Menuju konten utama
GWS

Berkemah di Hutan Dapat Melatih Pasukan Pembunuh Kanker

Berkemah tak hanya meredakan stres yang menumpuk akibat kejamnya kota. Siapa sangka, berkemah dapat membantu sel imun tubuh dalam memburu sel kanker.

Berkemah di Hutan Dapat Melatih Pasukan Pembunuh Kanker
Ilustrasi berkemah. FOTO/pixabay.com

tirto.id - Deru mesin kendaraan dan pabrik tak pernah benar-benar mati. Cahaya layar gawai terus berpendar, bahkan setelah mata terpejam. Notifikasi berdentang tanpa henti, menuntut perhatian yang kian terfragmentasi. Inilah simfoni kehidupan kota modern, sebuah irama konstan yang membuat jiwa terasa sumpek dan tubuh terasa penat.

Di tengah hiruk kota kita bekerja, berjuang, dan perlahan-lahan lupa suasana tenang yang sejati. Lalu, datanglah sebuah titik jenuh, sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang hilang.

Ada kerinduan akan udara tanpa polusi, tanah yang terasa di bawah telapak kaki, dan percakapan yang terjalin tanpa disela oleh getar ponsel. Solusinya hanya kembali ke alam liar, piknik, mungkin sambil berkemah.

Perjalanan pun dimulai. Perlahan, gedung-gedung pencakar langit digantikan oleh barisan pepohonan. Suara klakson yang memekakkan telinga meredup, berganti dengan desau angin yang menyapu dedaunan.

Aroma aspal panas dan asap knalpot memudar, digantikan oleh wangi tanah basah dan aroma pinus yang tajam. Tanpa disadari, perjalanan berubah menjadi sebuah misi pemulihan, upaya mengembalikan keseimbangan yang telah lama dirampas oleh rutinitas perkotaan.

Menyatu dengan Alam, Manfaat Langsung bagi Tubuh dan Pikiran

Setibanya di perkemahan, perubahan itu terasa instan dan nyata. Mendirikan tenda, mencari kayu bakar, atau sekadar berjalan menyusuri sungai kecil, merupakan aktivitas fisik yang terasa alami, bukan paksaan seperti rutinitas di pusat kebugaran.

Tubuh yang terbiasa duduk di kursi kini meregang, bergerak, dan merasakan kembali kekuatannya. Udara segar yang dihirup terasa berbeda: lebih bersih, lebih kaya oksigen, seolah memberi nutrisi langsung ke setiap sel tubuh.

Di malam hari, jauh dari polusi cahaya kota, langit membentangkan permadani bintang memukau. Paparan terhadap siklus siang-malam yang alami--tanpa gangguan gemerlap lampu perkotaan dan cahaya gawai--membuat tubuh dapat mengatur ulang jam internal tubuh alias ritme sirkadian.

Berkemah dapat membantu tubuh kembali ke siklus tidur alaminya. Kualitas tidur yang membaik secara langsung menurunkan kadar hormon stres, kortisol, sehingga kita terbawa dalam arus ketenangan pikiran.

Manfaatnya tidak berhenti di situ. Suara alam, kicau burung, gemericik air, terbukti secara ilmiah berefek menenangkan, mengurangi kecemasan, dan memperbaiki suasana hati.

Jauh dari gangguan gawai, interaksi sosial menjadi lebih berkualitas. Percakapan mengalir lebih dalam, ikatan keluarga dan persahabatan menguat, membangun kembali koneksi manusiawi yang biasanya lenyap ditelan kesibukan.

Sementara itu, paparan sinar matahari pagi saat berkemah membantu tubuh memproduksi vitamin D. Ia merupakan nutrien vital yang tidak hanya penting bagi kesehatan tulang, tetapi juga merupakan modulator kunci bagi sistem kekebalan tubuh.

Semua manfaat itu merupakan siklus positif yang saling menguatkan. Tidur lebih nyenyak dapat mengurangi stres. Stres yang berkurang mampu meningkatkan suasana hati. Suasana hati yang lebih baik mendorong lebih banyak aktivitas fisik. Aktivitas fisik, pada gilirannya, menjamin tidur lebih berkualitas di malam berikutnya.

Alam tidak hanya memberikan satu obat, tetapi menciptakan sebuah lingkungan suportif yang membuat sistem penyembuhan dan pengaturan diri tubuh dapat berfungsi optimal dan sinergis.

ilustrasi berkemah

Ilustrasi berkemah. FOTO/pxhere.com

Membedah Konsep Shinrin-yoku

Jauh di dalam tubuh kita, sebuah pertempuran sunyi terjadi setiap saat. Ada pasukan elite yang terus-menerus berpatroli di aliran darah dan jaringan, mencari dan menghancurkan sel-sel "pengkhianat".

Pasukan tersebut dikenal sebagai Sel Pembunuh Alami, atau Natural Killer (NK) cells. Mereka adalah bagian penting dari sistem kekebalan bawaan kita, garda terdepan pertahanan tubuh. Misi utamanya melakukan patroli pengawasan alias imunosurveilans, untuk mengidentifikasi dan melenyapkan sel-sel yang telah terinfeksi virus, termasuk sel-sel yang telah bermutasi menjadi kanker.

Cara kerjanya sangat canggih. Setiap sel NK dilengkapi dengan serangkaian reseptor. Beberapa di antaranya merupakan reseptor pengaktif yang memberi sinyal untuk menyerang, sementara yang lain adalah reseptor penghambat yang memberi perintah untuk menahan diri.

Jika Sel NK adalah pasukan elite, hutan merupakan fasilitas pelatihan dan persenjataan tercanggih bagi mereka. Kegiatan berkemah bisa menjadi wadah ampuh memobilisasi Sel NK.

Konsep menyatu dengan hutan telah dipelajari secara mendalam di Jepang, dikenal dengan istilah shinrin-yoku. Diperkenalkan pada 1982 oleh Kepala Dinas Kehutanan Jepang saat itu, Tomohide Akiyama, shinrin-yoku secara harfiah berarti mandi hutan alias forest bathing, sebuah praktik yang mengajak seseorang menyerap atmosfer hutan dengan seluruh indranya.

Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Qing Li dari Nippon Medical School (2007) secara kuantitatif mengukur efek paparan tersebut. Para peneliti membawa sekelompok pekerja kantoran berusia 37-55 tahun dari Tokyo untuk berkemah selama tiga hari dua malam di lingkungan hutan Iiyama, Prefektur Nagano. Mereka mengambil sampel darah sebelum, selama, dan setelah perjalanan, untuk mengukur perubahan dalam sistem kekebalan tubuh para partisipan.

Hasilnya sangat menakjubkan. Setelah tiga hari berkemah, jumlah Sel NK dan tingkat aktivitas di dalam tubuh partisipan meningkat signifikan, mencapai 50 persen, dibandingkan sebelumnya. Bahkan, ia bisa meningkat 80 persen dalam kondisi tertentu.

Aktivitas tersebut diukur dari konsentrasi protein anti-kanker di dalam sel, seperti perforin, granulysin, dan granzymes, yang merupakan amunisi milik Sel NK untuk menghancurkan targetnya. Protein-protein itu adalah senjata molekuler yang digunakan oleh sel NK untuk mengidentifikasi dan menghancurkan sel tumor atau sel yang terinfeksi virus melalui jalur eksositosis granular.

Implikasinya sangat besar. Dr. Li menyimpulkan, melakukan satu perjalanan “mandi hutan” selama tiga hari setiap bulan sudah cukup untuk menjaga aktivitas Sel NK tetap pada tingkat yang tinggi, menciptakan benteng pertahanan kuat terhadap perkembangan sel kanker.

Proses itu dapat dianggap sebagai bentuk imunoterapi alami. Sementara imunoterapi klinis modern sering kali melibatkan rekayasa sel imun di laboratorium, Shinrin-yoku mencapai tujuan serupa dengan senyawa alami yang disediakan hutan.

Namun, temuan yang paling mengejutkan adalah durasi efeknya. Peningkatan kekuatan sistem imun tidak hilang begitu saja setelah orang-orang kembali ke hiruk pikuk kota. Penelitian lanjutan Dr. Li pada 2009 menyimpulkan, efek peningkatan imun itu dapat bertahan hingga 30 hari setelah satu kali perjalanan berkemah.

Mekanisme di balik peningkatan ini melibatkan dua jalur utama.

Pertama, ia datang dari sesuatu yang tidak terlihat: udara yang kita hirup. Hutan melepaskan berbagai senyawa kimia ke udara, dan interaksi senyawa dengan tubuh manusialah yang menjadi kunci dari efek peningkatan imun.

Paparan langsung dengan hutan melibatkan fitonsida, senyawa organik volatil yang dilepaskan oleh pohon, termasuk senyawa alpha-pinene, beta-pinene, isoprene, camphene, dan d-limonene. Mereka terdeteksi dalam udara hutan, tetapi hampir tidak ada di udara kota.

Fitonsida merupakan bagian dari sistem kekebalan pohon, yang melindungi mereka dari bakteri, jamur, dan serangga. Ketika dihirup manusia, senyawa itu secara langsung bereaksi terhadap sel NK, meningkatkan jumlah dan tingkat protein anti-kanker intraseluler.

Kedua, paparan di ruang hijau secara tidak langsung meningkatkan aktivitas NK dengan mengurangi hormon stres. Penelitian di Environmental Research (2018) menunjukkan, forest bathing secara signifikan menurunkan konsentrasi hormon stres, seperti kortisol saliva, adrenalin urin, dan noradrenalin.

Kortisol diketahui secara dramatis menekan aktivitas sel NK. Karena itu, penurunan kortisol melalui relaksasi di hutan dapat berkontribusi pada peningkatan fungsi imun.

ilustrasi berkemah

Ilustrasi berkemah. FOTO/idn.freepik.com

Perlu digarisbawahi, Shinrin-yoku berbeda dari aktivitas bertarget, misalnya mendaki gunung yang bertujuan mencapai puncak atau menaklukkan jarak tertentu; intinya soal "di sana". Sebaliknya, Shinrin-yoku berfokus pada pengalaman “di sini”, pada saat ini.

Praktiknya dilakukan dalam tempo lebih lambat, tak ada tujuan "kompetitif" seperti naik ke puncak gunung, berhenti untuk menyentuh kulit pohon, mencium aroma bunga liar, atau sekadar duduk dan mendengarkan simfoni hutan.

Shinrin-yoku telah melahirkan cabang ilmu pengetahuan baru yang disebut Pengobatan dengan Hutan alias Forest Medicine. Bidang tersebut meneliti efek fisiologis dan psikologis dari interaksi manusia dengan lingkungan hutan.

Aktivitas “mandi hutan”, salah satunya berkemah, bukanlah pengobatan utama kanker. Ia juga tidak secara langsung membunuh sel kanker yang sudah ada dalam tubuh. Namun demikian, peningkatan aktivitas Sel NK dan protein anti-kanker menunjukkan bahwa praktik ini dapat mencegah pembentukan dan perkembangan kanker.

Jika paparan terhadap lingkungan hutan dapat secara signifikan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dengan biaya rendah dan tanpa efek samping, merancang kota dengan lebih banyak ruang hijau dan melindungi hutan kota yang ada bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan strategi kesehatan publik yang krusial.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - GWS
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin