Menuju konten utama

Benarkah Pembantaian dan Genosida Rohingya Terjadi di Myanmar?

Peristiwa genosida atau pembantaian terhadap warga etnis Rohingya apakah benar pernah terjadi di Myanmar?

Benarkah Pembantaian dan Genosida Rohingya Terjadi di Myanmar?
Sejumlah perempuan imigran etnis Rohingya menaiki truk evakuasi pascaterdampar di pesisir Pantai Ujong Blang, Lhokseumawe, Aceh, Senin (7/9/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/wsj.

tirto.id - Etnis Rohingya menyebar ke berbagai negara dan menjadi pengungsi akibat krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Para penduduk Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar akibat serangkaian penyiksaan dan penghancuran yang dilakukan oleh militer setempat.

Indonesia menjadi salah satu negara tujuan para pengungsi Rohingya. Di tengah maraknya kedatangan pengungsi tersebut, muncul spekulasi yang mempertanyakan soal benarkah genosida Rohingya benar terjadi di Myanmar?

Faktanya, peristiwa genosida kepada etnis Rohingya memang benar terjadi di Myanmar. Kasus genosida Rohingya di Myanmar ini telah diakui oleh banyak negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika.

Puncaknya pada 2019 Gambia membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Setelah laporan ke ICJ tersebut, 5 negara Eropa dan Kanada ikut mendukung dengan mengajukan deklarasi intervensi untuk menghentikan genosida di Myanmar.

Dikutip dari Al-Jazeera lima negara Eropa tersebut termasuk Denmark, Perancis, Jerman, Belanda, dan Inggris. Eropa dan Kanada menuding pemerintah Myanmar telah melakukan aksi genosida terhadap etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam.

“Kami ingin memberikan kontribusi untuk mengklarifikasi dan memerangi genosida. Kami secara khusus fokus pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak,” kata Direktur Jenderal Urusan Hukum Jerman, Tania von Uslar melalui akun X @Germanyonintlaw, Jumat (17/11/2023).

Hal serupa juga disuarakan oleh Presiden Organisasi Rohingya Burma, Tun Khin. Ia menyebut bahwa Rohingya telah mendapat diskriminasi bahkan sebelum peristiwa genosida terungkap.

Diskriminasi yang dilakukan Myanmar terhadap Rohinya berupa penetapan Undang-undang Kewarganegaraan 1982 yang tidak mengakui keberadaan etnis tersebut. Akibatnya, Rohingya dianggap sebagai penduduk ilegal di Myanmar yang tidak dapat memiliki kebebasan.

Tuh Khin juga meyakini bahwa genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap penduduk Rohingya masih berlangsung hingga saat ini.

"Intervensi negara-negara lain yang mendukung Gambia memperkuat kasus ini, dan meningkatkan tekanan terhadap militer Burma (Myanmar) yang masih melakukan genosida terhadap Rohingya," tutur Tun Khin seperti yang dikutip dari Al-Jazeera.

Puncak Kasus Genosida Warga Rohingya

Etnis Rohingya sudah beberapa kali mengalami 'pembersihan' dari Myanmar sejak tahun 1970-an. Menurut catatan Médecins Sans Frontières (MSF), hal ini ditandai dengan Operasi Raja Naga yang dilakukan oleh Myanmar pada 1977 - 1978.

Operasi Raja Naga merupakan proyek pembersihan etnis yang digerakkan oleh militer Myanmar dan menyebabkan 200.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Selanjutnya, pemerintah Myanmar mengeluarkan UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang berisi pengakuan terhadap 135 kelompok etnis di Myanmar. Namun, Rohingya tidak termasuk di antara 135 etnis yang diakui itu.

Kondisi ini menyebabkan penduduk Rohingya di Myanmar dicabut kewarganegaraannya. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal yang tidak bisa memiliki rumah, pekerjaan formal, atau bahkan menempuh pendidikan.

Kasus genosida terhadap warga Rohingya di Myanmar mencapai puncaknya pada 2017. Peristiwa pembersihan ini bermula saat Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) atau Tentara Pembebasan Rohingya Arakan menyerang pos polisi dan tentara.

Serangan tersebut membuat militer Myanmar merespon keras dengan melancarkan operasi besar-besaran. Berdasarkan laporan Council on Foreign Relations (CFR), militer Myanmar menghancurkan ratusan desa Rohingya dan memaksa 700.000 orang Rohingya meninggalkan Myanmar.

Peristiwa tersebut juga merenggut 6.700 korban jiwa warga Rohingya selama 25 Agustus hingga 24 September 2017.

Militer Myanmar menembaki warga sipil yang melarikan diri dari serbuan. Tentara juga memasang ranjau darat di kawasan yang digunakan warga Rohingya untuk menyeberangi perbatasan menuju Bangladesh.

Menurut Human Right Watch (HRW), militer Myanmar diyakini telah melakukan pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran besar-besaran di Rakhine, negara bagian tempat mayoritas penduduk Rohingya tinggal.

Jumlah warga yang mengungsi dilaporkan jauh lebih besar dari yang dilaporkan, yakni mencapai 730.000 orang. Sementara itu, 600.000 warga Rohingya lainnya masih di bawah penindasan pemerintah Myanmar.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres menyebut aksi militer Myanmar terdapat warga Rohingya itu sebagai tindakan pembersihan etnis.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB melalui tim pencari fakta independen menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan di Kachin, Rakhine, dan Shan. Sifatnya sangat mengerikan dan ada di mana-mana.

Sejak Agustus 2017, banyak terjadi kejahatan kemanusiaan dan sudah memenuhi unsur kejahatan perang. Seperti pembunuhan, penyiksaan, perlakuan kejam, dan menyerang warga sipil.

Mereka juga menggusur warga sipil, merampas, menyerang benda-benda yang dilindungi, menyandera, dan melakukan eksekusi tanpa proses hukum. PBB juga menyebut tentara Myanmar juga melakukan aksi pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual.

Tindakan-tindakan inilah yang menjadi dasar bagi Dewan PBB untuk menyebut Myanmar berniat melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.

Kondisi Rohingya yang masih menetap di Myanmar tidak lebih baik setelah terjadi kudeta militer Myanmar pada 2021. Junta militer membatasi pergerakan warga Rohingya dan menyetop bantuan ke kamp-kamp dan desa-desa Rohingya.

Tindakan ini semakin meningkatkan krisis air dan makanan ditambah penyakit dan malnutrisi. Mereka menangkap 2.000 warga Rohingya dengan tuduhan perjalanan tanpa izin.

Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri, Antony Blinken, menyatakan komitmen untuk menuntut pelaku utama yang telah melakukan upaya genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kekejaman di Myanmar.

"Akan tiba saatnya mereka yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mengerikan ini harus mempertanggungjawabkannya," ujar Blinken.

Kementerian Luar Negeri AS menilai militer Myanmar telah melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya. Mereka pun menganggap aksi ini adalah genosida ke-8 pasca tragedi Holocaust.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Iswara N Raditya & Yonada Nancy