tirto.id - "Wajah Bumi pada abad ke-21 sangat dipengaruhi oleh aktivitas serta akumulasi benda-benda yang diciptakan manusia, yang belum pernah terjadi sebelumnya," buka Emily Elhacham, peneliti pada Departemen Ilmu Tanaman dan Lingkungan, Wizmann Institute of Science, Israel, dalam studi berjudul "Global Human-Made Mass Exceeds All Living Biomass"
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Naturepada 9 Desember 2020 itu, Elhacham menyebut bahwa kini, total massa dari benda-benda buatan manusia telah mengimbangi (dan diperkirakan telah memampaui) total massa semua makhluk hidup di Bumi. Bangunan, jalan raya, mobil, gelas, kertas, ponsel, dan berbagai benda buatan manusia lainnya memiliki massa sekitar 1,1 trillion metrik ton alias 1,1 Tt (terato), sama dengan total massa semua makhluk hidup yang hidup di atas Bumi, 1,1 Tt.
Jejak terlampauinya massa seluruh makhluk hidup di Bumi oleh benda-benda buatan manusia, tulis Elhacham, "dimulai ketika revolusi pertanian muncul pada tahun 1900 silam". Kala itu, "umat manusia secara kasar mengurangi setengah massa tanaman, dari sekitar 2 teraton turun menjadi satu teraton". Total massa tetumbuhan sendiri, menyumbang lebih dari 90 persen total massa seluruh makhluk hidup, termasuk manusia dan binatang. Dan ketika pertanian modern lahir, ia membutuhkan lahan kosong yang ekstra luas, total massa tanaman domestik semakin menurun, mencapai angka 0,01 teraton. Tak berakhir di situ, akibat deforestasi yang kian menjadi-jadi--entah demi pengalihfungsian tanah menjadi pabrik atau pemukiman-- total massa tanaman kian menyusut.
Elhacham menyebut bahwa peningkatan massa dari benda-benda buatan manusia meningkat layaknya prediksi Gordon Moore, mantan CEO Intel, soal transistor. Jika Moore menyebut jumlah transistor yang terkandung di dalam prosesor akan meningkat dua kali lipat tiap tahun, Elhacham menyatakan bahwa sejak 1900 total massa benda-benda buatan manusia meningkat dua kali lipat tiap 20 tahun, alias bertambah 30 Gt tiap tahun. Seandainya benda-benda buatan manusia yang telah rusak dan dihancurkan atau didaur-ulang diperhitungkan, total massa benda-benda buatan manusia telah melampaui total massa makhluk hidup sejak 2013 silam.
Lebih rinci, total massa binatang saat ini adalah sekitar 4 gigaton (Gt), sementara total massa seluruh barang-barang yang terbuat dari plastik telah mencapai sekitar 8 Gt. Total massa seluruh pepohonan yang ada di Bumi saat ini berada di angka 900 Gt, sementara massa seluruh bangunan yang diciptakan manusia telah mencapai angka 1.100 Gt.
Manusia memang rakus mengkonsumi barang. Di ranah ponsel misalnya, pada 2007, terdapat 122,3 juta unit ponsel baru meluncur ke tangan manusia. Sepuluh tahun berselang, 1,5 miliar unit ponsel baru digenggam manusia. Dengan contoh ini, tak mengherankan bila total massa benda-benda buatan manusia melampaui total massa makhluk hidup. Yang unik, jika banyak orang percaya bahwa makhluk hidup yang muncul di Bumi tercipta atas campur tangan Tuhan, kini ada banyak benda buatan manusia terlahir ke dunia atas campur tangan Cina.
Cina, si Pabrik Dunia
"Asal-usul Cina menjadi negara paling dinamis secara ekonomi, dan akhirnya memperoleh predikat sebagai 'pabrik dunia,' dimulai sejak 1978," tutur Kevin Honglin Zhang, dalam bukunya berjudul China as the World Factory (2006). Kala itu, usai ditinggal Mao Zedong dan mengalami stagnasi ekonomi, pemimpin Cina saat itu, Deng Xiaoping, menghendaki perubahan. Dalam rapat Partai Komunis yang diadakan pada 13 Desember 1978, Deng menginginkan Cina baru. Cina yang belajar dari kesuksesan negeri-negeri kaya. Cina yang memungkinkan rakyatnya, terutama golongan miskin, untuk berkembang.
“Kita membutuhkan para perintis yang berani berpikir, mengeksplorasi cara-cara baru dan menghasilkan ide-ide baru,” kata Deng. “Jika tidak, kita tidak akan mampu menyingkirkan kemiskinan dan keterbelakangan atau mengejar negara-negara maju.”
Semenjak dekade 1980-an Beijing melakukan reformasi besar-besaran untuk merealisasikan Cina baru. Zhang menulis, kebijakan pertama yang dilakukan ialah mengubah sistem pemerintahan, dari monopoli pusat menuju desentralisasi. Dengan sistem yang berubah ini, provinsi-provinsi di Cina dapat membuka wilayahnya untuk kegiatan ekonomi alias membentuk zona ekonomi khusus, khususnya bagi pemodal asing yang bisa masuk tanpa perlu izin khusus dari pusat. Lalu, untuk mendukung zona ini, Cina membuka keran besar-besaran bagi perusahaan investasi asing, terutama konglomerat-konglomerat dari Hong Kong, Taiwan, dan Jepang. Salah satu daya penarik yang diberikan: Cina punya pekerja dalam jumlah besar dan bertarif murah.
Tak ketinggalan, agar menarik minat lebih banyak lagi konglomerat asing, Cina pun melakukan devaluasi pada mata uangnya, yuan. Pada 1978, 1 dolar memiliki kesamaan nilai dengan 1,7 yuan. Pada 1989, nilainya turun menjadi 3,8 yuan per 1 dolar. Bahkan, lima tahun kemudian, yuan hanya berharga 8,6 dibandingkan 1 dolar. Belum berhenti, Cina memberikan dua opsi bagi para konglomerat untuk berinvestasi: memproses bahan impor menjadi produk ekspor (lai liao jia gong) atau memproses komponen yang diimpor menjadi ekspor (jin liao jia gong). Dalam opsi pertama, Cina hanya bekerja untuk mengkonversi bahan mentah menjadi suku cadang. Opsi kedua, suku cadang diimpor ke Cina untuk dijadikan produk utuh. Kedua pilihan ini dilengkapi dengan kebijakan "duty-free" alias bebas pajak.
Beberapa tahun kemudian, muncul banyak pabrik baik di kota maupun desa. Di Provinsi Guangdong, misalnya, yang disebut-sebut sebagai pusat ekonomi Cina, muncul lebih dari 60.000 pabrik. Jika pada 1978 nilai ekspor dan impor Cina hanya berjumlah 10 persen dari produk domestik bruto (PDB)--alias tergolong paling rendah di seluruh dunia, maka semenjak reformasi dilakukan nilainya meningkat menjadi 75 persen. Dalam 26 tahun pertama reformasi, volume perdagangan Cina melonjak dari $21 miliar menjadi $1,1 triliun. Pada 2004, Cina sukses menjadi negara perdagangan terbesar ketiga di dunia, dengan label "made in China" melekat pada 6,5 persen total produk ekspor dunia. Merujuk publikasi Statista, sejak 2018, Cina menjadi manufaktur utama yang memproduksi 28,4 persen produk dunia. Angka ini unggul jauh dari Amerika Serikat (16,6 persen), Jepang (7,2 persen), Jerman (5,8 persen), dan Korea Selatan (3,3 persen).
Label "made in China" hampir tertempel di semua produk dan tersedia hampir di seluruh dunia. Kenyataan ini membuat Shang-Jin We, dalam studinya berjudul "From 'Made in China' to 'Innovated in China': Necessity, Prospect, and Challenges" (2017) menyebut Cina "sangat spektakuler dan luar biasa".
Sayangnya, tulis Shang-Jin, daya tarik utama Cina, yakni buruh murah, tak berlaku lagi seiring meningkatnya biaya hidup. Akibatnya, cukup banyak modal asing yang mengalihkan bisnis ke negara lain. Untuk mengatasi masalah ini, sejak dekade 2000-an, banyak pabrik yang memberlakukan strategi "in", "out", "up", atau "down." Melalui strategi "in", pabrik pindah ke area di Cina lain yang nilai upahnya masih murah. "Out" artinya pabrik di Cina tutup, tetapi mereka langsung membuat pabrik baru di luar Cina. "Up", artinya meng-upgrade kemampuan pabrik untuk lebih efisien dan berteknologi, sementara "down" berarti tutup total.
Permasalahan upah buruh Cina yang meningkat ini pernah disinggung oleh Tim Cook, CEO Apple. Cook menyinggung upah buruh di Cina menanggapi keinginan Presiden Donald Trump untuk mengembalikan kerja perakitan produk-produk Apple dari Cina ke AS. Ini bukan ide orisinil Trump, melainkan keinginan pendahulunya, Presiden Barack Obama. Kala itu, pada bulan Februari 2011, dalam acara makan malam antara Presiden Obama dan tokoh-tokoh Silicon Valley yang berlangsung di Woodside, California, Obama sempat bertanya kepada pendiri Apple Steve Jobs. “Mengapa pekerjaan (merakit produk-produk Apple, khususnya iPhone) tidak dilakukan di sini (di Amerika Serikat)?”
Jobs, tanpa memberi tahu alasannya, hanya berkata bahwa "pekerjaan tersebut tidak akan pernah kembali ke AS." Sementara Cook, mengakui buruh-buruh Cina memang tidak murah lagi, tetapi "kemampuan para pekerja" Cina tidak dapat ditandingi oleh kemampuan pekerja AS. Tak hanya itu, karena reformasi yang telah dimulai sejak 1980-an, menurut Cook, Cina telah sukses membentuk ekosistem. Cina dapat dengan mudah "meminta bantuan" pada negara-negara di sekitarnya, seperti mengimpor bahan baku pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Cina sangat lugas dalam mengendalikan pasokan.
Daya tarik buruh Cina yang murah mungkin perlahan kian musnah. Maka, Shang-Jin, Cina kini melakukan reformasi lanjutan, alias revolusi 2.0. Jika dulu hanya bekerja untuk merakit produk atau memproses bahan mentah, kini Cina ingin menjadi negara "yang menciptakan". Caranya dengan dengan menggencarkan riset.
Pada 1991, total investasi Cina pada riset hanya berjumlah 0,7 persen dari PDB. Semenjak 2010, Cina mulai berupaya menggenjot riset, dan membukukan dana riset sebesar 1,88 persen dari PDB. Menginjak 2014, nilainya bertambah menjadi 2,05 persen dari PDB, atau tak berbeda jauh dengan AS, Jepang, dan Jerman yang membukukan dana riset sekitar 2,7 persen dari PDB. Dan karena dana riset yang menanjak, populasi peneliti di Cina pun meningkat. Pada 1996, hanya ada 443 peneliti per 1 juta penduduk. Sebagai perbandingan, AS memiliki 3.122 peneliti per 1 juta penduduk. Sejak 2014, ada 1.113 peneliti per 1 juta penduduk di Cina.
Cina benar-benar pabrik dunia.
Editor: Windu Jusuf