Menuju konten utama

Membongkar Mitos Laki-laki dan Perempuan Tak Bisa Bersahabat

Pertemanan beda jenis kelamin tanpa dilandasi niat romantis atau dorongan seksual dipandang sangat sulit terjadi. Kenapa, ya?

Membongkar Mitos Laki-laki dan Perempuan Tak Bisa Bersahabat
Header diajeng Bisakah Laki-laki dan perempuan bersahabat. tirto.id/Quita

tirto.id - Sewaktu duduk di bangku SMA, sering kudengar teman-temanku berseloroh: cowok dan cewek jangan berduaan terus karena nanti didatangi pihak ketiga—maksudnya setan.

Seisi kelas juga gemar menyoraki cowok dan cewek yang kerap jalan berdua dan ngobrol intens sampai lupa membaur dengan teman sesama jenis kelaminnya, atau saat murid cowok kedapatan berkali-kali mengantar pulang teman ceweknya.

Cukup banyak orang menghakimi perempuan dan laki-laki mustahil dapat murni berteman—menaruh curiga pada tujuan romantis atau intensi godaan seksual dari jalinan pertemanan tersebut.

Pastor asal Chicago, Hans Fiene, juga berasumsi begitu. Tahun 2017, Fiene sempat bikin heboh lantaran tulisannya di majalah konservatif The Federalist menyebut laki-laki dan perempuan mustahil bisa berteman.

Tak hanya itu, dilansir Independent, Fiene juga meminta perempuan berhenti menjebak laki-laki dalam friend zone. Alasannya—mungkin terdengar mengada-ada—untuk mencegah penurunan drastis angka kelahiran di AS.

Friend zone harus dilenyapkan demi masa depan kita. Perempuan harus menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa punya teman laki-laki,” tulis Fiene.

Di tengah dominasi heteronormativitas, tindak-tanduk perempuan kepada laki-laki dan sebaliknya tak pernah lepas dari aturan tak tertulis di masyarakat.

Pandangan bahwa perempuan semestinya begini, laki-laki dilarang begitu, perempuan tak bisa melakukan hal-hal tertentu karena seharusnya dilakukan laki-laki—lazim ditemui dalam masyarakat dari aneka latar budaya.

Kembali merujuk pada tulisan Fiene, ia pun memanfaatkan normativitas untuk memperkuat argumennya: jikalau perempuan gagal ‘membangun pertemanan yang diinginkan rata-rata laki-laki’, kaum Adam tetap menyukai kehadiran perempuan sepanjang mereka menjunjung nilai-nilai femininitas. Di akhir artikel, Fiene menegaskan dukungannya terhadap institusi perkawinan dengan menyerukan pada kaum perempuan, “Beranilah. Menikahlah.”

Ternyata bukan cuma Fiene yang menganggap pertemanan laki-laki dan perempuan, serta relasi platonik (hubungan dekat tanpa hasrat seksual), sebagai mitos belaka. Sejumlah peneliti mengafirmasi asumsi ini lewat observasi beberapa pasangan teman berbeda jenis kelamin.

diajeng Bisakah Laki-laki dan perempuan bersahabat

Ilustrasi pria dan wanita duduk di sofa dan menonton film. (FOTO/iStockphoto)

Adrian F. Ward dalam artikelnya di Scientific American menjabarkan sejumlah argumen di balik sulitnya orang beda kelamin menjalin pertemanan.

Bisa saja perempuan dan laki-laki tampak bersanding sehari-hari tanpa hubungan romantis, baik di ranah pekerjaan maupun pergaulan kasual. Meski begitu, hal ini tidak menegasikan kemungkinan adanya dorongan-dorongan seksual yang dipendam kedua belah pihak.

Ward juga mengutip studi berjudul “Benefit or burden? Attraction in cross-sex friendship” (2012) yang membahas potensi ketertarikan ketika laki-laki dan perempuan memulai hubungan sebagai teman.

Dalam riset yang melibatkan 88 pasangan ini terungkap bahwa laki-laki cenderung lebih tertarik, secara romantis, kepada perempuan dibandingkan sebaliknya. Selain itu, laki-laki juga acapkali menganggap teman perempuan mereka merasakan hal yang sama.

Riset di atas bisa saja dianggap sekadar meneguhkan stereotip laki-laki selalu haus seks sementara perempuan sosok naif. Pada waktu sama, temuan ini berusaha menekankan bahwa dalam satu hubungan pertemanan, kedua jenis kelamin bisa punya persepsi dan perlakuan berbeda.

Hal itu senada dengan tulisan Radhika Sanghani di The Telegraph yang menyatakan, di luar intensi seksual, definisi pertemanan menurut laki-laki dan perempuan juga berpengaruh terhadap bagaimana hubungan akan berujung.

Perempuan umumnya senang meromantisasi pertemanan. Menjaga komunikasi intens dengan teman berdomisili jauh lewat telepon atau menganggap wajar kontak fisik semacam pelukan atau rangkulan adalah segelintir contoh bentuk pertemanan antarperempuan.

Mayoritas laki-laki tidak demikian. Lazimnya, komunikasi hingga larut terjadi ketika mereka nongkrong, berolahraga, atau pas berkunjung ke rumah satu sama lain.

Ketika perempuan merasa nyaman saat berteman dengan laki-laki sebagaimana dirasakannya dengan teman-teman perempuan lain, ia pun akan lebih leluasa membuka diri terhadap temannya tersebut supaya curahan afeksi dapat tersalurkan.

Di lain sisi, laki-laki tak jarang menginterpretasikan kenyamanan berteman perempuan sebagai sinyal-sinyal ketertarikan seksual atau romantis. Akibatnya, tumbuhlah harapan bahwa mereka lebih dari sekadar teman. Pada titik inilah seseorang kerap merasa terjebak dalam friend zone karena ekspektasinya tak dihiraukan pihak lain, tutur Jeremy Nicholson MSW, PhD di Psychology Today.

Meskipun studi mendapati kecenderungan laki-laki berekspektasi lebih, tak sedikit yang posisinya terbalik. Tentu, perempuan bisa juga mendambakan asmara setelah dibanjiri perhatian dari teman laki-laki. Padahal, mungkin si laki-laki menganggapnya tandem yang asyik untuk ngobrol ngalor-ngidul atau sekadar sobat nongkrong di akhir pekan untuk mengusir sepi.

Apa jadinya jika seseorang sadar dirinya terjerumus dalam friend zone? Sangat mungkin dia bakal menyerah dan pergi.

Menariknya, ada sebagian orang yang menikmati predikat ‘teman’ sebagai landasan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari lawan jenis.

Ya, ada laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk tidak pacaran sekalipun telah terlibat dalam aktivitas seksual.

diajeng Berteman sama Mantan

Ilustrasi Berteman sama Mantan. (FOTO/iStockphoto)

Penting dicatat juga, menurut studi oleh Concordia University di Montreal, Canada yang dikutip Huffington Post, terdapat konsekuensi perubahan perasaan dan keterikatan begitu dua orang melakukan hubungan badan.

Pertanyaan berikutnya, siapkah kedua pihak menghadapi ini jika ingin mempertahankan status teman?

Intinya, sah-sah saja kalau kamu ingin menjalin pertemanan lawan jenis. Tak perlu ambil pusing pandangan miring orang lain atau temuan-temuan ilmiah yang memojokkan relasi platonik nan tulus dalam pertemanan demikian.

Yakinilah, wawasanmu akan semakin berkembang melalui sesi-sesi bertukar cerita dan pengalaman dari perspektif berbeda.

Sepanjang kamu dan temanmu menjunjung kenyamanan dan kesepakatan, hubungan kalian patut dipertahankan! Jikalau kelak kalian sama-sama menyimpan perasaan yang menuntun pada kisah romansa bak Anjali dan Rahul dalam Kuch Kuch Hota Hai, tak perlu malu atau merasa diri naif dalam memandang hubungan pertemanan lawan jenis.

Membuat ‘kontrak’ di awal hubungan memang ada baiknya, but it's even wiser to remain open to possible changes in the future. Tak ada yang statis di muka bumi—bukankah emosi dan persepsi sewaktu pagi bisa berubah 180 derajat menjelang malam?

* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 22 April 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih