Menuju konten utama

Bersolek Jadi Korban Hanyalah Dalih Aksi Persekusi Intoleran

Mengaku diri sebagai korban jadi strategi kelompok intoleran untuk makin beringas memersekusi lawan-lawannya. Rekam jejak berdasarkan catatan pelanggaran hukum adalah buktinya.

Bersolek Jadi Korban Hanyalah Dalih Aksi Persekusi Intoleran
Petugas membawa tersangka kasus persekusi Abdul Mujib (kedua kanan) dan Matusin (ketiga kanan) saat rilis kasus persekusi di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (2/6). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mendefinisikan persekusi sebagai tindakan perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga untuk kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas, sehingga ada unsur praktik intimidasi, penyiksaan, dan penganiayaan. Tindakan ini marak di Indonesia dan belakangan menargetkan sejumlah individu lantaran mengunggah konten di media sosial.

Dua sasaran individu paling aktual dan didalami kasusnya oleh pihak kepolisian adalah Fiera Lovita, dokter asal Solok, Sumatera Barat, dan PMA, remaja usia 15 tahun asal Cipinang Muara, Jakarta. Pelakunya adalah para anggota Front Pembela Islam (FPI). Alasan tindakan itu: Fiera mengkritik Imam Besar FPI Rizieq Shihab yang menjadi tersangka kasus konten pornografi, sementara pada PMA lantaran menguggah konten yang dianggap menghina FPI dan Rizieq.

Pola persekusinya serupa. Materi yang diunggah di akun media sosial masing-masing dicatat, lalu keduanya dicari anggota FPI. Dibantu para pendukung aksi ini di media sosial, anggota FPI mengumpulkan identitas pribadi, dari foto, tempat bekerja, nomor telepon, dan alamat tempat tinggal.

Para pelaku persekusi lantas mendatangi tempat tinggal target dan melancarkan tekanan agar korban, dalam konteks ini PMA dan Fiera, untuk mengakui kesalahan sambil diancam dan diintimidasi secara verbal.

PMA dipaksa membuat surat pernyataan minta maaf bermaterai, juga sempat dipukul dan ditampar. Sementara Fiera sampai harus mengungsi ke Jakarta dari tempat tinggal di Solok, Sumatera Barat, guna meminta perlindungan dari kepolisian dan masyarakat yang peduli.

SAFENet, jejaring pendukung kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, menganggap situasi ini sedang kritis-kritisnya sebab setidaknya sudah ada 48 individu di seluruh Indonesia yang kini mengalami perburuan, teror, dan pembungkaman bermodal pola kekerasan yang sama. Sedangkan Koalisi Anti Persekusi menyebut per Kamis (1/6), korban sudah menyentuh angka 59 orang. Ada yang diburu, digeruduk massal, ditangkap, atau dipolisikan memakai UU ITE atau Pasal 156a.

Apakah para pelaku tersebut benar-benar sedang jadi korban dari kezaliman hingga perlu memakai jalan vigilante dalam rangka "menegakkan keadilan"?

Peneliti Setara Institute, Halili Hasan, melihatnya sebagai kedok semata. Memosisikan diri sebagai korban menjadi strategi efektif untuk membuat kobaran api “jihad” makin besar. Ia makin menarik simpati dari publik terutama di dunia maya.

Playing victim (mendaku diri sebagai korban) itu salah satu strategi mereka. Untuk menjelaskan tindakan mereka, satu-satunya cara adalah memosisikan diri sebagai pihak yang terzalimi,” kata Halili saat dihubungi Tirto, Jumat kemarin (2/6).

Meski terkesan legal dengan menyertakan surat pernyataan plus materai, prosedur persekusi para pelaku adalah penghalusan praktik intimidasi sehingga seakan-akan tindakan itu legal, kata Halili. Padahal penggunaan materai tak punya kekuatan hukum untuk kasus pidana. Persekusi tetap pelanggaran hukum yang mengangkangi tugas aparat negara.

“Tidak boleh mengatasnamakan perlindungan diri, tapi dilakukan dengan cara melanggar hukum. Yang boleh menggunakan kekerasan, kan, hanya negara. Di luar itu tak boleh,” ujar dosen pendidikan kewarganegaraan dan hukum di Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Dalam kerangka hukum, selain melanggar jaminan perlindungan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi Indonesia, aksi vigilante FPI bertentangan dengan UU 12/2005 mengenai pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. (Lihat: Pasal 28 mengenai hak asasi manusia dan Kovenan Hak Sipol)

Dalam kasus yang mengorbankan PMA dan anak Fiera, Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah mengupayakan perlindungan dan rehabilitasi. Ketua KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, mengatakan pada prinsipnya setiap anak tetap memiliki hak-haknya bahkan ketika ia tersangkut kasus pidana sekali pun. KPAI, ujarnya, akan terlibat untuk memastikan hak-hak korban bisa terpenuhi.

Di permukaan, persekusi ala FPI di atas terlihat atas nama agama, tetapi Halili melihat motif sesungguhnya di ranah ekonomi-politik dan trennnya kerap terkait pemilihan umum, baik Pilkada maupun Pilpres. SAFENet berpendapat bahwa situasi terkini adalah buntut dari pemenjaraan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dan eskalasi politik sektarian yang meningkat akibat Pilkada DKI Jakarta. Ia menyebutnya sebagai "persekusi efek Ahok".

Menariknya, menurut pengalaman Halili saat meriset ke lapangan, aktor-aktor persekusi dan intimidasi adalah orang-orang yang sama, yakni “preman yang berganti kostum saja”.

“Misal di satu tempat FPI, di tempat lain FUI (Forum Umat Islam), namun yang hadir, ya, itu-itu juga,” imbuhnya.

Alih-alih berstatus sebagai korban, dari rekam jejaknya, FPI dan kelompok ormas intoleran lain justru memperlihatkan posisi mereka sebagai pelaku.

Infografik Berburu atas nama agama

Dalam catatan Setara Institute, dari 130 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada 2016 yang dilakukan oleh pelaku non-negara, FPI menjadi aktor atas 16 kasus, Aliansi Ormas Islam 30 kasus, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebanyak 17 kasus.

Korbannya meliputi individu warga negara (54 kasus) maupun kelompok aliran agama/kepercayaan yang jadi minoritas di Indonesia. Gafatar atau Gerakan Fajar Nusantara menjadi kelompok dengan korban terbanyak kedua (36 kasus). Lalu ada 27 korban dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 23 dari minoritas Syiah, 20 orang dari umat Kristen, dan 19 dari aliran keagamaan minoritas lain.

Antara 2010 hingga 2016, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terbanyak terjadi pada 2012, yakni 244 kasus, dan aksi persekusi lewat jalur kekerasan di tahun itu sebanyak 371 kasus.

Dalam tujuh tahun terakhir, persekusi lewat jalur kekerasan paling sedikit pada 2014 dengan 180 kasus. Angka rata-ratanya mencapai 300-an kasus per tahun. Pada 2016, total ada 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dan 270 kasus persekusi lewat jalur kekerasan.

Sejak 2007 hingga 2016, minoritas keagamaan adalah korban terbesar dalam persekusi dan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Sebagian besar aksi ala koboi ini terjadi di Jawa Barat (41), lalu DKI Jakarta (31), dan Jawa Timur (22). Dalam data Komnas HAM, Jawa Barat menduduki provinsi terbanyak dalam kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama/ berkeyakinan (21 kasus), disusul DKI Jakarta (19 kasus), dan Sulawesi Utara (11 kasus).

Indonesia, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, memburuk dalam tingkat kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Pertanyaannya: mengapa di permukaan agama jadi sumbu paling populer?

“Alat legitimasi yang paling tinggi levelnya ya memang agama," ujar Halili. "Soal sentimen juga mudah memakai agama untuk menggerakkan massa. Bisa dengan memonopoli tafsir kitab, dikira-kira dalilnya ada. Bagi mereka itu jihad versi mereka. Kalau orang melakukannya karena motif ekonomi, susah di permukaannya seperti apa."

Situasi ini bisa memburuk sebab ormas Islam lain, seperti Barisan Ansor Serbaguna (Banser), telah mengumumkan sikap untuk melindungi para korban persekusi. Bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain, Banser berupaya menawarkan perlindungan sosial dan hukum.

Untuk jangka pendek, reaksi ini bagus, kata Halili. Perlu ada sikap perlawanan dari kalangan moderat sampai progresif yang selama ini gerah dengan tindak-tanduk ormas intoleran berbaju agama. Sisi positif lain adalah turut membuka diskursus di masyarakat luas tentang pentingnya punya sikap, bukan lagi “sing waras ngalah” atau yang waras mengalah.

“Tapi, menurut saya, bisa benar-benar dihindari jika kelompok-kelompok di masyarakat mengambil langkah-langkah preventif. Kasus-kasus seperti ini terus berulang karena kondisinya memungkinkan. Bagaimana sebenarnya lingkungan masyarakat itu sendiri? Jika Banser, misalnya, hanya bertindak reaktif setelah kasus terjadi, potensi konflik horizontal memang akan tetap terbuka,” ujar Halili.

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam