tirto.id - Para warganet berbondong-bondong mengganti foto profil media sosial mereka dengan foto bernuansa hijau-merah muda, seiring dengan berlanjutnya rangkaian aksi massa, masuk ke bulan September 2025. Indy adalah salah satunya.
Perempuan 27 tahun itu merasa, hal itu bukan hanya sebagai bentuk solidaritas, melainkan resistensi dan bentuk aksi turut serta menuntut pertanggungjawaban penyelenggara negara.
“Yang gue tahu sih pink merepresentasikan ibu-ibu hijab pink dan hijau mewakili ojek online. Jadinya sebagai perempuan yang sering dibilang demanding, mungkin warna ini jadi merepresentasikan stereotip ya. Tapi gue gak malu mengakui (stereotip suka menuntut) ini sebagai perempuan,” kata Indy kepada jurnalis Tirto, Kamis (4/9/2025).
Sebab, menurut dia, selama ini perempuan kerap kali tak diberi ruang untuk bersuara. Dengan adanya sosok ibu pemberani berkerudung pink di aksi demonstrasi Agustus 2025, yang dokenal sebagai 'Ibu Ana', kekuatan perempuan seharusnya tidak bisa lagi disepelekan.

“Dulu tuh semua gerakan feminis selalu pakai warna pink dan aku selalu yakin, laki-laki dengan maskulinitas yang rapuh menganggap pink hanyalah warna untuk perempuan. Tapi sekarang pink bukan lagi hanya mewakili perempuan yang meminta hak mereka, melainkan merepresentasikan semua gender. Warna pink jadi universal gitu. Sebagai perempuan sih jadi senang ya,” ucapnya bersemangat.
Ia mengaku gerakan masyarakat terkait demo Agustus 2025, seperti kompak memakai warna senada, membuatnya merasa sangat “powerful” sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Apalagi warna pink ini juga diaplikasikan ke banyak desain dan poster-poster kreatif para ilustrator, termasuk dalam “17+8 Tuntutan Rakyat".
Selain perempuan yang selama ini kerap diasosiasikan dengan warna pink, warna terang ini jadi dipakai oleh semua orang, lintas generasi dan tanpa dikotomi gender. Juan (27) misalnya, mengatakan foto profil Instagramnya yang diedit jadi pink-hijau, bisa jadi perlawanan paling kecil dan menyebarkan kesadaran di ruang maya.
Hal unik yang disadari dari gambar dengan gradasi pink dan hijau ini juga menjadi salah satu upaya melawan dengan “estetika”. Pernyataan Juan jadi mengingatkan pada sebuah poster dominan warna pink berisi kalimat “rakyat jelita melawan dengan cantik”.
“Kedengarannya banal sih, tapi kalau dari observasiku, narasi visual kayak gini yang susah dilawan dan digembosi buzzer pro rezim. Ya tau sendiri lah mereka bikin poster ‘tandingan’ dan poster 'provokatif' aja pake AI [akal imitasi], mana bisa dia melawan dengan estetika semacam ini,” kata Juan ketika dihubungi Tirto, Jumat (5/9/2025).
Seiring dengan upaya gerakan sipil organik, media sosial memang turut diwarnai ajakan demonstrasi palsu lewat pesan-pesan provokatif dan poster berdesain semrawut. Salah satu poster yang sempat menyita perhatian bertajuk “Bogor Meledak, #aparatkeparat”.
Poster yang beredar itu dicurigai palsu oleh sejumlah warganet karena mengandung sejumlah kejanggalan. Alasannya adalah terpampang kalimat “turut mengundang ACAB”, yang merujuk pada frasa 'All Cops Are Bastards’.
“Apalagi setelah orang-orang masif pakai pink-ijo ini, banyak orang yang bikin poster gerakan, ilustrasi dan berbagai macam artwork yang bagus-bagus banget. Makanya mereka [buzzer] kan akhirnya menyerang ke hal-hal yang gak substansial,” ucap Juan menggambarkan berseliwerannya narasi tiba-tiba yang memberi frame buruk kepada Ibu Ana.
Di tengah anggapan bahwa pink adalah warna feminin, sebagai laki-laki, Juan tak pernah mengasosiasikan warna itu dengan gender tertentu atau dengan sesuatu yang “powerless”. Ia merasa pemilihan pink justru menjadikan pergerakan ini semakin kuat lantaran merepresentasikan hal-hal yang dianggap marjinal.

“Pertama, perempuan yang melawan dan yang kedua, dari warna pink itu sendiri, kayak sebuah kebetulan yang baik banget, Bu Ana hadir saat itu, melawan aparat, dengan hijab warna pink. Kayak seolah-seolah bikin kita merasa apa yang kita perjuangkan; yang selama ini gak pernah didengerin karena kita ‘marjinal’, karena kita ‘liyan’, karena kita dianggap gak penting sama rezim ini,” kata Juan.
Dia bilang, gerakan warganet kompak mengganti foto profil media sosial membuatnya terharu dan merasa aksi ini lebih besar ketimbang apa yang dia bayangkan. Beberapa teman dia yang dahulu hampir tak pernah membicarakan politik pun turut serta memakai gambar bernuansa pink-hijau.
Bandwagon Effect
Dari personal menjadi gerakan kolektif. Barangkali bisa menggambarkan bagaimana sosok Bu Ana menjadi inspirasi bagaimana merah muda kini lekat dengan perlawanan dan perjuangan bersama. Warna ini juga menjadi sangat universal, tapi sedari awal memang semestinya demikian.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menjelaskan, kekompakan masyarakat mengadopsi warna pink bisa dilihat sebagai fenomena bandwagon effect dan solidaritas digital lintas kelas dan gender. Istilah bandwagon mengarah ke kondisi ketika pemikiran dipengaruhi oleh sesuatu yang sering dilakukan banyak orang
“Ketika narasi baru ini diviralkan dengan label brave pink, asosiasi lamanya tergeser; laki-laki maupun perempuan nyaman mengadopsinya, karena maknanya bukan lagi soal gender, melainkan keteguhan hati dan kepedulian. Inilah contoh bagaimana konteks dan narasi kolektif memproduksi ulang makna warna menjadi identitas perjuangan bersama,” terang Wawan kepada Tirto, Jumat (5/9/2025).
Warna-warna pastel yang akhirnya meramaikan media sosial juga pada dasarnya memberi framing emosional, di mana ia memberi sinyal damai, empatik, dan inklusif, yang akhirnya membuka simpati publik yang lebih luas. Dengan kata lain, makna pink jadi meluas pada keberanian berlandaskan kasih atau empati.
“Jadi pilihan pastel menegaskan pesan akan sesuatu yang telah hadir sebelumnya, sesuatu yang berasal dari pesan kemanusiaan, hal ini pada akhirnya memperlebar koalisi dukungan,” kata Wawan.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research, Adinda Tenriangke Muchtar satu suara. Jika sebelumnya gerakan kritik identik dengan warna gelap, kehadiran warna pink jadi warna yang menenangkan dan cerita, tapi sekaligus penuh makna.
“Jadi ini gerakan yang kreatif, yang membuat orang bergerak. Tapi ketika dia menggunakan warna pink, hijau, itu membuat orang juga engage [terlibat]. Dan karena ada maknanya, makanya itu ada di mana-mana ya, di gerakan, di media sosial,” ucap Dinda ketika dihubungi Jumat (5/9/2025).
Di tengah kesulitan kondisi saat ini, menurutnya, suatu gerakan juga butuh strategi yang sifatnya mudah dicerna dan gampang diikuti. Sebuah warna tidak lagi mengandung bias gender karena dia mewakili pesan, mewakili gerakan bersama, dan tidak mengotak-otakkan.
“'Oh pink itu warnanya cuma buat Valentine, oh pink itu warna perempuan.' Tidak. Nah, ini yang terjadi karena adanya simbol-simbol perjuangan. Dan ini menarik karena orang menjadi relatable, mudah mencerna, dan menjadikan itu sebagai semangat perjuangan bersama,” kata Dinda.
Melihat historinya, sebelum Perang Dunia II, pink justru dipertimbangkan sebagai warna yang kuat dan tegas karena ada dalam spektrum warna merah. Sudah saatnya kita merebut kembali pemaknaan itu, bukan berarti mengembalikan asosiasi kepada laki-laki seperti sedia kala, tapi untuk menanamkan dalam pikiran kalau warna seharusnya tak punya asosiasi gender.
Tak Cuman Warna, Tapi juga Advokasi Strategis
Sekali lagi, kehadiran desain penuh pink ini pun bukan hanya sebatas warna, tapi sebuah pesan advokasi yang dikemas secara strategis.
Setiap orang jadi bisa ikut mengambil bagian dalam perlawanan, baik dengan membuat poster aksi dengan nuansa pink, membagikan unggahan para kreator, atau memasang gambar profil bergradasi pink-hijau.
Warna sebagai identitas aksi protes juga tak cuman kali ini terjadi. Pada 2014 lalu, aksi demokrasi di Hong Kong, yang juga dikenal dengan “Umbrella Movement” identik dengan warna kuning. Para demonstran saat itu mengenakan payung untuk melindungi mereka dari semprotan gas air mata dari polisi.
“Artinya public space ini diwarnai oleh hal-hal yang kreatif, termasuk memanfaatkan momentum dan apa yang terjadi. Dan ini menarik karena akhirnya menggunakan warna sebagai bagian dari perlawanan. Dan saya pikir kampanye seperti ini juga sangat dibantu oleh banyaknya teman-teman muda, yang terbiasa menggunakan visual, pesan-pesan yang mudah dicerna dan relatable dengan kehidupan masyarakat,”
Bukan berarti menghilangkan makna pink yang kerap dilihat sebagai warna halus dan penuh cinta, dalam gerakan ini justru mengampanyekan hal serupa, yakni memuat semangat perdamaian dalam aksi. Tak lupa di dalamnya juga ada keberanian, yang diikuti dan melibatkan banyak pihak.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































