tirto.id - Apa yang bisa dilakukan lembaga terhormat seperti DPR dalam sidang paripurna selama dua puluh menit?
Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual? RUU Perlindungan Data dan Informasi Pribadi? RUU Pengadilan HAM?
Tidak. Nyatanya, Senayan lebih memilih untuk mengetuk palu pengesahan pembahasan revisi Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Wacana ini sudah muncul sejak 2010 tapi selalu ditolak kelompok masyarakat dan aktivis. Revisi ini juga bahkan tak pernah berhasil muncul dalam daftar prolegnas dalam lima tahun terakhir.
Alih-alih membuat KPK semakin mantap, revisi ini justru menjadi pintu masuk pelemahan KPK. Setidaknya ada 7 poin revisi yang digaristebal oleh para aktivis dan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai bentuk pelemahan lembaga antirasuah ini.
Pertama, perubahan pada pasal 1 angka 7 yang mengatur bahwa pegawai KPK diubah statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pasal ini dinilai bermasalah lantaran akan berpotensi menghilangkan independensi pegawai KPK. Termasuk para penyidik yang berpotensi kehilangan independensi dalam menangani kasus korupsi.
Usai DPR menetapkan revisi UU KPK pada sidang paripurna, Kamis (5/9), enam hari setelahnya Presiden Joko Widodo menerbitkan surat presiden (supres) bernomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi UU KPK.
Dalam surat itu, Presiden Jokowi memberi restunya atas perubahan undang-undang itu di DPR. Ia menunjuk dua menteri untuk mengawal pembahasannya di parlemen, yakni Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Syafruddin.
Pelibatan Menteri PAN-RB dalam pembahasan revisi UU KPK jelas berkaitan dengan perubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Nantinya, pegawai KPK juga akan di bawah peraturan kementerian tersebut, selayaknya pegawai negeri sipil lain. Syafruddin sendiri sebagai menteri diketahui merupakan jenderal polisi bintang tiga sekaligus mantan Wakapolri periode 2016-2018.
“Secara struktural dan manajemen, KPK lebih bagus dari lembaga manapun. SDM mereka ramping namun hasil kerjanya optimal. Seharusnya cara mereka diadopsi ke lembaga negara, bukan sebaliknya dikembalikan pada cara lama,” terang Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo.
Masih di pasal satu dalam draf revisi UU KPK, pada angka tiga poin itu KPK nantinya akan diubah yang semula merupakan lembaga di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi lembaga pemerintah pusat atau masuk dalam jajaran eksekutif.
Sebagai anak kandung reformasi, dalam mukadimah UU KPK tertulis jelas bahwa dibentuknya lembaga antirasuah ini lantaran lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien. Selain itu, dalam putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, KPK merupakan lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.
Revisi pada pasal tersebut menjadi kontraproduktif dengan marwah KPK sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Yang Terjadi Jika Revisi UU KPK Disahkan
Poin lain yang juga dikritisi adalah kewenangan penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) hingga izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan kepada dewan pengawas.
Pada praktiknya selama ini, KPK tidak dapat menerbitkan SP3 sehingga dalam penetapan tersangka, KPK terkesan sangat hati-hati. Pada draf revisi UU KPK pasal 40, KPK kemudian diberi wewenang untuk dapat menerbitkan SP3 jika tak dapat memenuhi berkas perkara penyidikan dan penuntutan (P21) dalam jangka waktu setahun.
Adnan Topan menilai, poin ini nantinya akan berpotensi membuat kasus-kasus besar, rumit dan multiaktor yang sedang ditangani KPK menjadi terhenti. “Beberapa kasus butuh waktu bertahun-tahun karena satu dan lain hal, misalnya lintas negara seperti kasus Garuda,” kata Adnan.
Selain Garuda, mega kasus lain yang terancam terhenti adalah kasus BLBI, Century, E-KTP, hingga Hambalang. Ada pula kekhawatiran, adanya kewenangan penerbitan SP3 ini dapat menimbulkan politisasi kasus.
Kasus RJ Lino kerap digunakan sebagai legitimasi bagi para pihak yang mendorong revisi UU KPK terutama menyoal penerbitan SP3. Mantan Dirut PT Pelindo II ini ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II pada 2015. Hingga saat ini belum ada penuntutan terhadap kasus ini.
Penetapan tersangka dan kasus yang terkatung-katung tersebut, dinilai merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap seseorang yang berhak memperoleh kepastian hukum.
Pimpinan KPK, Alexander Marwata sempat mengaku pada uji kepatutan dan kelayakan pimpinan KPK di DPR, bahwa kasus RJ Lino tersendat lantaran hingga saat ini KPK belum mampu menghitung kerugian negara akibat perkara itu.
“Karena perusahaannya (vendor QCC) berada di luar negeri,” ujar Marwata.
Sebenarnya, BPK sudah melakukan audit perkiraan kerugian negara yakni Rp45 miliar untuk pembelian tanpa perencanaan 10 mobile crane dan Rp50 miliar untuk pembelian 3 QCC.
Dalam audiensi antara penyidik dan komisioner, yang saat itu juga dihadiri Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, terungkap bahwa kesulitan KPK dalam mengusut kasus RJ Lino bukan karena kurangnya alat bukti.
"Ada hambatan soal mutual agreement dengan pemerintah Tiongkok. Namun kerugian negara sudah dihitung ulang oleh BPK. Jadi, secara posisi kasus sudah jelas dan RJ Lino juga kalah di praperadilan," ujar Ketua Umum Federasi, Nova Sofyan Hakim.
Pernyataan Marwata tadi justru menegaskan kalau saat ini lembaga antirasuah itu tak cukup berdaya untuk mengusut kasus yang melibatkan pihak luar negeri.
Infografik HL Indepth Jika Revisi UU KPK Disahkan. tirto.id/Lugas
Kompolnas vs Dewan Pengawas
Sementara itu, Farid Andhika Sekjend Wadah Pegawai KPK justru menganggap konyol adanya poin izin penyadapan dari dewan pengawas sebagaimana ditulis pada draf revisi UU KPK pasal 12B.
Padahal, menurut Farid, untuk melakukan penyadapan oleh penyidik KPK juga harus melalui proses panjang. Dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) KPK untuk melakukan penyadapan harus melewati enam pintu, mulai dari izin dari sejumlah deputi dan pimpinan.
“Itupun tidak mulus. Ada perdebatan untuk mengeluarkan izin. Akan ditanya kaitannya apa, urusannya apa, semacam ekspos kecil. Enggak sembarangan itu, karena implikasinya hukum,” jelas Farid saat ditemui reporter Tirto di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (13/9).
Bila ada dugaan penyalahgunaan wewenang, KPK pun siap diaudit. Namun, selama ini belum pernah ada temuan penyalahgunaan wewenang penyadapan ini.
“Kalau mau diaudit, silakan. Kami terbuka,” imbuh Farid.
Saat ini, KPK sudah memiliki pengawas internal. Kinerjanya, menurut ICW, sudah cukup optimal. Tak jarang, pengawas internal itu bahkan tak segan memberi sanksi kepada pimpinan yang dinilai melanggar etik. Misalnya pada 2013, saat Abraham Samad yang saat itu menjabat sebagai Ketua KPK terlibat secara tidak langsung atas bocornya sprindik kasus Anas Urbaningrum.
Bagi para pendukung revisi UU KPK, lembaga antirasuah ini dinilai perlu memiliki dewan pengawas agar tidak menjadi lembaga superbody yang dapat menyalahgunakan wewenang, seperti halnya ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bagi Polri.
“Tapi kan, kepolisian tidak perlu meminta izin Kompolnas melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan,” sergah Farid.
Dalam Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Kompolnas memang dijelaskan wewenang Kompolnas terbatas hanya bertanggungjawab memberi saran dan pertimbangan kepada presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri.
Poin lain yang meresahkan dari revisi UU KPK ialah bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan kejaksaan dalam penuntutan perkara. Ini berarti, KPK tak bisa lagi bertindak sendiri dalam proses penuntutan seperti praktiknya selama ini.
Bayangkan jika revisi UU KPK ini sudah berlaku saat kasus korupsi bansos pada 2015 yang melibatkan Sekjen Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, misalnya. Kemudian saat penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan yang sedang dipimpin HM Prasetyo yang merupakan sesama politisi Nasdem. Kendati belum tentu terjadi, juga tidak ada jaminan pula tidak adanya konflik kepentingan di sana.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Mawa Kresna