tirto.id - Pemerintah Israel dilaporkan melarang warga Palestina menggunakan air hujan. Pasalnya, air tersebut diklaim menjadi milik Israel.
Dalam sejumlah postingan di media sosial, baik X, Instagram, maupun TikTok, beredar kabar terkait Israel yang melarang warga Palestina untuk menggunakan air hujan.
Warga Palestina khususnya di Tepi Barat bahkan dilarang mengumpulkan air hujan yang jatuh dari langit, baik melalui ember maupun via bendungan.
Menurut sejumlah sumber, pemerintah Israel mengklaim air hujan menjadi milik mereka. Alhasil, warga harus mendapatkan izin terlebih dahulu untuk menampung air dalam skala besar.
Laporan PBB: Israel Larang Warga Palestina Tampung Air?
Berita tentang Israel melarang warga Palestina menggunakan air hujan awalnya disampaikan oleh salah seorang aktivis, yakni David Miller.
Melalui postingan via X @Tracking_Power, ia menuliskan "Air hujan adalah milik 'Israel'" dan "Warga Palestina dilarang mengumpulkan air hujan".
Miller menambahkan hal ini berdasarkan sebuah laporan PBB. Perintah militer Israel yang berlaku di wilayah tersebut menyatakan jika hujan adalah milik otoritas Israel. Warga Palestina dilarang mengambil air hujan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau pun pertanian.
Pernyataan David Miller itu mengacu pada dokumen Non-PBB yang dilaporkan oleh Al-Haq dan EWASH kepada CESCR pada September 2011.
Al-Haq merupakan organisasi hak asasi manusia yang beroperasi di Tepi Barat, Palestina. Sedangkan EWASH merupakan singkatan Emergency Water, Sanitation and Hygiene, yakni organisasi yang bekerja di sektor air dan sanitasi di Palestina.
Adapun CESCR (Committee on Economic, Social and Cultural Rights) termasuk salah satu badan PBB tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Isi laporan menyebutkan "Israel secara aktif mencegah pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air dan sanitasi di Tepi Barat".
"Di wilayah Tepi Barat yang masih berada di bawah kendali langsung Israel setelah Perjanjian Oslo,, terdapat birokrasi yang lebih rumit. Administrasi Sipil Israel harus memberikan izin untuk setiap konstruksi, termasuk proyek air dan sanitasi,".
Mereka menyebutkan sebagian besar izin ditolak dan bangunan tanpa izin akan dibongkar hingga terancam pemindahan paksa.
Selama tahun 2011, pembongkaran infrastruktur air, infrastruktur mata pencaharian, dan rumah-rumah sudah membuat 755 orang mengungsi dan mempengaruhi mata pencaharian sekitar 1.400 orang.
Israel juga melarang hampir semua pembangunan sumur yang diperlukan warga Palestina. Kebijakan ini dinilai telah menghalangi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap fasilitas air dan sanitasi, termasuk air, toilet, jaringan pembuangan limbah, dan tangki-tangki air dalam menampung hujan.
Selama periode tersebut, tentara dan pemukim Israel menghancurkan rumah-rumah warga beserta tangki-tangki airnya.
Di Tuwani, Tepi Barat, para pemukim Israel merampas tanah dan penampungan air milik desa dan meracuni air yang tersimpan di penampungan lain dengan mencampuri lewat ayam mati, popok kotor dan polutan lain.
Pada 2005, para pemukim itu menyebarkan bahan kimia beracun di sekitar tempat penampungan air utama dan di ladang-ladang di sekitar Tuwani, termasuk di Mufaggara dan Jhorouba.
Berdasarkan kasus-kasus yang disampaikan, EWASH dan Al-Haq menyatakan keprihatinan atas kegagalan negara-negara pihak dalam menghormati hak-hak Palestina, termasuk atas sumber daya mereka sendiri, karena pendudukan serta perampasan air dan tanah di Tepi Barat.
Oleh sebab itu, diharapkan ada langkah-langkah untuk memastikan akses langsung terhadap distribusi air kepada warga Palestina di wilayah pendudukan. Otoritas Palestina wajib memiliki kendali atas sumber daya air mereka, termasuk pengelolaan, ekstraksi dan distribusi.
Mereka juga mendesak agar negara-negara anggota PBB meratifikasi Protokol Pilihan untuk Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Penulis: Beni Jo
Editor: Dipna Videlia Putsanra