Menuju konten utama

BPKN, Badan Perlindungan Konsumen yang Tak Beken

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih populer dibandingkan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

BPKN, Badan Perlindungan Konsumen yang Tak Beken
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengikuti rapat kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/2). Raker itu untuk memberikan pertimbangan terhadap 20 calon anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

tirto.id - Kenal dengan BPKN? Namanya seperti tenggelam dibandingkan YLKI atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang jauh lebih populer. Tengok saja mesin pencari Google, singkatan BPKN hanya didapati 107.000 hasil pencarian, bandingkan dengan YLKI menembus 1.100.000 hasil.

BPKN atau Badan Perlindungan Konsumen Nasional memang masih belum begitu dikenal masyarakat. Berdiri sejak 2004, lembaga ini memiliki fungsi sebagai pemberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen, di bawah Undang-Undang (UU) Nomor 8/Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Tanggung jawab lembaga ini bukan main-main, BPKN bertanggung jawab secara langsung kepada presiden, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/Tahun 2001 tentang Tugas, Fungsi, serta Keanggotaan BPKN,

“Saya malah baru dengar nama BPKN itu,” kata Andre Kristiawan (24), warga Jakarta, kepada Tirto.

Kenyataan bahwa YLKI jauh lebih populer ketimbang BPKN juga diakui oleh anggota parlemen. Anggota Komisi VI DPR RI, yang membidangi perdagangan dan industri, Eka Sastra, menganggap ini sebagai bukti bahwa kehadiran negara belum hadir dalam hal melindungi konsumen.

“Kadang lembaga organisasi non-pemerintah lebih terkenal ketimbang BPKN ini. Ada permasalahan institusi yang harus dihadapi, di samping kompetisi dan juga perlindungan konsumen,” ucap Eka di Jakarta pada Senin (9/10)

Ia berpendapat fungsi BPKN dan tugas YLKI tidak akan bertabrakan. Ia mendorong agar BPKN dapat bersinergi dengan YLKI untuk memaksimalkan perlindungan pada konsumen.

Kepala BPKN Ardiansyah Parman menegaskan ada perbedaan antara BPKN dengan YLKI. Menurut Ardiansyah, BPKN merupakan lembaga yang memang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan YLKI kehadirannya diakui oleh pemerintah. Ardiansyah boleh saja berpendapat demikian, tapi pada kenyataannya dua lembaga ini sama-sama punya tugas dan fungsi menerima keluhan atau pengaduan konsumen.

“Tugas BPKN jelas, kami harus memberikan saran kepada pemerintah. Kekurangan penasihat kan memang seperti itu, kurang dikenal. Sedangkan YLKI lebih dikenal, memang betul. YLKI harus mengadvokasi, membantu konsumen, serta memperjuangkan hak-haknya,” kata Ardiansyah.

Infografik BPKN

Bukan Hanya Soal Badan Perlindungan

Pemerintah dalam setiap kampanyenya selalu mendorong agar konsumen di posisikan sebagai pihak yang "cerdas" dan kritis. Namun, kenyataannya berdasarkan hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di 13 kota besar di Indonesia, IKK hanya mencapai 30,8. Angka ini turun dibandingkan dengan IKK 2015 yang sempat mencapai 34,17 dari nilai maksimal 100.

IKK Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan nilai perhitungan IKK di 29 negara Eropa pada tahun 2011 yang sudah mencapai rata-rata 51,31. Dengan nilai IKK hanya sebesar 34,17 bahwa keberdayaan konsumen Indonesia hanya sebatas level paham soal hak dan kewajiban, tetapi belum sepenuhnya mau memperjuangkannya.

Politisi Senayan melihat masalah ini dengan langsung mengaitkannya dengan upaya mendorong kinerja BPKN. Ada dorongan agar revisi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

“Agenda kita ke depan adalah merevisi UU tersebut. Poin utamanya kita ingin mendorong perlindungan konsumen yang lebih baik di Indonesia. Caranya dengan mengubah regulasinya dan memperbaiki desain kelembagaan,” ujar Eka.

Sebagai lembaga yang mendapat sorotan, BPKN tentu patut berbenah. Persoalan payung hukum lagi-lagi menjadi kambing hitamnya. Kepalda BPKN Ardiansyah Parman mengakui UU Nomor 8/Tahun 1999 membuat BPKN cenderung bertugas sebagai badan yang sebatas membantu dalam memberikan saran kepada pemerintah.

“Memang belum mempunyai kewenangan lebih dari itu. Sementara harapan masyarakat, BPKN ini perlu diberdayakan dengan memberikan kewenangan lebih dari yang sekarang,” katanya.

Selain masalah tugas dan kewenangan, Ardiansyah juga mengungkapkan faktor anggaran dan ketiadaan sekretariat BPKN urut memengaruhi kinerja lembaga ini. Ia mengungkapkan BPKN belum memiliki anggaran tersendiri. Anggaran yang diperuntukkan bagi BPKN masih di bawah Kementerian Perdagangan. Persoalan anggaran hanya sisi lain dari masalah yang membelit BPKN. Masalah keanggotaan BPKN yang berganti setiap tiga tahun menjadi masalah internal BPKN.

Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Leonard Tampubolon menyatakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan kinerja BPKN adalah dengan memaksimalkan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, BKPN didorong untuk mengawal implementasi sembilan sektor prioritas antara lain obat dan makanan, listrik dan gas rumah tangga, transaksi perdagangan melalui sistem elektronik, jasa keuangan, jasa telekomunikasi, perumahan, jasa transportasi, jasa layanan kesehatan, serta barang elektronik, telematika, dan kendaraan bermotor.

“Memang strategi nasionalnya kan baru jadi. Strategi nasional itu digunakan supaya bisa mendorong BPKN agar betul-betul maksimal, dan perlindungan konsumen tepat sasaran,” kata Leonard.

Anggota BPKN periode 2013-2016 David Tobing menilai permasalahan yang menimpa konsumen adalah sesuatu yang genting. Ia berharap agar BPKN dapat memiliki kewenangan lebih luas lagi.“Seperti urusan First Travel salah satunya. Harus ada lembaga seperti ini yang dimandirikan, diberi anggaran yang memadai, supaya dia tak hanya memberi saran atau rekomendasi, namun juga mengawasi dan menindak,” ucap David.

Untuk sampai pada tahap melakukan pengawasan yang ketat dan tindakan yang tegas, BPKN butuh kekuatan baru, dan ini sangat tergantung dengan kemauan pemerintah, dan tentunya DPR.

Baca juga artikel terkait KONSUMEN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Suhendra