tirto.id - Bint al-Shati pernah dikenal secara populer di Indonesia sebagai penulis Islam melalui terjemahan bukunya oleh wartawan ternama dari Surabaya, Dzya Shahab. Dzya adalah kakak dari wartaman beken di Jakarta, Asad Shahab. Mereka lahir dari keluarga intelektual reformis keturunan sayid Hadramaut yang antikolonial dan berafiliasi ke ormas Jamiatul Khair.
Belakangan, kaum terpelajar di berbagai sekolah tinggi Islam Indonesia lebih banyak membahas Bint al-Shati secara akademik. Kecenderungan ini, salah satunya, muncul berkat dua sarjana beken di Yogyakarta, Sahiron Syamsuddin dan Yudian Wahyudi. Keduanya mendalami tokoh perempuan itu dari sarjana Palestina di Universitas McGill, Kanada, Issa J. Boullata, pada tahun terakhir sebelum sang tokoh meninggal.
Saat berkunjung ke Berlin, keduanya bercerita kepada saya tentang diskusi intensif mereka soal Bint al-Shati dari sisi pemikiran, kajian Al-Qur'an, dan sastra. Syamsuddin menggali metode tafsir Al-Qur'an dari Bint al-Shati; sementara Wahyudi menelisik konsep kehendak bebas dari tulisannya, lalu diterbitkan di Journal of Islamic Studies milik Universitas Oxford.
Berpegang pada Filologi Tradisional
Bernama asli Aisha Abd al-Rahman, Bint al-Shati ialah nom de plume yang berarti 'Putri Pantai'. Nama pena ini secara metaforis mengacu pada kampung halamannya yang melahirkan banyak ulama masyhur, Dumyat, dekat pantai Laut Tengah. Ia tumbuh di lingkungan yang tak mengizinkan perempuan untuk bersekolah. Bint al-Shati menyelesaikan sekolah atas keberanian ibunya, meski bapaknya menentang. Sastra Arab adalah bidang yang ia tekuni hingga menggondol gelar doktor pada 1950.
Sebagai profesor bahasa dan sastra Arab, ia mengajar di Mesir dan Maroko selama 50 tahun. Pedagoginya memesona banyak orang. Ia mengajar sastra dengan menggunakan kefasihan Al-Qur'an seperti halnya para sastrawan Arab klasik. Bint al-Shati menggunakan Al-Qur'an saat mengajar linguistik dan tata bahasa.
Yang membuatnya terkenal dan menjadi bahan perbincangan ialah karya sastra yang dihasilkannya, baik dalam bentuk buku maupun tulisan yang berserak di media Mesir, khususnya al-Ahram. Di sinilah ia biasa membela hak-hak perempuan. Penghargaan Raja Faisal yang ia raih pada 1994 untuk kategori bahasa dan sastra Arab meneguhkan identitasnya yang diakui di seluruh dunia Arab: seorang perempuan yang dicintai banyak kalangan. Saya terkesan melihat rekaman YouTube saat Bint al-Shati memberi sambutan dengan percaya diri dalam menerima penghargaan tersebut di depan forum (otoritas) lelaki di Riyadh.
Novel dan karya tulisnya banyak menelisik biografi dan peran perempuan sejak masa Islam awal maupun selama Islam klasik. Inilah yang banyak diingat pembaca di dunia muslim. Meski demikian, sulit untuk menyebut Bint al-Shati dalam ruang lingkup feminisme—sesuatu yang masih sensitif pada masanya. Ada yang bilang ia feminis yang mengenakan kerudung, padahal ia sendiri berpandangan muslimah tak terwakili oleh jilbab. Ia tak melukiskan dirinya sebagai seorang feminis, walaupun ia adalah penulis dengan tema feminis dan pembela hak perempuan.
Salah satu sebabnya, Bint al-Shati menggunakan perangkat filologis yang tradisional dalam membaca Al-Qur'an dan teks Islam. Filologi tradisional ini, sebagaimana dalam fenomenologi, membiarkan makna Al-Qur'an berbicara pada dirinya sendiri dengan konteks historisnya. Segala prasangka dan teori modern tidak serta merta harus membuat makna Al-Qur'an sesuai dengan selera modern. Karena ia memahami kata per kata dan konteks sebuah ayat, ia tak berselera untuk menyerahkan kepakaran ilmu Al-Qur'an pada mereka yang bukan ahli.
Dalam sebuah tulisan yang dilaporkan seorang kawan saya di Inggris mengenai kontroversi Bint al-Shati dan intelektual Mesir Mustafa Mahmud yang menafsirkan Al-Qur'an dengan sains pada 1980-an, Bint al-Shati membedakan antara pemahaman (fahm) dan penafsiran (tafsir). Memahami kitab suci, kata Bint al-Shati, terbuka untuk siapa saja termasuk ilmuwan sains. Tapi tafsir menyaratkan para ahli dan pengetahuan linguistik yang mendalam mengenai gaya sastra dan struktur gramatika Al-Qur'an. Ilmuwan, katanya, boleh merefleksikan interpretasi mereka sendiri, tapi tidak untuk menghegemoni atau membuat sensasi.
Pembelaan pada filologi dan ilmu Al-Qur'an tradisional inilah yang membuat Bint al-Shati dicap banyak sarjana sebagai antimodernis. Tudingan yang lain, seperti menimpa para penulis besar, banyak. Salah satunya ia dituduh sekelompok feminis Arab sebagai perempuan yang memperkuat patriarki karena gurunya di al-Azhar, Amin al-Khuli, memperistrinya sebagai yang kedua. Bint al-Shati dinilai tak mencoba untuk menafsirkan ulang pemahaman tradisional dari qiwamah dalam kitab suci, yakni konsep kuasa perwalian lelaki atas perempuan.
Tapi Bint al-Shati membuktikan konsep agensi perempuan dalam Islam terutama dalam hal mencari dan memproduksi pengetahuan yang independen dari perlindungan atau perwalian lelaki. Di sini, seperti kebanyakan tafsir pro-feminis di kalangan muslim tradisional Indonesia, Bint al-Shati tampaknya lebih menganggap konsep qiwamah itu mengacu pada urusan rumah tangga.
Cermin Intelektual bagi Para Feminis Muslim
Kepiawaian Bint al-Shati dalam kajian Al-Qur'an tidak boleh diremehkan para feminis muslim. Metode induktif (al-manhaj al-istiqra’i) yang ia gunakan, sekaligus pengaruh intelektual dari suaminya yang membimbingnya semasa kuliah, membekas dalam berbagai buku seriusnya tentang kajian Al-Qur'an.
Para feminis muslim terkini perlu menguasai kemampuan integral dalam memahami Al-Qur'an, ditambah dengan perangkat ilmu modern, untuk menandingi kecendekiaan Bint al-Shati. Kata pepatah Inggris, diamond cuts diamond, hanya berlian yang mampu memecahkan berlian lainnya. Sebagai sosok ilmuwan, kendati sudah dibuka oleh kajian kritis dan ketat dari tesis Sahiron Syamsuddin, pemikiran Bint al-Shati penting ditelaah lagi secara telaten dalam program doktoral.
Selain pengkaji Al-Qur'an, novelis, dan penulis di media, Bint al-Shati juga seorang editor ulung. Di dunia Arab, kita mengenal sedikit perempuan hebat yang menyunting naskah klasik. Selain Bint al-Shati, ada pula Wadad al-Qadi yang pernah menggantikan posisi Fazlur Rahman di Chicago.
Saat Bint al-Shati menyunting karya sastra Arab klasik karangan sastrawan favoritnya, al-Ma`arri, Risalat al-ghufran (Risalah Pengampunan), ia memecahkan prosa Arab yang sulit dimengerti dan disertai banyak catatan keliru. Ia menggunakan teknik penelusuran autentisitas hadis Nabi sebagai landasan untuk memverifikasi dan menentukan keaslian kutipan literer. Karya ini dipersembahkan sepenuh hati kepada Amin al-Khuli, yang, kata Bint al-Shati dalam bukunya itu, “mengajariku bagaimana membaca.”
Keteguhannya pada aspek filologis dan keilmuan tradisional Islam membawa sang putri dari pantai Laut Tengah ini menjadi sosok yang taat pada pemerintah. Hasan Hanafi pernah menyebut Bint al-Shati "adalah bagian dari fuqaha al-sultan (para fakih yang dekat dengan penguasa)." Kedekatannya sangat kentara terutama ketika pemerintah Mesir mengkritik Zionisme Israel dan kaum kiri Mesir. Selebihnya, Bint al-Shati menikmati masa-masa intelektualnya di berbagai negeri Arab, di masa ketika intelektual muslim lelaki lebih banyak mendominasi publik. Berlian tetaplah berlian.
==========
Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.
Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.
Editor: Ivan Aulia Ahsan