tirto.id - Pada September 1945, seorang pria 37 tahun bernama Masaru Ibuka kembali ke Tokyo, bertekad untuk membangun ibu kota negara yang luluh lantak. Saat itu, Jepang masih berada dalam masa kekacauan selepas bom atom menghantam Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II.
Ibuka tak bisa berbuat banyak kala itu. Ia hanya mulai mengajak sekelompok kecil orang yang ahli di bidang teknik untuk membuka sebuah bengkel di lantai tiga Shirokiya Department Store. Sebulan berlalu, mereka mendirikan Tokyo Tsushin Kenkyujo (Totsuken) atau Tokyo Telecommunications Research Institute.
Semangat Ibuka dan rekannya begitu menggebu-gebu untuk membangun kembali Jepang dengan keahlian mereka miliki. Dengan keadaan serba terjepit, mereka kemudian dipaksa berpikir keras untuk melakukan sesuatu sehingga dapat mempertahankan bisnisnya.
Pada saat itu, Jepang haus akan informasi dan berita dari seluruh dunia. Banyak orang saat itu memiliki radio, tapi kondisinya sudah rusak. Ibuka melihat ini sebagai peluang, bengkel mereka menerima jasa memperbaiki radio. Mereka juga membuat adaptor bagi radio gelombang pendek yang dapat mengubah tipe unit radio itu menjadi superheterodyne, atau unit yang dapat menerima semua gelombang--tidak butuh waktu lama, permintaan adaptor meningkat.
Nama mereka pun melejit, hingga masuk pada kolom "Blue Pencil" di Asahi Shimbun, popularitas Ibuka dan rekannya semakin berkibar. Paparan di kolom "Blue Pencil" telah membuat Ibuka bertemu kembali dengan sahabat lamanya semasa perang, yaitu Akio Morita. Inilah tonggak awal dari roda bisnis Sony yang mulai berputar.
Kegagalan Pertama
Nama Sony yang mentereng ternyata berawal dari teknologi sederhana yaitu alat penanak nasi. Kisahnya berawal, saat beras yang mereka terima dari rumah-rumah sebagai imbalan jasa panggilan. Sebuah hal yang istimewa, karena Jepang pada masa itu kekurangan makanan.
Dari sana, lalu timbul ide untuk membuat penanak nasi elektronika, sebuah peralatan elektronika sehari-hari yang sering digunakan, di tengah melimpahnya listrik pasca perang. Prototipe yang dibuat sangat sederhana, sebuah tong kayu kecil untuk memasak nasi yang dipasangi elektroda aluminium yang saling berkaitan pada dasarnya.
Hasil penanak nasi itu sangat tergantung pada jenis beras dan berapa banyak air yang digunakan. Beras yang dimasak pada umumnya berakhir terlalu matang atau malah tidak matang. Sehingga produk tersebut tidak pernah benar-benar dirilis ke pasar. Prototipe itu saat ini tersimpan di balik kaca di Gedung Arsip Sony di Shinagawa.
Kegagalan alat penanak nasi ini menjadi peristiwa yang paling diingat oleh mereka. Namun tidak semua produk besutan Totsuken tak semuanya gagal, di antaranya justru sukses seperti voltmeter tabung vakum. Hingga bisnis mereka berjalan dengan baik hingga pada Mei 1946 mereka mendirikan Tokyo Tsushin Kogyo K.K. atau Totsuko, di Nihonbashi, Tokyo. Modal awalnya 190.000 yen digunakan untuk penelitian dan pembuatan peralatan telekomunikasi dan pengukuran.
Pada awalnya, Totsuko tidak memiliki mesin, hanya sedikit peralatan ilmiah serta hanya mengandalkan ilmu Ibuka dan rekan-rekannya. Untuk menutupi "lubang" tersebut para karyawan Totsuko bekerja sangat keras, bahkan karena sering pulang larut malam. Mereka sering disangka pencuri oleh polisi, karena Shirokiya Department Store sudah tutup lebih awal. Mereka sempat memindahkan kantor ke Gedung Tokuya di Ginza, sebelum kemudian menemukan tempat di Gotenyama, Shinigawa pada 1947.
Sejumlah produk kemudian lahir dari perusahaan ini. Salah satu yang paling laris adalah bantal dengan pemanas elektrik. Ibuka dan Morita kemudian berusaha membuat sebuah produk yang tidak hanya menguntungkan untuk perusahaan, tapi juga berguna bagi publik. Akhirnya tercetus ide untuk membuat wire recorder.
Ketika masih bekerja keras mewujudkan produk tersebut, Ibuka dan Morita dalam kunjungan ke gedung kantor berita NHK, secara kebetulan ditunjukkan sebuah tape recorder oleh seorang anggota dari bagian Informasi dan Pendidikan Sipil (CIE). Terpukau oleh kualitas suara yang jauh lebih baik dari wire recorder, keduanya kemudian memutuskan untuk beralih pada produk tersebut.
"Ini dia. Ini adalah apa yang kita harus hasilkan untuk pasar konsumen. Alat ini memiliki potensi besar. Mari kita lakukan dengan tape," kata Ibuka.
Setelah melalui kerja keras luar biasa, akhirnya pada Maret 1950, Totsuko berhasil meluncurkan tape recorder yang dilapisi magnetite dan berbasiskan kertas, Sony Tape. Pada Mei, tape recorder magnetik pertama Jepang diluncurkan, Type G. Ide produk yang mereka ciptakan juga berasal dari pengalaman termasuk saat melancong ke luar negeri.
Pada Maret 1952, Ibuka memutuskan untuk mengunjungi Amerika Serikat (AS) untuk melakukan tur selama tiga bulan. Pada kedatangan pertamanya di New York, ia sangat terpesona dengan kemegahan dan teknologi AS, termasuk produk mobil.
Suatu hari, seorang teman di Negeri Paman Sam itu bertemu dengan Ibuka dan mengatakan kepadanya bahwa The Western Electric akan merilis paten transistor mereka kepada perusahaan yang tertarik. Ibuka yang saat itu sedang bingung memikirkan proyek apa yang sesuai untuk Totsuko yang saat itu telah diisi oleh banyak insinyur dan spesialis lulusan universitas, kemudian memiliki ide untuk menggarap transistor.
"Kami akan menggarap transistor. Hal ini akan membutuhkan banyak insinyur dan peneliti juga. [...] Ini tepat untuk mereka," kata Ibuka.
Tantangan demi tantangan kemudian terus berdatangan. Salah satu yang paling membingungkan adalah mengenai produk yang akan dibuat, karena transistor pada saat itu hanya dapat digunakan untuk produk audio. Pilihan kemudian jatuh pada radio. Pilihan ini bukannya tanpa risiko, sebab proyek penggarapan transistor membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara Totsuko merupakan perusahaan yang baru berdiri selama 6 tahun dengan nilai kapitalisasi di bawah 100 juta yen.
Pada Januari 1955, usaha keras Totsuko membuahkan hasil. Mereka mampu membuat radio transistor pertama mereka, TR-52. Selepas hal itu, Morita berencana untuk melakukan perjalanan ke AS dan Kanada pada Maret untuk melakukan survei pasar dan diskusi bisnis dan membawa radio baru mereka.
Untuk menjual produk itu, mereka kemudian membutuhkan nama yang mudah diucapkan oleh orang AS sebab Totsuko sulit untuk dilafalkan. Mengingat perusahaan dengan tiga huruf saat itu sudah lazim, seperti RCA dan NHK, dan setelah melewati proses panjang, Ibuka dan Morita kemudian memutuskan untuk menggunakan nama "Sony" yang berasal dari gabungan kata Latin Sonus (Suara) dan kata Inggris Sonny yang berarti anak muda.
Sayangnya, mereka tidak jadi menjualnya di AS sebab Bulova, pabrik jam yang berencana untuk meluncurkan produk itu di AS, tidak mau menjualnya dengan nama Sony. Morita akhirnya berhasil membuat perjanjian jangka panjang dengan Agrod Co. dengan kesepakatan untuk menjual radio transistor mereka di bawah nama Sony, untuk produk TR-63.
Januari 1958, Totsuko mengadopsi nama Sony sebagai nama perusahaannya. Pada bulan Juni di tahun itu juga, Sony memperkenalkan model TR-610 yang kecil dan ringan. Produk inilah yang kemudian sangat sukses di pasaran luar negeri. Model ini terjual setengah juta unit di seluruh dunia termasuk Jepang pada periode 1958 hingga 1960. Pada Desember 1958, nama Sony kemudian tercatat di Tokyo Stock Exchange (TSE).
Setelah itu bisnis Sony berjalan dinamis dengan berbagai produk andalannya khususnya game dan produk hiburan rumah tangga, Statista mencatat pada 2008 mereka mampu mencatatkan pendapatan US$78 miliar, lalu terpuruk pada 2012 hanya meraih pendapatan US$57 miliar, dan tahun lalu mulai bangkit dengan mencatatkan pendapatan US$72 miliar.
Sony hanya contoh bagaimana perusahaan bisa terus besar dengan inovasi. Produsen elektronika ini juga mengawalinya dari sebuah produk yang gagal.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara