tirto.id - Sekitar satu abad silam, sejarawan Prancis, Ernest Renan (1823-1892), menulis ikhtisar mengenai penemuannya tentang asal-usul dan awal sejarah Islam berjudul “Mahomet and the Origins of Islamism” dalam bukunya Studies of Religious History (1893: 187).
“Dari pelbagai pandangan akhirnya kita sampai pada hasil tunggal: gerakan umat Islam muncul dari gerakan yang hampir tanpa keyakinan keagamaan. Dengan mengesampingkan sejumlah kecil pengikutnya yang setia, Muhammad berkarya di Arab benar-benar hanya dengan sedikit keyakinan keagamaan, dan tidak pernah berhasil mengatasi oposisi yang diwakili oleh kelompok Umayyah.”
Untuk beberapa tahun, para sarjana Barat yang mempelajari asal-usul Islam masih terus berpegang pada pandangan-pandangan semacam itu. Pandangan bahwa Nabi Muhammad--wafat pada 8 Juni 632 Masehi, tepat hari ini 1389 tahun silam--dan para sahabatnya terutama dimotivasi oleh pelbagai faktor selain agama. Dan bahwa keluarga Umayyah, yang memerintah atau berkuasa mulai tahun 661 hingga 750, secara fundamental bersikap durjana terhadap esensi gerakan Muhammad.
Komentar Renan tentang Islam yang muncul dari "gerakan yang hampir tanpa keyakinan keagamaan”, telah dianut secara agak lamat-lamat oleh banyak sarjana berikutnya, biasanya melalui proses reduksionisme. Kekuatan yang mendorong gerakan yang dimulai oleh Muhammad diidentikkan sebagai “benar-benar” sesuatu yang bukan keyakinan keagamaan.
Pada akhir abad ke-19, Hubert Grimme berusaha membuktikan bahwa khotbah Rasulullah yang perdana dan utama adalah reformasi yang bersifat sosial, bukan agama. Sementara W. Montgomery Watt, yang merefleksikan posisi yang dominan di dalam ilmu sosial pada pertengahan abad ke-20 berpendapat, gerakan tersebut didorong oleh tekanan sosial ekonomi pada masyarakat saat Muhammad hidup. Sarjana yang lain, termasuk I. Caetani, C.H. Becker, B. Lewis, P. Crone, G. Bowersock, I. Lapidus, dan S. Basher berpendapat, gerakan Muhammad benar-benar semacam gerakan perjuangan politik nasionalis atau “suku asli” (native). Agama dianggap sebagai perkara sekunder yang implikasinya semata-mata merupakan dalih untuk tujuan yang sebenarnya.
Maxime Rodinson
Maxime Rodinson (1915-2004) merupakan sejarawan asal Prancis yang terkemuka dalam Kajian Asia Barat, dunia Arab, dan Islam. Menurut Jean Batou dalam esainya, “Maxime Rodinson Was a Revolutionary Historian of the Muslim World”, subyek pilihan Rodinson berkisar dari Arab abad ke-7 hingga perubahan sosial di Asia Barat modern. Warisan intelektual itu sangat penting bagi kaum Kiri karena Rodinson berusaha mendedahkan perkembangan politik dan sosial dalam masyarakat Arab dengan bantuan konsep-konsep Marxis, tetapi tidak dogmatis.
Sepanjang hidupnya, Rodinson memusatkan perhatian pada kenyataan-kenyataan masyarakat Muslim. Kerap kali apa yang dia katakan dialamatkan kepada pihak-pihak yang--meski sesungguhnya lemah dari sudut pengetahuan yang bersangkutan--merupakan lawan yang cukup hebat karena dampak dari pernyataan dan pendapat mereka terhadap opini publik.
Meski demikian, reaksi Rodinson terhadap orang-orang seperti itu tidak seperti yang lazim ditemui pada para spesialis yang tinggi hati, yang menutup diri kecuali pada pengetahuannya sendiri, seraya menolak pelbagai pendekatan lawannya yang dianggapnya amatiran.
Menurut Abdou Filali-Ansary dalam Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? (2009: 75-82), Rodinson berangkat dari titik permulaan yang berbeda dengan para orientalis: alih-alih mempelajari doktrin Islam per se dan kemudian mengambil generalisasi atas masyarakat atau peradaban Islam sembari menyuntikkan bias supremasi Barat (Occident) terhadap Timur (Orient).
Rodinson menganjurkan untuk mempelajari masyarakat Muslim, terutama dari sisi perkembangan sejarah dan sisi-sisi kemasyarakatan lainnya, untuk mengerti Islam dan Muslim secara lebih komprehensif. Menurutnya, perkembangan sejarah dan institusi-institusi kemasyarakatan seperti khalifah, otoritas ulama, mekanisme pengaturan zakat, dan lain sebagainya menjadi butir-butir penting yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, Rodinson juga mencoba menunjukkan kelemahan analisis-analisis orientalis tentang masyarakat Muslim juga akar dari analisis tersebut, yaitu analisis Weberian dalam artian sebagai analisis kulturalis atas kapitalisme. Bagi Rodinson, kelemahan analisis orientalis dan Weberian sesungguhnya semenjana tetapi sangat mendasar: bagaimana mungkin meneroka kapitalisme hanya dengan menggunakan kacamata budaya tetapi abai dengan perubahan dan dinamika struktur sosial, terutama ekonomi-politik, yang menjadi pendorong utama dari kapitalisme itu sendiri?
Namun, Rodinson tidak terjebak pada penjelasan ekonomisme atau determinisme ekonomis ala beberapa analisis Marxis yang cenderung menyederhanakan persoalan menjadi perihal basis ekonomi semata. Rodinson menyadari bahwa ada otonomi relatif suprastruktur, dalam hal ini Islam sebagai ‘ideologi’ dan persoalan negara dalam pemikiran politik Islam.
Masalah ini terlihat dalam penjelasan Rodinson mengenai Islam sebagai ideologi, yang diartikan secara general, yakni suatu susunan ide-ide yang dapat menggerakkan banyak orang mengenai bagaimana mengatur suatu masyarakat. Inilah ketegangan pertama dalam pemikiran Rodinson.
Biografi Kiri Muhammad
Ketegangan kedua dapat dilihat dalam titik berat pemikiran Rodinson terhadap struktur dan dinamika sosial serta ekonomi-politik dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitannya terhadap structure-agency problem dalam ilmu sosial, beberapa kritik menganggap bahwa Rodinson terlalu menitikberatkan pada aspek struktur dan melupakan aspek agensi dan pengaruh aspek ide. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam biografi karya Rodinson tentang Nabi Muhammad yang berjudul Mohammed (1971), yang cenderung dingin sekaligus objektif.
Rodinson menulis tentang Rasulullah bukan dari perspektif seorang Muslim yang taat, melainkan dari perspektif seseorang yang mencoba melihat Rasulullah sebagai manusia biasa, sebagai individu, pemimpin agama, dan politikus. Rodinson menyadari kritik tersebut, karena itu ia memberikan analisis dan porsi yang seimbang antara aspek struktur vis a vis peranan ide dalam analisis Marxisnya, sebagaimana terlihat dalam penjelasannya mengenai ‘ideologi’ Islam.
Simpulan dari investigasi Rodinson terhadap masyarakat Muslim: tidak ada atau sangat sedikit faktor-faktor ‘kultural’ atau ‘religius’ yang inheren yang membuat masyarakat Muslim ‘tertinggal’ atau ‘susah menerima’ aspek-aspek dari modernitas, terutama apabila dibandingkan dengan ‘peradaban’ atau kebudayaan liyan.
Rodinson memperjuangkan kesatuan antara teori dan praktik. Maka itu, dalam berbagai kesempatan ia sebisa mungkin membantu kawan-kawan Timur Tengah-nya yang aktif di pergerakan progresif di negaranya masing-masing.
Menurut Rodinson, untuk menjalankan metode ini dengan baik, kuncinya adalah ‘kesadaran antropologis,’ yaitu pengetahuan yang mendalam akan karakter-karakter suatu masyarakat--dalam hal ini masyarakat Muslim--karena itu akan membantu dalam melaksanakan ‘cara berpikir yang materialis.’
Mohammed karya Maxime Rodinson--pertama kali terbit dalam bahasa Prancis tahun 1961-- menandai suatu penyimpangan perspektif dalam kajian Barat atas Islam pada masanya karena menyajikan tentang manusia yang berdarah daging (jasmaniah). Buku itu melukiskan Muhammad secara fisik seolah-olah dia berdiri di depan kita:
“Muhammad berprofil tinggi sedang, dengan kepala besar tetapi wajah yang tak bulat atau montok sama sekali. Rambutnya sedikit keriting dan matanya besar, hitam, dan membuka di bawah bulu mata nan panjang.”
Rodinson selanjutnya melukiskan potret psikologis Muhammad:
"Dia tidak berbunga-bunga. Kebahagiaan, dengan keterbatasannya, penerimaan Muhammad yang tenang atau penuh semangat, tidak dibuat untuk mereka yang selalu melihat melampaui apa adanya dan apa yang mereka miliki, yang semangat pencariannya selalu menjangkau hal-hal berikutnya yang diinginkan. Dan masa kanak-kanak yatim piatu nan miskin dan kekurangan yang mengikat Muhammad, telah mendorong pertumbuhan kapasitas keinginan Muhammad yang tak tepermanai. Hanya kesuksesan dalam skala yang luar biasa, bahkan bisa dikatakan 'manusia super', yang akan memuaskannya."
Rodinson juga mencoba memberikan analisis materialistik perihal asal-usul dan awal Islam di suatu tempat, dan pada waktu ketika ide-ide al-kitabiah dengan kafilah pedagang bertautan. Pada 610 Masehi, ketika berusia empatpuluh tahun, Muhammad mulai membacakan firman-firman Tuhan yang dia yakini telah didiktekan oleh Allah, yang kemudian kita kenal sebagai mukjizatnya yakni Al-Qur’an. Keyakinan baru ini diklaim menyatukan monoteis sejati dengan meninjau kembali dan melampaui tradisi Yahudi dan Kristen, serta memberikan identitas spiritual bersama kepada semua orang Arab melintasi batas identitas kesukuan mereka.
Tahun 622, setelah sebelumnya memaksa Muhammad hijrah ke Madinah, aristokrasi Makkah berkumpul di sekitar kepemimpinannya. Muhammad dan penerusnya memimpin pasukan Badui yang perkasa dalam penaklukan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Andalusia (Spanyol). Akan tetapi, pada saat yang sama, Islam tetap terikat pada posisi egaliter aslinya, sering kali menghalangi kekuasaan absolut bagi para khalifah, amir, dan sultan yang datang setelahnya.
Dalam bab terakhir buku Mohammed (1971), Rodinson menolak jenis “determinisme primitif” yang kadang-kadang dikaitkan dengan Marxisme, yang menurutnya “seandainya Muhammad tidak pernah lahir, situasinya akan memanggil Muhammad yang lain.” Ini adalah kiasan Rodinson untuk ‘meninju’ filsuf Marxis Rusia George Plekhanov, yang dalam esai klasiknya “On the Role of the Individual in History” (1940) telah membuat klaim yang mirip tentang Napoleon Bonaparte (1769-1821).
Bagi Rodinson, jalannya peristiwa sejarah tidak dapat dijelaskan dengan begitu teratur:
"Muhammad yang berbeda, datang duapuluh tahun kemudian, mungkin telah menemukan Kekaisaran Bizantium terkonsolidasi, siap untuk melawan serangan suku-suku gurun dengan sukses. Arab mungkin telah masuk Kristen. Situasi tersebut membutuhkan solusi untuk sejumlah masalah krusial, seperti yang telah kita lihat; tetapi solusi ini mungkin dengan mudah berbeda dari solusi yang benar-benar terjadi. Lemparan dadu dan peluang yang berbeda membutuhkan antrian baru."
Rodinson juga menambahkan:
"[...] Selama beberapa abad penjelasan yang dihasilkan oleh orang-orang Kristen dan rasionalis telah menyatakan bahwa Muhammad bersalah atas pemalsuan, dengan sengaja menghubungkan kepada Allah pemikiran dan instruksinya sendiri. Kita telah melihat bahwa teori ini tidak dapat dipertahankan. Yang paling mungkin, seperti yang telah saya jelaskan panjang-lebar, adalah bahwa Muhammad benar-benar mengalami fenomena indrawi yang diterjemahkan ke dalam kata-kata dan frasa dan bahwa dia menafsirkannya sebagai pesan dari Yang Maha Tinggi. Dia mengembangkan kebiasaan menerima wahyu-wahyu ini dengan cara spesial dan khas. Ketulusannya tampak tanpa keraguan, terutama di Makkah ketika kita melihat bagaimana kuasa Allah mendesak, menghukum, dan menuntunnya ke langkah-langkah yang sangat tidak ingin dia ambil."
Pandangan yang dikemukakan Ernest Renan dan Maxime Rodinson ini tentu problematik. Menurut Fred McGraw Downer dalam Muhammad and the Believers: at the origins of Islam (2010: xix-xx), Islam dimulai sebagai gerakan keagamaan, bukan semata-mata gerakan sosial, ekonomi, atau “nasional”.
Gerakan yang monoteistik ini membentuk suatu kepedulian yang sangat kuat untuk mencapai keselamatan pribadi melalui kesalehan. Umat Islam sangat peduli terhadap perkara sosial dan politik, hanya sejauh berkaitan dengan konsep kesalehan dan tingkah laku yang diperlukan untuk memastikan keselamatan.
Editor: Irfan Teguh