitung jari. A kemudian berinisiatif membeli love instrument alias alat bantu seks. Maksud hati supaya kehidupan seksual dia dan suaminya kembali hangat. Win-win solution, pikirnya.
Namun apa daya, bukan kehidupan seksual dan cinta yang kembali hangat, yang ia dapat justru bara. "Suamiku bilang aku sudah gak suka lagi sama dia. Terus dibilang gak usah nikah kalau gak puas sama pasangan. Kami sampai berantem, aku bahkan disebut sebagai hiperseks," ujarnya. Apa yang dialami A tentu bukan cerita tunggal.
Seolah-olah perempuan makhluk aseksual, tak memiliki hak atas tubuhnya, tapi masih menanggung beban tuntutan “kemenangan” laki-laki saat berhubungan seksual.
Akibatnya, tak banyak perempuan mau mengakui dan bicara blak-blakan tentang permasalahan seksual mereka. Perempuan cenderung diam dan pasrah meski tak puas, atau malah tak bisa merasakan orgasme ketika berhubungan seksual.
"Suamiku takut kalau aku mencoba mainan dewasa maka aku ketagihan dan gak puas sama pasangan. Padahal bukan gak suka dia, tapi memang jarang orgasme kalau cuma penetrasi," tutur A. Faktanya, perempuan memang terbukti lebih susah orgasme ketimbang laki-laki.
Studi "Variation in Orgasm Occurrence by Sexual Orientation in a Sample of U.S Singles" yang dimuat di Sex Medicine Journal (2014) memvalidasi fakta ini.
Dalam penelitian itu, disebutkan kalau perempuan punya tingkat orgasme lebih rendah (62,9 persen) dibanding laki-laki (85,1 persen). Studi lain dari Journal of Family Practice (2000) menyebut masalah seksual yang paling banyak dikeluhkan perempuan adalah kurang gairah (87,2 persen) dan sulit orgasme (83,3 persen).
Yang paling miris, laman kesehatan WebMD merangkum secara general, sekitar 10 persen perempuan tidak pernah mengalami orgasme, baik dengan pasangan maupun masturbasi.
Alat Bantu yang Bermanfaat
Walau tergolong belum umum, bahkan terbilang tabu di Indonesia, alat bantu seks sebenarnya memiliki fungsi yang baik, bukan hanya dari kepuasaan seksual, tapi juga dari sisi kesehatan.
Studi terbitan The Journal of Sexual Medicine (2009) mengatakan perempuan menggunakan vibrator dalam tiga skenario: masturbasi, saat berhubungan seksual, dan membantu foreplay.
Secara umum menurut Psychology Today, pasangan yang mengeksplorasi cara baru dalam aktivitas seksualnya--termasuk menjajal alat bantu seks juga melaporkan kepuasan hubungan jangka panjang.
“Instrumen cinta ditujukan untuk semua orang dewasa yang aktif secara seksual. Tidak dibatasi oleh jenis kelamin, gender, preferensi seksual, hingga orientasi seksual,” terang dokter sekaligus seksolog Haekal Anshari. Umumnya, ujar Haekal, perempuan sulit mencapai orgasme disebabkan karena kurang “permainan” di awal hubungan seksual.
Selain itu, bisa juga akibat posisi yang tidak nyaman, ereksi pasangan kurang keras, bahkan hambatan psikis yang menganggap hubungan seksual menyakitkan. Instrumen cinta dapat digunakan pada saat pemanasan awal atau di sela-sela penetrasi seksual untuk membantu perempuan mencapai orgasme.
Pasangan bisa membantu stimulasi dengan instrumen tersebut untuk menambah hubungan semakin intim. “Penggunaan (alat bantu seks) sesuai indikasi adalah hal yang pantas dan salah satu alternatif yang direkomendasikan," kata Haekal.
Sementara, kata Haekal, alat bantu seks hanya benda mati, tak bisa mengekspresikan perasaan dan emosional, sehingga tidak akan terjadi pertukaran emosional dengan penggunanya.
Penggunaan instrumen cinta dalam aktivitas seksual, ibarat sambal dalam santapan, bukan komposisi pokok tapi menambah selera makan.
Selain untuk rekreasi, alat ini juga berfungsi membantu aktivitas seksual bagi kelompok disabilitas, dan menjadi terapi dalam kondisi medis tertentu. Jadi sah-sah saja jika perempuan menggunakan alat bantu seks, dan keputusan tersebut tidak serta merta menjadikan mereka seorang hiperseks. Sebab menurut Haekal, kedua hal itu punya definisi berbeda.
Hiperseks memiliki rangsangan seksual yang dapat muncul kapan saja, bila tidak dilampiaskan akan memicu stres bahkan depresi.
“Perempuan yang menggunakan love instrumen bukan hiperseks. Pengidap hiperseks itu harus melampiaskan hasrat seksualnya tanpa melihat tempat, waktu, situasi, dan kondisi, bahkan bisa dilakukan kepada siapa saja.”
Gthingsst, distributor ragam love instrument di Indonesia, membuka sesi diskusi bersama pengikutnya di Instagram Agustus 2022 lalu.
Mereka melempar pertanyaan terbuka soal stigma seksualitas terhadap perempuan. A adalah salah satu pengikut yang merespons pertanyaan di antara ratusan respon lain. Rata-rata pengikut Gthingsst—mayoritas perempuan (80 persen)—memberi respons serupa A. Pasangan mereka melarang membeli alat bantu seks. Alasan yang sering dilontarkan, semisal takut kalah saing dengan mainan dewasa, juga khawatir perempuannya menjadi "liar", menunjukkan betapa banyak orang punya maskulinitas rapuh.
Sejak saat itu Gthinggst menggagas kampanye perempuan berhak orgasme bersama selebritas Jennifer Jill Armand, alias Jennifer Ipel. Mereka sadar persepsi tabu instrumen cinta untuk perempuan harus ditumbangkan dengan edukasi. Maka mereka membuat konten-konten edukasi seksual di berbagai platform media sosial seperti Instagram dan Youtube.
“Kita nggak asal ngobrol, tapi undang pakar juga untuk membahas topik-topik seksualitas. Harapannya supaya kampanye ini meluas dan laki-laki paham bahwa perempuan bukan makhluk aseksual,” ungkap Catherine, representasi tim Gthingsst.
Catherine menambahkan, tujuan utama mereka adalah membuat pengikutnya paham tentang seksualitas, bukan cuma sekadar tahu saja.
“Bayangkan perempuan selama ini seperti ditutup (pengetahuannya), banyak dari mereka tidak paham atas tubuhnya sendiri.” Kampanye mereka akan berlanjut sampai setengah tahun ke depan.
Targetnya adalah bisa mengubah stigma negatif bagi perempuan yang memakai love instrument sehingga mereka bisa setara dalam hubungan seksual bersama pasangan, juga bisa lebih mengeksplorasi tubuh dan juga seksualitasnya.
Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Nuran Wibisono & Lilin Rosa Santi