Menuju konten utama

Persekusi Pada Dokter Fiera Berimbas Trauma pada Anaknya

Negara harus segera bertindak menghukum pelaku dan melindungi korban persekusi. Sebab hal tersebut mengancam budaya toleransi dan tumbuh kembang anak korban.

Dokter Fiera Lovita dalam acara peringatan Hari Pancasila di Gedung Stovia, Jakarta, Kamis (1/6). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Dokter Fiera Lovita menjadi korban persekusi. Itu terjadi setelah dia mengunggah komentar kritis di media sosial mengenai Rizieq Shihab yang tak kooperatif pada kepolisian. Kedua anaknya yang berumur 8 dan 9,5 tahun pun mengalami trauma.

Fiera menuturkan beberapa kejadian yang berdampak pada anaknya. Bermula pada Senin (22/5/2017) Fiera menjemput anaknya yang baru selesai ujian sekolah. Namun tiba-tiba tiga intel, salah satunya Kasat Intel Polres Solok, menghampirinya di salah satu Toko Roti di samping RSUD Solok. Mereka kemudian menginterogasi Fiera.

Usai interogasi itu, Fiera dan anaknya menuju parkiran mobil. Baru masuk ke dalam kendaraannya, orang-orang berjubah, berjanggut, dan peci putih mengelilingi mobilnya. Mereka meminta Fiera mengunggah permintaan maaf melalui akun sosial medianya.

“Tiba-tiba saya di suruh buka kaca mobil lagi dan mereka mengatakan bahwa FPI di seluruh Sumatera Barat akan bergerak menemui saya,” ungkap Fiera di Jakarta, Kamis (1/6/2017).

“Saat itu anak-anak saya menangis karena ketakutan melihat keberadaan mereka. Anak saya juga ketakutan karena melihat (salah satu petugas keamanan) pistol kecil yang diselipkan di pinggang belakang,” imbuhnya.

Setelah itu dia mampir ke RSUD Solok dan anak-anaknya tetap menangis. Anak-anaknya tak mau pulang karena takut rumahnya akan diserbu orang. Sambil turut menangis, Fiera menenangkan anaknya dan membujuk agar mau pulang. Sesampainya di rumah, Fiera berusaha menelepon beberapa rekannya untuk minta perlindungan.

Setelah Fiera mengunggah surat pernyataan dan permintaan maaf melalui akun Facebook miliknya, dalam waktu satu jam, malah laman dalam Facebook Fiera dibongkar.

“File-file album pribadi saya berupa foto-foto saya dan anak-anak saya dan postingan lama saya, mereka munculkan kembali dan disebar ke banyak group Facebook. Mereka mengambil foto saya dan mengedit dengan vulgar, tidak senonoh dan ditambahi dengan kata-kata jorok yang sangat tidak pantas bagi seorang perempuan,” ujarnya.

Keesokan harinya, masih banyak orang lalu lalang di depan rumahnya. Fiera merasa mereka membuntuti dirinya dan anak-anaknya. Bahkan waktu subuh sekitar jam 04.30, ada rombongan orang bermotor lewat depan rumahnya. Mereka berteriak-teriak dan bersorak sorai tidak jelas.

“Minggu 28 Mei, atas berbagai pertimbangan di atas, yaitu keselamatan saya dan anak anak saya, serta tidak adanya pihak yang akan melindungi saya di sini (Solok), ditambah suasana di lingkungan pekerjaan yang sudah tidak nyaman lagi, saya memutuskan keluar dari Kota Solok, Sumatera Barat ini,” jelasnya. Fiera, kedua anaknya, dan suaminya kini berada di Jakarta.

FPI sendiri membantah melakukan intimidasi kepada Fiera dan keluarganya. Juru Bicara FPI Slamet Maarif justru mengatakan bahwa di Solok belum terbentuk FPI. Dia juga mengungkapkan bahwa tak ada instruksi secara nasional dari FPI untuk melakukan upaya persekusi.

"Itu masyarakat Solok biarkan diselesaikan oleh kearifan lokal daerah masing-masing," ungkap Slamet merespons masalah persekusi yang menimpa Fiera (selengkapnya: Intimidasi Berlanjut, Dokter Fiera Pindah ke Jakarta).

Bahaya Bagi Anak Korban

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh menganggap, setiap orang memiliki kewajiban melindungi anak-anak. “Itu bagian dari hak dasar, siapapun harus memberikan perlakuan yang baik pada anak,” katanya saat berbincang dengan reporter Tirto, Jakarta, Kamis (1/6/2017).

Kepala divisi Sosialisasi KPAI, Erlinda, menilai upaya persekusi harus segera diantisipasi dan dihentikan. Sebab anak-anak menjadi bagian dari korban yang masa depannya terancam.

Erlinda menjelaskan anak harus dihindarkan dari trauma sebab perlakuan intimidasi akan berdampak mengganggu fungsi saraf otak anak.

“Dampaknya akan mengalami break system. Sehingga anak-anak itu akan tumbuh menjadi anak yang ketakutan,” ungkap Erlinda saat berbincang dengan reporter Tirto, Jakarta, Kamis (1/6/2017).

Sederet dampak buruk lainnya ialah, anak korban sweeping siber tidak akan bisa mengambil keputusan yang bagus. Selain itu jiwa kepemimpinannya akan terkikis.

“Di masa sekolah tumbuh kembangnya juga akan terganggu. Tidak bisa mudah mengingat mata pelajaran, adaptasi sosialnya rendah,” tuturnya.

Erlinda menganggap keputusan Fiera untuk hengkang ke Jakarta demi anak sudah tepat. Lebih dari itu, dia berharap anak-anaknya Fiera mendapat terapi. “Teror tersebut mengganggu anak. Itu tidak boleh dianggap sepele,” katanya.

Erlinda juga mengingatkan agar negara melindungi hak warganya untuk berpendapat. Terlebih, setiap warga negara harus berani mengambil tindakan guna melindungi anak korban persekusi.

“Harusnya ada peran serta dari masyarakat juga yang tidak membiarkan upaya (persekusi) itu. Apakah ulama itu bukan bagian dari manusia yang bisa khilaf? Negara kita, kan, negara hukum,” tegasnya.

Sedangkan Ketua Komnas Perempuan, Azriana menegaskan bahwa sweeping siber merupakan bentuk pembatasan hak berekspresi di dunia maya. Lebih dari itu, dia juga menganggap persekusi adalah varian dari tindakan kekerasan.

“Netizen harus ditumbuhkan kesadarannya untuk menghargai perbedaan pendapat. Jika dirasa pendapat atau ekspresi yang disampaikan seseorang menghina dirinya, bisa melakukan langkah-langkah yang dibenarkan oleh hukum untuk penyelesaiannya, bukan dengan tindakan main hakim sendiri,” ujar Azriana saat hihubungi reporter Tirto, Kamis (1/6/2017).

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS