tirto.id - Dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda disebut akan sulit menjalin relasi tanpa intensi romantis atau seksual. Benarkah demikian? Berdasarkan studi Bleske-Rechek et.al. (2012) terhadap 88 pasang orang, laki-laki cenderung lebih tertarik (secara romantis) kepada perempuan dibandingkan sebaliknya. Temuan dari penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa dalam satu hubungan pertemanan, kedua jenis kelamin bisa memiliki persepsi dan perlakuan yang berbeda.
Berkaitan dengan hal tersebut, dua kondisi yang mungkin muncul dari relasi pertemanan laki-laki dan perempuan adalah friend zone dan friend with benefit. Friend zone, menurut Jeremy Nicholson M.S.W., Ph.D. dalam situs Psychology Today, adalah keadaan di mana ekspektasi satu pihak tidak dihiraukan oleh pihak lainnya. Sementara, friend with benefit dapat dipahami sebagai hubungan yang berlandaskan pada pencarian keuntungan sebanyak-banyaknya dari lawan jenis. Seringnya, keduanya bersepakat untuk tetap tidak berkomitmen sebagai pacar sekalipun telah terlibat dalam aktivitas seksual.
Berangkat dari hal tersebut, Tirto melakukan riset mandiri di beberapa kota besar di Indonesia untuk mengetahui bagaimana fenomena friend zone dan friend with benefit di Indonesia. Tirto bekerja sama dengan Jakpat sebagai penyedia platform, melakukan survei kepada 1001 responden berusia 20-25 tahun pada 25-27 Oktober 2017.
95,9% Masyarakat Pernah Jatuh Cinta dengan Temannya
Berbicara tentang pertemanan antara laki-laki dan perempuan, mayoritas masyarakat percaya bahwa hubungan tersebut dapat tercipta tanpa adanya keinginan untuk berhubungan romantis. Hal ini terlihat dari 76,12 persen masyarakat yang percaya bahwa hubungan laki-laki dan perempuan dapat terbentuk murni sebagai pertemanan. Meski demikian, 95,9 persen masyarakat menyatakan pernah jatuh cinta terhadap teman lawan jenisnya.
Bagi masyarakat yang menyatakan pernah jatuh cinta dengan temannya menjawab bahwa tidak hanya sekali mereka menyukai/jatuh cinta, mayoritas (42,08%) masyarakat mengalaminya hingga 2-3 kali. Hasil studi Bleske-Rechek et.al. (2012) juga didukung oleh fenomena di Indonesia. Berdasarkan riset ini, laki-laki lebih mudah tertarik dengan teman lawan jenisnya. Hal ini terlihat dari 40,95 persen laki-laki yang menyatakan jatuh cinta 2-3 kali dengan teman perempuannya. Diikuti oleh 22,63 persen laki-laki yang naksir lebih dari delapan kali dengan teman wanitanya. Sedangkan, dari sisi perempuan, 43,25 persen menyatakan pernah jatuh cinta 2-3 kali dengan teman laki-lakinya, diikuti oleh 19,41 persen yang menyatakan pernah naksir sekali hingga 6-8 kali.
Dari masyarakat yang memiliki pengalaman tersebut, sebanyak 68,44 persen hubungan pertemanan tidak berlanjut menjadi hubungan romantis. Hanya 25,52 persen masyarakat yang menyatakan hubungannya berlanjut menjadi romantis (pacaran/menikah).
Sebab terbesar munculnya rasa suka/tertarik pada hubungan pertemanan adalah karena keduanya sering bertemu atau melakukan kegiatan bersama. Besarannya mencapai 75,21 persen. Sebab kedua adalah karena si teman dianggap cocok sebagai teman bicara, yaitu dengan sebesar 61,56 persen. Selain itu, fisik juga menjadi alasan seseorang tertarik dengan temannya (45,31%).
Perubahan relasi pertemanan menjadi romantis ini dipandang masyarakat sebagai kondisi yang cukup menguntungkan. Berdasarkan persepsi dengan skala 1 (sangat tidak menguntungkan) hingga 5 (sangat menguntungkan) atas perubahan kondisi ini, rata-rata jawaban masyarakat berada di posisi 3,57. Bila dibandingkan, laki-laki (3,64) menganggap perubahan status hubungan ini lebih menguntungkan dibandingkan persepsi dari perempuan (3,49).
Friendzone
Sebanyak 91,71 persen masyarakat milenial menyatakan mengetahui tentang friendzone. Hanya 8,29 persen yang menyatakan tidak mengerti istilah ini.
Dari mereka yang menyatakan mengetahui konsep tersebut, masih ada 34,42 persen yang salah dalam mengartikan friendzone. Sebanyak 26,47 persen beranggapan friendzone merupakan situasi pertemanan antara dua orang tetapi mereka memiliki intensi berhubungan romantis satu sama lain.
Friend-with-Benefit
Dibandingkan dengan friendzone, istilah friend with benefit lebih tidak populer di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat dari 20,58 persen masyarakat yang tidak mengetahui istilah ini. Sedangkan, 79,42 persen masyarakat menyatakan mengetahuinya.
Secara pemahaman, sebanyak 36,60 persen orang memahami konsep hubungan friend with benefit sebagai dua teman yang saling tertarik dan memiliki hubungan seksual tanpa terlibat secara emosional. Sementara sebanyak 32,83 persen orang memahaminya sebagai dua teman saling tertarik secara seksual, tapi tidak menginginkan komitmen untuk menjalin hubungan monogami. Sedangkan, 29,18 persen masyarakat yang menyatakan mengetahui istilah ini menyatakan hubungan friend with benefit adalah keadaan dua orang yang memiliki semua sifat suatu hubungan tetapi tidak diberi label pacaran.
Mayoritas masyarakat tidak memiliki pengalaman hubungan friend with benefit. Hal ini terlihat dari 59,44 persen masyarakat yang menyatakan hal tersebut. Sedangkan, 40,56 persen lainnya menyatakan pernah memiliki pengalaman hubungan ini.
Dari masyarakat yang memiliki pengalaman menjalin hubungan friend with benefit ini, mayoritas (83,99%) menyatakan hanya melakukannya 1-3 kali. Sedangkan, 3,45 persen menyatakan pernah menjalani hubungan ini lebih dari 8 kali.
Teman yang sudah lama dikenal merupakan pasangan yang paling banyak dipilih oleh masyarakat yang menjalani hubungan friend with benefit (68,72%). Selain yang sudah lama dikenal, teman baru juga menjadi pilihan pasangan dari mereka yang menjalani hubungan ini (29,80%).
Alasan utama seseorang memutuskan untuk memiliki hubungan friend with benefit adalah karena tidak adanya kewajiban atau tuntutan dari "pasangan" untuk selalu memberitahu kegiatannya (63,05%). Selain itu, sebanyak 47,54 persen, menyatakan dengan hubungan friend with benefit, mereka tidak perlu bertengkar soal masalah cemburu karena kedekatan "pasangan" dengan orang lain. Hanya 15,27 persen yang beralasan bisa melakukan hubungan intim/seksual dengan "pasangan" dengan lebih mudah.
Sebanyak 79,06 persen beralasan bahwa adanya teman untuk berbagi (sharing/companionship) menjadi keuntungan utama yang didapat dari hubungan friend with benefit. Sedangkan, 56,40 persen menyatakan unsur kesenangan (fun) merupakan alasan dalam menjalin hubungan tersebut. Hanya 19,21 persen yang menganggap bahwa adanya relasi emosi yang intim sebagai keuntungan dari hubungan tersebut.
Di sisi lain, perasaan yang mulai timbul (baper) dari salah satu pihak, dianggap sebagai kerugian utama yang dialami dari hubungan friend with benefit (71,18%). Selain itu, perasaan cemburu yang mulai timbul di antara keduanya juga menjadi kerugian dari hubungan ini (49,15%). Sebanyak 29,06 persen masyarakat yang memiliki pengalaman menjalani hubungan ini juga menyatakan bahwa adanya manipulasi dalam hubungan menjadi kerugian dalam friend with benefit.
Berbeda dengan gagasan mengubah relasi pertemanan menjadi romantis, secara umum, masyarakat menganggap hubungan friend with benefit cenderung merugikan. Hal ini terlihat dari persepsi dengan skala 1 (sangat tidak menguntungkan) hingga 5 (sangat menguntungkan) atas hubungan ini, rata-rata jawaban masyarakat berada di posisi 2,91. Bila dibandingkan, laki-laki cenderung menganggap hubungan ini cenderung menguntungkan (3,18). Sedangkan, bagi perempuan, hubungan ini dianggap cenderung merugikan (2,91).
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti