tirto.id - Pada zaman pendudukan Jepang, dr. Boentaran Martoatmodjo tinggal di Semarang dan bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut data pemerintah militer—yang terhimpun dalam Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944:328, 476)—istri Boentaran adalah wakil ketua Fujinkai (organisasi wanita) di Semarang. Selain menjadi dokter di rumah sakit, Boentaran juga pimpinan dari Komite Pembantoe Rakjat (KOPERA) dan Penolong Korban Perang (PEKOPE). PEKOPE adalah organisasi mirip palang merah yang didirikan orang-orang Indonesia. Diketuai dr. Muwardi, PEKOPE memiliki sejumlah anggota yang memiliki latar belakang kedokteran.
Masa pendudukan Jepang adalah masa darurat. Boentaran terhubung dengan Sutardjo Kartahadikusumo—yang di zaman Hindia Belanda mencetuskan petisi Indonesia agar berparlemen. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979:71), Sutardjo adalah orang yang menggagas milisi atau wajib militer di Indonesia. Menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2016:482), ia tidak berpolitik praktis pada zaman Hindia Belanda.
Pada zaman pendudukan Jepang, Boentaran sudah tergolong politisi tua. Dia kelahiran Loano, Purworejo, 11 Januari 1896. Sejak 1918, ia berdinas sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah kejuruan bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)—yang mendidik calon dokter Hindia atau dokter Jawa—Boentaran pernah menjadi dokter pemerintah di Semarang, Banjarmasin, Bulungan, Samarindah, Pulau Laut, Denpasar, Mataram Jember dan lainnya. Dia pernah memperdalam keahliannya di Universitas Leiden, Negeri Belanda, dan mengerjakan tugas akhir Bijdrage tot de studie V.H.- Ultra Virus Tuberculeus.
Selama di Negeri Belanda, menurut kesaksian Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional (1978:175), dr. Boentaran bersama dr. Ahmad Mochtar pernah bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Padahal keduanya adalah dokter pemerintah kolonial. Bergabung dengan organisasi seperti itu bisa membuat mereka dipecat.
Pada akhir masa pendudukan Jepang, Boentaran termasuk salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Jepang kalah dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Boentaran diangkat menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet presidensial pimpinan Presiden Sukarno. Sebelumnya, pada zaman Jepang, Boentaran pernah menjadi Kepala Bidang Kesehatan Departemen Dalam Negeri, yang berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang. Menjabat sejak 19 Agustus 1945, ia terhitung sebagai Menteri kesehatan Indonesia pertama.
Ketika Boentaran menjadi menteri inilah mimpi dr. R.C.L. Senduk dan dr. Bahder Djohan yang pada 1932 hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia bisa tercapai. Dulu, sebelum 1942, hanya ada Het Nederland-Indiche Rode Kruis (NIRK) alias Palang Merah Hindia Belanda di nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda. Usaha Senduk dan Djohan ditentang orang Belanda ketika hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia dan usaha itu gagal. Kali ini perintah mendirikan palang merah datang dari Presiden Sukarno. Boentaran Martoatmodjo melaksanakannya.
Mulanya, pada 5 September 1945, Boentaran terlebih dahulu membentuk Panitia Lima, yang terdiri dari para dokter Indonesia: Raden Mochtar, Bahder Djohan, Jacob Bernadus Sitanala, Djoehana Wiradikarta dan Marzuki. Hasil kerja panitia lima itu ialah terbentuknya organisasi Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua Umum Wakil Presiden Hatta. Ketua harian dijabat Boentaran. Raden Mochtar duduk di kursi sekretaris.
Kabinet presidensial yang dipimpin oleh Sukarno tidak lama, hanya dari Agustus hingga November 1945. Kabinet selanjutnya adalah Kabinet Sjahrir Pertama. Posisi Boentaran dalam kabinet ini digantikan oleh dokter yang hampir seumuran dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yakni dr. Darmasetiawan, yang dibantu Menteri Muda Kesehatan dokter Johannes Leimena.
Setelah tak jadi menteri, Boentaran masuk golongan oposisi dalam pemerintah Sjahrir. Bersama adiknya yang ahli hukum, Budhyarto Martoatmodjo, serta Muhammad Yamin, Boentaran mendekat kepada kelompok Tan Malaka yang juga bersebrangan dengan Sutan Sjahrir.
Setelah 29 Juni 1946, setelah Sjahrir diculik dua hari sebelumnya, orang-orang yang dekat dengan Tan Malaka ditangkapi--termasuk Ahmad Subardjo, Budhyarto, dan Boentaran. Mereka ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti para penjahat biasa. Setelah ditahan beberapa hari, mereka kemudian dikeluarkan oleh Jenderal Mayor Sudarsono, panglima tentara daerah Yogyakarta. Mulanya Boentaran dan lainnya dibawa ke Wiyoro dan bertemu Sudarsono. Paginya, bekas tahanan Wirogunan itu dibawa ke depan Istana Gedung Agung Yogyakarta.
Pada 3 Juli 1946 Jenderal Mayor Sudarsono, yang membawa tuntutan untuk membubarkan kabinet Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan Politik dengan Tan Malaka sebagai ketua dan Yamin, Ahmad Subardjo, Boentaran, Budhyarto, Sukarno, Chaerul Saleh dan beberapa yang lainnya sebagai anggota. Sebuah maklumat terselip di dalamnya mendesak pengangkatan beberapa tokoh oposisi sebagai menteri--dan Boentaran diusulkan sebagai Menteri Kesehatan lagi. Sukarno tidak mewujudikan tuntutan tersebut. Peristiwa itu diingat sebagai Kudeta 3 Juli. Setelah peristiwa itu, Boentaran dan bekas tahanan lain kembali masuk bui di Jawa Timur. Boentaran dapat hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan.
Kudeta 3 Juli adalah kudeta paling penuh ampunan dalam sejarah konflik di Indonesia. Memang ada hukuman penjara bagi mereka yang terlibat, namun kehidupan mereka setelah hukuman tidak dipersulit. Boentaran kembali jadi pejabat pada 1950an. Buku Kami Perkenalkan (1954:158) menyebut sejak 30 Juni 1954 Bundaran Martoatmodjo diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat. Pelaku lain, Muhammad Yamin belakangan menjadi Menteri pendidikan di bawah Presiden Sukarno. Pada 1960an, Boentaran pernah menjadi Ketua Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Soviet Uni, suatu Lembaga yang ikut membantu pelajar Indonesia kuliah di Rusia. Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia ini tutup usia pada 4 Oktober 1979 di Jakarta.
Editor: Windu Jusuf