tirto.id - “Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya, tak adapun tak apa-apa, masih ada baju yang lama.”
Potongan lagu yang dibawakan Nadia Budi Ananda alias Dhea Ananda pada 1997 sempat populer. Sebuah lagu ajakan agar orang tak berlebihan apalagi konsumtif saat merayakan lebaran masih relevan sampai saat ini. Sudah hal umum di Indonesia, lebaran identik dengan baju baru, sepatu baru, mukena baru, sarung baru, karpet baru, cat rumah baru, toples kue baru, gorden baru dan lain-lain.
Konsumerisme lebaran tak hanya terjadi di Indonesia. Ramadan tahun lalu, YouGov melakukan survei perubahan perilaku konsumen di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir. Sekitar 53 persen, menyatakan berbelanja dan menghabiskan lebih banyak uang sepanjang Ramadan dan lebaran tahun lalu. Sebanyak 68 persen responden berharap dapat menutupi pengeluaran yang membengkak itu dengan menggunakan pendapatan reguler mereka, sementara 29 persen menyatakan akan menggali uang tambahan dari tabungan mereka.
Menjadi konsumtif saat lebaran tak menimbulkan masalah besar bagi mereka yang punya uang berlebih. Menjadi masalah ketika budaya itu membuat seseorang memaksakan diri sehingga pengeluaran jauh lebih besar dari THR dan gaji yang masuk kantong. Agar terhindar dari jebakan utang pasca lebaran, perencana keuangan Prita Hapsari Ghozie menyarankan para pekerja yang menerima THR untuk menyusun anggaran Lebaran. Membeli yang baru-baru boleh saja, asalkan mampu, tetapi jika tidak, lebih baik menundanya.
“Jika tidak mampu, jangan dipaksakan untuk membeli,” katanya kepada Tirto, Rabu (31/5).
Menganggarkan pengeluaran selama lebaran ini terlihat sepele, tapi penting dilakukan. Tanpa adanya rencana pengeluaran selama lebaran, orang cenderung tak bijak menggunakan uangnya. Dengan membuat anggaran, seseorang akan tahu apa yang harus dibeli dan mana yang tidak. Jika tak sesuai bujet, keperluan yang tak begitu penting seperti sandang baru bisa dihapus dari daftar anggaran. Patokannya adalah mengacu dari jumlah THR, usahakan jangan mengeluarkan uang lebih dari itu.
“Bahkan kalau bisa, sisihkan 10 persen dari THR untuk menambah investasi atau tabungan dana darurat,” kata Prita.
Hal-hal penting dan pokok yang harus dialokasikan dari THR, menurut Prita adalah pembayaran zakat, kebutuhan pokok hari raya—seperti belanja makanan dan minuman—dan biaya mudik. Untuk baju dan hal-hal berkaitan dengan penampilan, sebenarnya tak harus semuanya baru. Padu padan baju-baju lama tentu bisa jadi pilihan.
Biaya mudik, biasanya menjadi pengeluaran terbesar selama lebaran. Apalagi bagi mereka yang mudik antar-pulau atau antar-negara. Pilihan transportasi tentu terbatas, yang paling memungkinkan hanyalah pesawat. Saat menjelang Lebaran, harga tiket pesawat tentu melonjak berlipat. Bagi mereka yang memiliki anak, transportasi saat mudik membutuhkan biaya besar.
Harga tiket dari Jakarta ke Medan misalnya, di hari-hari biasa, masih ada tiket dengan harga sekitar Rp600 ribu. Tetapi untuk keberangkatan menjelang lebaran, harganya melonjak hingga di atas Rp1 juta per orang. Untuk itu, bagi mereka yang merencanakan mudik, harus membeli tiket jauh-jauh hari. Beberapa aplikasi penyedia tiket pesawat dan maskapai kerap melakukan kerja sama dengan bank dan memberikan program cicilan tanpa bunga. Program itu harus dimanfaatkan untuk menghindari penumpukan pengeluaran jelang dan pasca lebaran.
Pengeluaran saat mudik tentu bukan hanya tiket pesawat, ada pengeluaran oleh-oleh untuk keluarga, hingga uang jajan untuk sanak famili. Semakin besar keluarga, semakin besar pengeluaran. Oleh sebab itu, Prita menyarankan untuk menunda mudik jika THR yang ada tak mencukupi.
Muhammad Yasin, dosen sekaligus karyawan swasta di Jakarta membutuhkan minimal Rp30 juta untuk sekali mudik ke kampung halamannya di Pekanbaru, Riau. Uang Rp30 juta itu termasuk biaya tiket pesawat dan transportasi lokal saat lebaran. Pengeluaran yang menguras habis THR dan gaji bulanannya itu membuat Yasin tidak mudik tiap tahun.
“Untuk menyiasatinya, kami tak memaksakan diri mudik tiap tahun, kami mudik dua tahun sekali,” kata Yasin.
Yasin adalah contoh orang yang tak memaksakan diri di luar kemampuan. Namun ada beberapa orang berkebalikan dengannya, bertindak hanya demi sebuah gengsi saat lebaran.
Gengsi dan Jebakan Kartu Kredit
Ahmad Gozali, perencana keuangan, menyebutkan ada biaya yang paling tidak penting tetapi sering menguras dana lebaran, yakni biaya gengsi. "Tetapi kadang biaya ini tidak diakui keberadaannya," kata Ahmad.
Ia mencontohkan, jika seseorang punya bujet oleh-oleh hanya Rp500 ribu tetapi membelanjakan Rp1 juta agar tampak lebih mapan, berada, dan mewah, maka Rp500 ribu di luar bujet itu adalah biaya gengsi. Biaya gengsi sebagai tambahan atas biaya fungsional dari seharusnya. Agar pengeluaran selama lebaran tak membengkak, maka segala biaya-biaya gengsi ini harus dipangkas. Tak perlu tampak kaya raya ketika pulang kampung jika pada kenyataannya memang tidak demikian.
Menurut Ahmad, seseorang yang menyusun bujet tapi tidak mengontrol pengeluaran sesuai bujet, jadi hal yang percuma. Ia menyarankan agar membicarakan anggaran lebaran kepada seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak. Hal itu penting agar mereka paham kondisi keuangan keluarga dan tidak memaksakan kehendak untuk membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan. Parahnya lagi membeli dengan berutang termasuk dengan segala kemudahan kartu kredit.
Menjelang lebaran, penggunaan kartu kredit cenderung meningkat. Tahun ini, sejumlah bank penerbit kartu kredit melirik peningkatan transaksi kartu kredit hingga 20 persen. Melihat tren di tahun-tahun sebelumnya, Bank BCA memperkirakan transaksi kartu kredit akan meningkat 15-20 persen pada akhir Ramadan dan setelah lebaran.
General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan, setiap Ramadan, terjadi tren kenaikan penggunaan kartu kredit rata-rata sekitar 15 persen. Tren kenaikan transaksi kartu kredit juga terlihat dari tren pencarian promo kartu kredit lewat mesin pencari Google. Data tahun lalu Google Indonesia menunjukkan pencarian promosi kartu kredit meningkat saat Ramadan. Kepala Industri Google Indonesia, Henky Prihatna, mengatakan promosi bersyarat pembelian dengan kartu kredit saat Ramadan naik 1,2 kali lipat dibandingkan dengan bulan biasa.
"Puncaknya saat minggu ketiga puasa, sekitar tanggal para karyawan menerima Tunjangan Hari Raya [THR]," ujar Henky seperti dikutip Antara, (23/5).
Selain promosi yang menggunakan kartu kredit, kata kunci lainnya yang banyak dicari saat Ramadan adalah "cicilan 0 persen", kata kunci ini naik 1,6 kali dibanding bulan biasa. Menurut data Google, pencarian dengan kata kunci "cicilan 0 persen" naik hingga 55 persen pada minggu ketiga Ramadan.
Persoalannya, setelah transaksi kartu kredit meningkat, angka kredit bermasalah juga naik setelah lebaran. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan pada Juni 2016 sebesar 3,05 persen. Padahal, dua bulan sebelumnya, NPL perbankan hanya 2,93 persen.
Saat berbelanja dengan kartu kredit menjelang lebaran, penggunanya seringkali kalap. Apalagi jika limit kartu kredit masih tersisa puluhan atau belasan juta. Membayar dengan menggunakan kartu kredit membuat seseorang tidak merasakan uangnya berkurang, jadi belanja seolah-olah terasa lebih enteng.
Padahal kartu kredit bukanlah dana hibah, tetapi utang yang harus dibayarkan kembali setelahnya. Penting sekali membatasi dan mencatat dengan baik penggunaan kartu kredit saat berbelanja persiapan lebaran. Jangan sampai jumlahnya melebihi alokasi dana THR yang membuat tagihan utang membengkak. Fokus pada kebutuhan dan mengendalikan keinginan yang tak akan ada batasnya jadi kata kunci, agar tak terjebak masalah keuangan pasca lebaran.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra