Menuju konten utama

Budiman Sudjatmiko dan Jalan Panjang Pengentasan Kemiskinan

Sebagai Kepala BP Taskin, beban targetnya berat: menurunkan angka kemiskinan relatif di angka 4,5 sampai 5 persen di 2029.

Budiman Sudjatmiko dan Jalan Panjang Pengentasan Kemiskinan
Budiman Sudjatmiko. tirto.id/Andhika krisnuwardhana

tirto.id - Siang itu Budiman Sudjatmiko terlambat 30 menit dari waktu janjian kami. Di luar, aspal Kebon Sirih masih sedikit basah sisa hujan beberapa menit lalu. Berjalan pelan, mata Budiman menempel di layar. Ia tak sadar berjalan mengarah ke pintu. Beruntung dia kemudian melongok ke arah depan. Meski kaget sejenak, kepalanya tak jadi terbentur pintu.

Budiman sudah berubah banyak, seperti kata banyak kawan, atau mantan kawan-kawan yang kemudian berpisah barisan dan menjalani hidup masing-masing sembari mengenang masa lalu dengan beragam reaksi: bangga, sedih, sinis. Campur aduk.

Tak sedikit yang mengutuk Budiman karena pilihan politiknya. Sejumlah comrade lamanya menuding dia pengkhianat karena bergabung dengan Prabowo Subianto, (mantan) menantu Presiden Soeharto, pihak yang dia lawan begitu keras di masa lampau. Budiman sepertinya menanggapi dengan santai. Sebagai manusia yang menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya bertungkus lumus di dunia politik, dia sadar semestanya dinamis, dan perubahan adalah keniscayaan.

Dari dekat, kita bisa melihat langsung perubahan yang dialami oleh Budiman. Minimal dari fisiknya.

Yang paling kentara adalah rambutnya, yang dulu ikal dan lebat, kini mulai menipis di bagian depan. Kutukan banyak pria –yang konon disebabkan berpikir lebih keras dibandingkan pria lain yang rambutnya tetap lebat di usia 50-an– itu rupanya tak bisa dihindari oleh Budiman, yang di masa mudanya memukau dengan caranya bicara, beretorika, dan meyakinkan orang bahwa demokrasi harus diperjuangkan. Layak diperjuangkan, meski bayarannya adalah penjara, bahkan nyawa.

Perubahan juga terjadi pada berbagai aktivitasnya. Sejak diangkat menjadi Ketua Badan Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (BP Taskin), waktu luang semakin jadi barang mewah untuknya. Seorang kawan bertanya kenapa Budiman sudah jarang tampil di televisi untuk debat.

Bagi banyak penonton debat politik, sebelum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memecat Budiman pada 2023 karena mendukung Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden 2024, duet Budiman dan Adian Napitupulu selalu menjanjikan pertunjukan politik yang mengasyikkan.

Pria yang meraih gelar Master Hubungan Internasional dari Cambridge University ini seperti Kevin De Bruyne di lapangan hijau: tenang, tahu kapan harus melepas umpan, mawas kapan ia harus menahan bola, dan ketika mendapat ruang dia bisa lepas dari peran taktikal untuk kemudian menyerang dengan cepat.

Sedangkan Adian, yang karakter street smart-nya terasa amat kuat sejak namanya menghiasi surat kabar dan layar kaca di satu masa yang sama dengan Budiman, kerap menjelma seperti Erling Haaland yang punya nilai plus di semua karakter yang dibutuhkan striker era modern. Cepat, kokoh, trengginas, insting tajam, unggul di kepala maupun kedua kaki, dan tak segan beradu badan.

Sejak duet ini berpisah dan Budiman makin jarang hadir di layar kaca, wajar banyak yang merasa kehilangan.

“Kalau sekarang saya kan sudah di eksekutif, jadi perannya sudah beda. Harus bisa menahan diri,” katanya tertawa kecil.

Budiman mungkin sudah tak lagi sempat mengiyakan adu jurus di panggung debat. Tapi dia senantiasa menyediakan waktu untuk kegiatan favorit lain. Membaca buku, ujarnya, itu sudah pasti dia lakukan setiap malam jelang tidur. Menonton film juga kerap jadi kegiatan rutin.

Baru pekan lalu dia menyelesaikan The Crossing (2014), film garapan John Woo yang terdiri dari dua bagian: tentang revolusi di Cina dan tenggelamnya kapal Taiping. Dari deretan film yang pernah dia tonton, jika harus membuat daftar film terbaik sepanjang masa versinya, Budiman menjawab dengan yakin: Interstellar.

Film ini, ujarnya dengan mata berbinar penuh ketertarikan tanpa dibuat-buat, punya segalanya dari sebuah film yang baik. Ceritanya, akting pemainnya, hingga soundtracknya. Dialog antara tokoh Joseph Cooper –dimainkan oleh Matthew McConaughey– dan putrinya, Murph Cooper (usia anak-anak diperankan Mackenzie Foy, dewasa dimainkan oleh Jessica Chastain, dan versi lansia dibintangi Ellen Burstyn– sering mengingatkannya tentang percakapan dan diskusi-diskusi antara dia dan putrinya yang banyak berkisar di tema teknologi dan ilmu pengetahuan. Tak lupa dia menambahkan: mungkin sudah lebih dari enam kali dia menonton Interstellar.

“Enam kali nonton, enam kali pula film itu selalu membuat saya menangis,” ujar pria berkacamata ini.

Bahkan sampai sekarang, Budiman memang tetap tampak sebagai seorang geek, apalagi jika bicara soal science dan teknologi. Dua hal itu lekat erat dengannya beriringan dengan imej dan konsistensi di bidang yang dia bangun sejak 1990an: desa, aktivisme, dan pengentasan kemiskinan

Di dekade 1990-an, nyaris semua orang yang mengikuti berita politik pasti pernah mendengar nama Budiman. Dari luar dia tampak seperti kutu buku. Apalagi jika bicara dan berdiskusi, dia tak pernah lepas dari senyum dan tertawa kecil –kebiasaan yang terbawa sampai sekarang. Tapi dia juga dikenal sebagai aktivis yang garang dan tak kenal takut.

Pada 1997, dari luar ruang sidang setelah dia divonis 13 tahun penjara karena dianggap sebagai dalang makar dan penyebab tragedi Peristiwa 27 Juli (Kudatuli), di tengah perjalanan keluar yang disesaki banyak rekannya, tentara, juga polisi yang berjaga, Budiman mengamuk karena melihat ibunya didorong oleh para segerombolan tentara. Dalam suasana tegang, otot lehernya mengeras. Sembari mengarahkan telunjuk kepada para pelaku, Budiman mencecar.

“Jangan dorong ibu saya! Kalian durhaka! Kalian tidak ingat berapa bulan kalian dikandung oleh ibu kalian?!”

Budiman masuk penjara. Namun situasinya mengingatkan pada Võ Thị Thắng, yang divonis penjara 20 tahun oleh pemerintah Vietnam Selatan yang pro Amerika Serikat pada 1968. Ketika mendengar vonisnya, dia tersenyum dan berkata, "Apakah pemerintahan kalian beneran bisa bertahan lama ketimbang masa tahananku?"

Benar saja, kurang dari enam tahun setelah dipenjara, Thắng bebas. Setahun kemudian, perang Vietnam usai, Amerika Serikat pulang dengan kepala tertunduk, dan Vietnam Selatan tumbang.

Nasib Budiman mirip dengan Thắng. Setahun setelah Budiman menjalani hukuman, Orde Baru runtuh. Setelah menjalani 3,5 tahun hidup di penjara, dia mendapat amnesti dari Presiden Abdurrahman Wahid. Pria kelahiran Cilacap ini lantas pergi ke Inggris, kembali makan bangku sekolah setelah studinya di Universitas Gadjah Mada terhenti di tengah jalan karena aktivitas politiknya.

Usai lulus dari School of Oriental and African Studies (SOAS) dan Cambridge University, Budiman kembali ke Indonesia dan (kembali) menapaki jalan politik. Ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kariernya cemerlang. Dia dianggap sebagai salah satu kader muda menjanjikan di partai berlambang banteng ini.

Budiman menjadi anggota DPR dua kali, 2009-2018. Di sana, dia lagi-lagi dianggap sebagai politisi moncer dan tahu apa yang mau dia kerjakan. Salah satu produk yang dia banggakan adalah UU No 6/ 2014 yang lebih dikenal dengan UU Desa, yang memberikan otonomi dan tata kelola pemerintahan lebih dinamis di lingkup desa. Ini termasuk adanya dana desa yang jumlahnya terus meningkat tiap tahun.

Pada 2015, dana desa yang dianggarkan ada di angka Rp20,7 triliun, dengan rata-rata tiap desa menerima Rp280 juta. Tahun ini, anggaran untuk dana desa mencapai Rp71 triliun. Setiap desa rata-rata mendapat lebih dari Rp900 juta.

Menurut Budiman, dana desa membuat pembangunan tak lagi berpusat di kota. Dengan karakter khasnya, juga jejaring sosial yang sudah lama dianyam, desa kini bisa lebih berdaya dan menarik ketimbang hidup di kota. Kelak, Budiman membayangkan orang Indonesia tak lagi punya Jakartan dreams, menolak ide usang bahwa untuk sukses harus ke kota besar.

“Di masa pandemi, Indonesia bertahan karena ada UU Desa. Saya meyakini bahwa pembangunan desa adalah tanggung jawab kita bersama,” kata Budiman suatu ketika.

Bukan Sesuatu yang Asing

Dari keluarga dan masa kecilnya yang dia habiskan di Bogor dan Cilacap, Budiman memahami akar-akar masalah di desa yang identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Sejak 1990-an, Budiman dengan kesadaran penuh memilih lingkup gerak di desa. Dia mengorganisir petani dan nelayan agar sadar politik, agar memahami dan bisa menuntut hak-hak sebagai warga negara.

“Jadi ketika Pak Prabowo memberi amanah mengepalai BP Taskin, ya saya tinggal melanjutkan apa yang saya kerjakan sejak lama,” tuturnya.

Cara pandangnya tentang desa juga menunjukkan konsistensi. Pembangunan harus dimulai dari desa sebab di sana kemiskinan bersarang dan enggan keluar. Sejak menjadi salah satu inisiator paling getol dalam menggolkan UU Desa, perlahan dia melihat hasil kerjanya.

Ada transformasi nyata. Ada banyak pekerjaan mulai bermunculan di wilayah pedesaan. Menurutnya, kalau dilihat, pekerjaan di desa kini sering lebih baik dibanding di kota. Kota itu kompetisinya keras, menuntut upskill dalam gerak yang amat gegas. Kalau tertinggal, tergelincir ke jurang kemiskinan tinggal menunggu waktu. Sedangkan, ujarnya, desa sekarang punya stabilitas.

“Di desa ada jejaring sosial, ikatan yang kuat,” kata Budiman.

Namun Budiman tidak menutup mata bahwa kota tetap menjadi magnet migrasi. Di sanalah kemiskinan perkotaan bertahan: biaya hidup mahal, pekerjaan tidak stabil, hingga urbanisasi yang tidak terkendali. Tantangannya adalah bagaimana membuat desa cukup kuat sehingga warganya tidak lagi perlu lagi pergi ke kota untuk kemudian kesusahan berjuang dan menjadi kelompok miskin kota.

Sebab targetnya terpacak begitu tinggi: menurunkan angka kemiskinan relatif di angka 4,5 sampai 5 persen di 2029, hingga menihilkan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen. Saat ini, berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan di Indonesia ada di angka 8,4 persen.

Tak ada waktu untuk bersantai, apalagi berjoged. BP Taskin kemudian gerak cepat, merancang program yang melibatkan berbagai pihak.

Salah satu program yang mereka rancang adalah aglomerasi ekonomi yang diterapkan di Cirebon, Indramayu, Brebes, dan Kuningan. Kenapa daerah ini yang dipilih, karena Budiman melihat paradoks yang sangat terang.

“Karena Brebes itu nomor satu termiskin di Jawa Tengah, Indramayu nomor satu termiskin di Jawa Barat. Padahal Indramayu penyuplai 70 persen pangan Jawa Barat, pemasok 32 persen garam Jawa Barat. Tapi kenapa menjadi nomor satu termiskin? Itu kan paradoks,” ujarnya.

Pada pekan terakhir Agustus, proyek ini menemui langkah konkret. BP Taskin dan pemerintah daerah menggandeng pihak swasta menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) sebagai penanda dimulainya program Aglomerasi Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Mereka menggandeng Adapun, pihak swasta yang digandeng adalah PT Garam (Persero), PT Thara Jaya Niaga, PT Lintas Batas Nusantara, PT Nusantara Visi Persada, dan Harvest Waste dari Belanda.

Budiman menyebut kerja sama ini akan menerapkan sistem yang disebut Semi Closed-Loop Supply Chain (SCLSC).

Secara sederhana, SCLSC adalah perpaduan dan integrasi sebagian dari hulu hingga ke hilir. Mulai dari sektor produksi, pengolahan, distribusi, hingga waste management. Dengan sistem ini, diharapkan efisiensi dan produktivitas meningkat, tapi sekaligus ada keberlanjutan dan lebih ramah lingkungan. Dengan konsep ini, koperasi nantinya akan dikembalikan ke posisinya sebagai soko guru sekaligus penghubung, yang menjembatani petani dan nelayan dengan mereka yang ada di sektor pengolahan dan penjualan.

Budiman menyebut bahwa MoU dengan Pemda dan swasta ini adalah salah satu upaya BP Taskin untuk menurunkan angka kemiskinan secara perlahan.

Dalam kerja-kerja pengentasan kemiskinan ini, ada sembilan sektor yang jadi prioritas BP Taskin: pangan, energi baru terbarukan, digital, industri kreatif, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan hilirisasi atau pengolahan. Namun tentu saja membangun sembilan sektor ini bukan tanpa aral.

Menurut Budiman, mengerjakan usaha pengentasan kemiskinan dalam skala besar seperti ini, salah satunya: ego sektoral. Dia melihat tantangannya ada di hal yang disebut birokratisme. Banyak orang di dalam sudut-sudut birokrasi mengerjakan tugasnya dengan semangat penggugur kewajiban belaka.

“Kita nggak mau kayak gitu. Kita ingin setiap rupiah ini membawa makna bagi pengatasan kemiskinan,” ujar Budiman.

Memang, mengutip Chairil Anwar di “Karawang-Bekasi” yang sering didengungkan di kerja-kerja akar rumput era 90an: kerja belum selesai, belum apa-apa. Jalan Budiman dalam mengentaskan kemiskinan masih panjang, pula berliku.

Target yang dibebankan padanya seperti sebuah upaya memetik buah di ujung dahan terjauh. Meski begitu dia tetap optimis, sesuatu yang dia tanam dan pelihara baik-baik semenjak memutuskan jadi aktivis. Harapan, kata banyak orang bijak, seringkali jadi alasan untuk bertahan hidup dan terus maju. Itu yang dilakukan oleh Budiman.

"Itu doable, kok," katanya tersenyum.

Dalam pandangan jauhnya, juga visinya sebagai Kepala BP Taskin, Budiman ingin pemerintah memberikan instrumen dan perangkat agar orang-orang miskin bisa berdaya

“Makanya pendekatan kami adalah pengentasan kemiskinan yang membuat orang miskin menjadi produktif,” tutupnya. []

Baca juga artikel terkait BUDIMAN SUDJATMIKO atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial Budaya
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Dwi Ayuningtyas