Menuju konten utama

Betulkah Demonstrasi Menaikkan Kasus Positif COVID-19?

Demonstrasi disebut-sebut berpotensi menaikkan jumlah kasus infeksi COVID-19. Bagaimana faktanya?

Betulkah Demonstrasi Menaikkan Kasus Positif COVID-19?
Perwakilan mahasiswa berorasi saat aksi tolak OMNIMBUS LAW RUU CIPTA KERJA di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/7/20). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Protes mengiringi berjalannya proses penetapan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Aksi demonstrasi pada 16 Juli 2020 terjadi di beberapa daerah seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, dan Semarang. Para demonstran yang didominasi oleh kalangan buruh, petani, dan mahasiswa itu sebagian besar mendatangi pusat pemerintahan untuk menyampaikan aspirasinya. Di Jakarta, demonstrasi berlangsung di depan Gedung DPR RI.

Demonstrasi di berbagai daerah ini merupakan respons terhadap pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang semakin dikebut sejak pandemi Corona. RUU itu dinilai tidak hanya merugikan rakyat namun juga berbahaya bagi lingkungan hidup. Seperti dilansir oleh Tirto pada 20/1/2020 lalu, Nining Elitos, juru bicara Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) menyebut ada beberapa poin yang menjadi sorotan para buruh dalam RUU Cipta Kerja, yakni terkait wacana mempermudah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui pengurangan besaran pesangon, perluasan jenis pekerjaan kontrak atau outsourcing, dan rencana pengupahan yang berdasarkan jam kerja.

Di sisi lain, legislasi yang jauh lebih mendesak bagi orang banyak seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga justru diabaikan oleh para wakil rakyat. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sendiri telah dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2 juli 2020 lalu.

Sejak aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 silam, demonstrasi atau aksi turun ke jalan memang kembali sering dilakukan. Demonstrasi untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja sendiri telah berlangsung sejak awal 2020, terlepas dari peningkatan infeksi COVID-19. Walhasil, kecaman pun datang. Persatuan Mahasiswa Nusantara (Permasta) memberikan kritik keras terhadap berlangsungnya demonstrasi tersebut. “Kami sangat mengecam keras sebuah gerakan yang membawa sejumlah massa yang banyak. Menurut kami dapat menjadi sebuah bencana dalam situasi pandemi virus Corona (COVID-19) seperti sekarang,” ucap koordinator Permasta Rian Siahaan sebagaimana dikutip dari Antara News.

Di sisi lain, berbagai pihak yang memotori aksi demonstrasi menyatakan telah mengimbau para peserta aksi atau demonstran untuk mematuhi protokol kesehatan. Para demonstran pun juga berusaha mengikuti imbauan tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri, menjaga jarak (physical distancing) memang cukup sulit untuk diterapkan di tengah padatnya massa yang hadir.

Mengutip dari berbicara mengenai massa di Jakarta yang sulit untuk menerapkan aturan physical distancing tersebut, “Sebenarnya kami sudah mengatur tentang standar kesehatan tentang bagaimana protokol kesehatan memakai masker, memakai sarung tangan, menjaga jarak, tapi karena massa yang begitu besar dan kemudian tempat yang begitu minimal, sehingga kemudian ini terjadi di luar dugaan kita,” ujarn Nining Elitos ketika diwawancarai Detik (16/7/2020)

Di Yogyakarta, aksi demonstrasi yang dilaksanakan di Simpang Tiga Gejayan, Sleman berlangsung sesuai protokol kesehatan yang telah ditentukan. Seperti diwartakan oleh Kompas (16/7/2020), massa dari Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) membuat simbol lingkaran di aspal menggunakan kapur putih sebagai tanda batas untuk duduk dan berdiri. Para demonstran juga menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan lainnya karena merasa peduli dengan kesehatan diri sendiri.

Demonstrasi di tengah pandemi tidak hanya terjadi di Indonesia. Gelombang protes antirasisme besar-besaran juga terjadi di kota-kota di Amerika Serikat. Aksi demonstrasi Black Lives Matter (BLM) tersebut dipicu oleh kematian George Floyd tidak lama setelah ditahan oleh pihak kepolisian Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat. Polisi bernama Derek Chauvin menahan Floyd pada 25 Mei 2020 dengan tuduhan memakai uang palsu untuk membeli rokok di sebuah toko kelontong. Dalam laporan video The New York Times, terlihat Chauvin menindih leher Floyd dengan lutut selama hampir sembilan menit dan menyebabkan tewasnya Floyd.

Awalnya ada banyak keprihatinan soal meledaknya demonstrasi ini yang dianggap akan mempertinggi kasus infeksi Corona. Namun, ternyata aksi besar-besaran yang terjadi di lebih dari 300 kota di Amerika Serikat itu tidak meningkatkan jumlah infeksi Corona di berbagai kota terkait. Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh penelitian yang dirilis National Bureau of Economic Research berjudul “Black Lives Matter Protests, Social Distancing, and COVID-19”. Dari penelitian yang dilakukan pada 315 kota, ada 34 kota yang tidak melakukan protes BLM. Peneliti kemudian membandingkan kota yang melakukan protes sebagai sampel treatment dan kota yang tidak melakukan protes sebagai sampel kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka kenaikan kasus infeksi COVID-19 di kota-kota yang melakukan protes.

infografik demonstrasi di kala pandemi rev

infografik demonstrasi di kala pandemi rev. tirto.id/Quita

Menurut laporan The Washington Post, pengujian yang dilakukan oleh Minneapolis Department of Health kepada lebih dari 15.000 orang menunjukkan hasil bahwa 1,7% di antaranya positif COVID-19. Jumlah tersebut berada di bawah rata-rata seluruh negara bagian sekitar 3,6%. Penelitian menyebutkan, meskipun para demonstran tidak melakukan physical distancing, penggunaan masker dan aksi demonstrasi yang dilakukan di luar ruangan membuat penyebaran virus menjadi lebih terkontrol.

Laporan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa aksi demonstrasi yang berlangsung membuat orang-orang yang tidak ikut turun ke jalan tetap tinggal di rumah karena merasa takut akan kekerasan yang mungkin dilakukan oleh demonstran maupun polisi.

Di Indonesia sendiri, jumlah infeksi COVID-19 tidak mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam beberapa hari terakhir. Di Jakarta misalnya, dihitung sejak demonstrasi yang dilakukan pada 16 Juli 2020, jumlah infeksi Corona sempat mengalami penurunan pada 17 Juli 2020 dari 364 kasus menjadi 253 kasus positif COVID-19. Namun angka infeksi kembali meningkat pada 18 Juli 2020 menjadi 346 kasus positif COVID-19. Kemudian di Jawa Timur, provinsi yang saat ini memiliki kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia, pada 16 Juli 2020 terdapat 179 kasus positif COVID-19, kemudian 17 Juli 2020 meningkat menjadi 255 kasus, dan pada 18 Juli 2020 terjadi penurunan menjadi 204 kasus.

Sejauh ini belum ada riset yang mengaitkan jumlah infeksi dengan aksi-aksi protes menolak Omnibus Law. Namun, sejauh dilakukan di ruang terbuka, masker dikenakan dan jarak tetap dijaga, nampaknya aksi massa tidak akan menambah banyak kasus infeksi. Sebaliknya, di Amerika Serikat, masker malah jarang digunakan di berbagai ruangan tertutup seperti perkantoran, restoran, atau pusat olahraga. Tak heran jumlah infeksi terus bertambah.

Beberapa waktu silam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan kemungkinan penularan COVID-19 lewat udara (airborne transmission). Artinya, virus Corona dapat menyebar melalui partikel kecil yang kita produksi ketika sedang berbicara atau bernapas. Hingga saat ini, WHO masih belum mengoreksi panduannya, meski ada tuntutan 239 ilmuwan dari 32 negara. WHO juga masih melakukan evaluasi bukti baru yang mengindikasikan penyebaran virus melalui udara.

Dilansir dari CNN Indonesia, menanggapi hal itu Windhu Purnomo, ahli epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, menyebutkan pernyataan WHO tidak berarti bahwa virus beredar luas lewat udara. Menurutnya, penyebaran COVID-19 lewat udara yang sudah tercampur droplet sebagaimana yang dikatakan WHO umumnya terjadi di dalam ruangan tertutup dengan ventilasi dan sirkulasi yang tidak baik, misalnya di bioskop.

Penularan melalui udara terjadi ketika seseorang menghirup virus yang dibawa oleh partikel udara selama berjam-jam. Berdasarkan pernyataan tersebut, virus Corona akan lebih mudah menular di dalam ruangan tertutup. Amatlah penting untuk memperhatikan sirkulasi serta ventilasi udara ruangan dan menggunakan masker demi mencegah penularan COVID-19 di dalam sebuah ruangan yang tidak memungkinkan adanya sirkulasi udara.

Baca juga artikel terkait PROTES atau tulisan lainnya dari Nuraini Dewi

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Nuraini Dewi
Penulis: Nuraini Dewi
Editor: Windu Jusuf