Menuju konten utama

Bangkitnya Kajian Indonesia di Jerman dan Australia

Di tengah lesunya kajian Indonesia dan Asia Tenggara di kampus-kampus Eropa dan Amerika, kampus-kampus Australia dan Jerman justru membangkitkannya. Mereka menjelajahi tema-tema yang lebih baru.

Bangkitnya Kajian Indonesia di Jerman dan Australia
Ilustrasi pelajar Indonesia yang menempuh studi di Jerman. FOTO/Istimewa

tirto.id - Tak seperti mahasiswa Indonesia lain yang ditunjang beasiswa, Tika Ramadhini (25) harus berusaha sendiri untuk biaya hidupnya di Jerman. Sambil berkuliah doktoral di Universitas Humboldt, Berlin, Tika juga bekerja sebagai periset di Leibniz-Zentrum Moderner Orient (ZMO), sebuah lembaga riset yang berfokus pada studi masyarakat Islam di dunia.

Di ZMO, Tika adalah satu-satunya periset asal Indonesia maupun Asia Tenggara. Direktur ZMO merekrutnya karena selama hampir 20 tahun berdiri, lembaga itu belum pernah meriset Indonesia maupun Asia Tenggara. Karenanya, jadilah ia juga satu-satunya periset yang meneliti soal hubungan Indonesia dengan Haramain—Mekah dan Madinah, dua tanah suci umat Islam sedunia.

“Beberapa kolega sesama researcher yang kebetulan tidak meneliti Asia Tenggara hampir tidak mengetahui tentang Indonesia selain ‘the biggest Muslim country in the world’. Ada pula beberapa kolega yang bahkan beranggapan orang Indonesia berbahasa Arab karena negara Muslim. Intinya, di luar lingkup orang-orang yang memang meneliti Asia Tenggara, Indonesia cukup obscure dan unicorn-like,” tutur Tika saat dihubungi Tirto via telepon pada Rabu dua pekan lalu.

Meski sepi kajian, sesungguhnya studi Indonesia di Jerman tidak pernah benar-benar kehilangan peminat. Berbeda dengan Belanda yang studi Indonesianya telah ada sejak dua abad lampau, di Jerman minat itu nisbi baru terbangun sekitar 1970-an hingga 1980-an.

Maka wajar jika Indonesia masih samar bagi akademisi di sana. Tetapi, karena itulah di tengah lesunya studi Indonesia dan Asia Tenggara secara umum di kampus-kampus Eropa dan Amerika, Jerman menjadi amat potensial sebagai destinasi belajar atau riset.

“Seiring dengan kepentingan dan peta politik di Eropa maupun dunia, tema-tema Indonesia yang berhubungan dengan Islam dianggap cukup menarik,” ujar alumnus jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia itu.

Mulai Menggeliat di Jerman

Optimisme itu bukan isapan jempol. Menurut Profesor Arnt Graf—ahli Indonesia dan Malaysia dari Universitas Frankfurt, minat studi Indonesia di Belanda menurun karena masih mempertahankan pendekatan ‘dekolonisasi’. Kecenderungan di sana masih melihat Indonesia sebagai bekas negara jajahan.

Vincentius Houben, profesor Asia Tenggara dari Universitas Humboldt Berlin, juga mengungkapkan pendapat serupa. Menurutnya, yang menurun adalah minat pada bidang-bidang studi Indonesia klasik seperti filologi, bahasa, sastra, atau antropologi. Sementara itu, tema-tema studi yang lebih kontemporer justru meningkat.

“Para mahasiswa justru sangat tertarik pada persoalan Indonesia sekarang, seperti polarisasi kaya-miskin, nilai demokrasi di tengah nilai-nilai tradisional,” tutur penulis buku Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-1870 itu, seperti dikutip majalah Tempo (14-20 November 2011, hlm. 112-113).

Studi Asia Tenggara di Jerman pun tersebar cukup merata di seantero negeri. Beberapa kampus di Jerman yang punya Southeast Asian Studies antara lain Universitas Humboldt, Universitas Passau, Universitas Bonn, Universitas Hamburg, Universitas Freiburg, Universitas Heidelberg, Goethe-Universitas Frankfurt, dan Universitas Gottingen.

Bangkit Lagi di Australia

Selain di Jerman, studi Asia Tenggara juga sedang menggeliat di Australia. Seperti halnya di Eropa dan Amerika, kampus-kampus di Australia juga sempat mengalami penurunan jumlah peminat studi Indonesia pada dekade 1990-an. Di Universitas New South Wales (UNSW), misalnya, kajian Indonesia yang semula program studi mandiri disusutkan menjadi bagian kajian Asia.

Runtuhnya Orde Baru menjadi salah satu musabab menurunnya minat terhadap Indonesia. Indonesia dipandang tak lagi asing dan tertutup. Tragedi bom Bali pada 2002 juga ikut andil. Usai peristiwa itu pemerintah Australia menerbitkan peringatan bepergian ke Indonesia. Siswa SMA di Australia tak bisa lagi mengadakan study tour ke Indonesia. Padahal dari kegiatan itulah mereka mengenal Indonesia dan kemudian menjadi pilihan studinya di universitas (Tempo edisi 14-20 November 2011, hlm. 81).

Usai lengsernya Soeharto, instabilitas Indonesia memunculkan persepsi buruk di mata publik Australia. Penelitian Lowy Institute pada 2011, misalnya, menunjukkan mayoritas orang Australia, sekitar 69 persen, masih percaya bahwa Indonesia dikendalikan militer.

Kini usaha memperkenalkan Indonesia kepada khalayak akademis Australia sedang dirintis kembali oleh Universitas Monash. Herb Feith Profesor untuk Studi Indonesia Universitas Monash Ariel Heryanto mengatakan, mulai akhir tahun ini Fakultas Sastra akan memberikan kesempatan kepada ratusan mahasiswa S1 untuk berkunjung ke Indonesia.

“Mereka bisa saja belajar tentang ilmu alam, pertanian atau teknologi, dan diajak merasakan berbenturan dengan kehidupan di luar Australia. Syukur-syukur bila dari kunjungan singkat itu, mereka jadi jatuh cinta pada alam dan kebudayaan Indonesia. Jadi berminat belajar bahasa Indonesia,” tutur Ariel kepada Tirto melalui surat elektronik, Sabtu dua pekan lalu.

infografik studi indonesia di jerman australia

Kecenderungan mutakhir di Australia studi Indonesia atau Asia Tenggara tidak lagi menjadi sebuah program tersendiri. Kini kajian Indonesia atau Asia Tenggara menyebar ke berbagai unit pengajaran disiplin keilmuan—seperti di program studi sejarah, sosiologi atau ilmu politik.

Universitas Monash, tempat Ariel mengajar dan meriset, memiliki Monash Asia Institute (MAI). Lembaga ini lebih banyak bergerak di bidang penelitian ketimbang pengajaran. Kajian Asia Tenggara menjadi bagian dari MAI dan kajian Indonesia lebih menonjol ketimbang kajian tentang masyarakat lain di Asia Tenggara.

Dalam amatan Ariel, jumlah mahasiswa yang secara khusus belajar tentang Asia, termasuk Indonesia, nisbi menurun dibandingkan saat masa Perang Dingin. Tetapi penelitian tentang Asia umumnya justru mengalami peningkatan.

“Jumlah penerbitan buku, artikel di jurnal, dan peserta konferensi yang secara khusus membahas Asia umumnya, dan Indonesia khususnya tetap sehat dan bagus,” ujar penulis buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia ini.

Kampus di Australia yang punya pusat studi Asia Tenggara atau Indonesia di antaranya Australian National University, Universitas Monash, Universitas Sydney, Universitas Melbourne, dan Universitas La Trobe.

Seperti halnya di Jerman, pilihan topik kajian pun kini mengalami pergeseran. Dahulu peneliti umumnya tertarik pada berbagai aspek kehidupan di Indonesia, termasuk bahasa, kebudayaan, kesusasteraan, politik, miiter, pembangunan, pedesaan, sejarah, masalah keagamaan, media massa, musik, kesenian dan jender. Kini, menurut Ariel, topik yang digarap lebih mengerucut—politik kenegaraan, industri, Islam, atau teror dan keamanan.

Sementara itu, dalam pandangan dosen The Australian National University Edward Aspinall, seperti dikutip Tempo, topik kajian makin beragam sejak Reformasi 1998. Topik-topik itu meliputi masalah desentralisasi, feminisme, kemerdekaan pers, hak asasi manusia, rekonstruksi Aceh, investasi modal asing di daerah-daerah, hingga masalah lingkungan hidup (hlm. 78).

Baca juga artikel terkait INDONESIANIS atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan