Menuju konten utama

Benarkah Gim Online Bisa Bikin Indonesia Rugi?

Indonesia adalah pangsa pasar game online terbesar di Asia Tenggara. Namun, keuntungan dari game itu tak didapatkan Indonesia.

Benarkah Gim Online Bisa Bikin Indonesia Rugi?
Hero Kadita dalam game Mobile Legends Bang Bang. FOTO/Moonton Indonesia

tirto.id - Pesatnya penetrasi internet di Indonesia tak hanya membuat bisnis online dating berkembang, tetapi juga game online. Newzoo, lembaga riset global yang berbasis di Belanda, menggambarkan bagaimana negara berkode +62 ini jadi salah satu dari enam negara yang jadi pasar terbesar di Asia Tenggara.

Secara global, pendapatan dari industri gameonline Indonesia tahun ini masih sangat besar meski turun satu peringkat dari posisi 16 pada 2017. Nilainya mencapai 1.084 miliar dolar AS dan tertinggi di ASEAN.

Setelah Indonesia, berturut-turut ada Malaysia dengan pendapatan industri gim online sebesar 633 juta dolar AS; Vietnam dengan 472 juta dolar AS; Filipina 461 juta dolar AS; Singapura 319 juta dolar AS; dan Myanmar 76 juta dolar AS.

Namun, pendapatan dari transaksi gim ini tidak dinikmati pemerintah Indonesia. Ibaratnya, Indonesia cuma menyediakan lapak dan pembeli, sementara pedagangnya datang dari luar negeri.

Atas kondisi tersebut, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mewanti-wanti soal potensi kerugian negara akibat perkembangan industri gim ini. Menurutnya, aliran dana ke luar negeri dari dalam gim bisa membebani neraca pembayaran atau balance of payment Indonesia.

"Main gim itu kelihatan enggak di neraca pembayaran Indonesia? Sekarang, sih, enggak, tapi mudah-mudahan kelihatan ya. Itu uang, kan, keluar semua ya,” ujarnya di kompleks BI, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).

Apa yang disampaikan Mirza benar belaka. Gim online yang bisa diunduh gratis ini memang memberlakukan in app purchase (pembelian dalam aplikasi) meski nominalnya cenderung kecil di kisaran Rp7 ribu hingga Rp10 ribu.

Jika dikalkulasikan dengan jumlah gamer yang banyak, maka potensi uang yang lari ke luar negeri pun akan cenderung besar.

“Kalau di seluruh dunia ada 700 juta pemain, sementara sekali main menghabiskan 0,5 dolar AS, di Indonesia bisa jadi 2 juta yang main, itu uang keluar semua untuk gim itu,” kata Mirza.

Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, potensi game online untuk membenahi neraca pembayaran saat ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jasa transportasi serta pariwisata.

“Memang benar apa yang dikatakan Pak Mirza tentang ada aliran dana keluar dari adanya penggunaan game online dalam negeri. Akan tetapi, ada juga, kok, gim yang berasal dari developer lokal yang banyak digunakan oleh gamers luar negeri,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (28/3/2019).

Gim Lokal Tak Kebagian Untung

Namun dari hasil penelitian Agate, salah satu pengembang gim asal Indonesia, gim lokal hanya mendapat 0,4 persen dari total pangsa pasar dalam negeri, padahal ada 73,1 juta pengguna smartphone di Indonesia yang berpotensi menjadi konsumen.

Ini jelas masih jauh dari target yang dibuat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mematok target 50 persen penguasaan pasar gim dalam negeri pada 2020.

Saat ini, transaksi gim online Indonesia hanya dinikmati beberapa pengembang besar seperti Tencent, Moonton, dan NetEase. Gim yang dipopulerkan ketiga developer asal Cina itu antara lain berjenis battle royale seperti Knives Out dan Player Unknown's Battle Ground (PUBG) Mobile; atau gim berjenis multiplayer online battle Arena yakni Mobile Legend.

Kondisi ini juga diperparah dengan jumlah investasi pada industri game lokal yang masih sangat sedikit. Menurut data yang sama, investasi gim online Indonesia cuma 2 juta dolar AS. Sementara Cina, Korea Selatan, dan Vietnam, nilai investasinya berturut-turut mencapai 5 miliar dolar AS, 1 miliar dolar AS dan 50 juta dolar AS.

Berusaha Mengekspansi Pasar Luar Negeri

Direktur Jenderal Aplikasi dan Telematika Kemenkominfo, Semuel Abrijani mengaku belum tahu proporsi pengembang gim lokal dalam industri ini. Namun, ia mengklaim pemerintah telah mendorong ekosistem industri ini makin kuat dan bisa berkembang, salah satunya lewat road-map industri game online yang dirumuskan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Kemenkominfo, kata Semuel, juga terbuka terhadap usulan yang dapat mendukung pertumbuhan gim lokal. Termasuk, memperbarui regulasi hingga menerapkan pembatasan durasi permainan serta klasifikasi usia.

“Kalau di kita [Indonesia], kan, sudah ada Permen 11 tahun 2016,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Game Indonesia Jan Faris Majd mengatakan rata-rata pertumbuhan industri gim nasional berada di kisaran 20 persen hingga 30 persen per tahun. Ia menganggap hal ini jadi pertanda bagus untuk para developer lokal, apalagi sudah ada developer game Indonesia yang menjadi perusahaan besar, meski jumlahnya tidak banyak.

Dari data Asosiasi Game Indonesia (AGI) tercatat ada 21 perusahaan gim besar di tanah air yang menjadi anggota AGI, antara lain Ranob Media Interactive, Garuda Games, Megaxus, Gudang Voucher, Agate International, Logika Interaktif, Jotter Production, Ulin Game Works, Aruline, Qeon Interactive, Game Web, Wave Game, Lyto, Digital Happiness, Altermyth, Toge Production, Faveo, Arsanesia, Night Spade, Gempon dan GameLevelOne.

Selain pasar domestik, developer game asal Indonesia itu punya peluang besar untuk merambah pasar global. Di Asia Tenggara saja, potensi untuk mendominasi pasar masih terbuka lebar. Sebab, meski penetrasi internet di ASEAN masih di kisaran 48 persen, harga telepon seluler makin terjangkau memungkinkan industri game online punya lahan subur untuk bertumbuh.

Itu mengapa, menurut Newzoo, dua pertiga atau 67 persen pendapatan game di wilayah ini berasal dari seluler. Sementara game online dengan PC atau komputer hanya meraup 24 persen dari total pendapatan, dan hanya game console atau populer disebut PlayStation hanya 9 persen.

Baca juga artikel terkait GIM atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih