Menuju konten utama
26 Juni 1936

Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik

Bagi Snouck Hurgronje, yang perlu dijinakkan adalah Islam sebagai aspirasi politik.

Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik
Ilustrasi Mozaik Haji Abdul Gaffur. tirto.id/Sabit

tirto.id - Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah nama yang tak asing bagi banyak orang Indonesia yang belajar islamologi dan sejarah. Sebagai seorang orientalis, kepakarannya dalam studi Islam memang sangat diakui.

Berasal dari keluarga Protestan taat, ia memulai karier akademik dengan belajar teologi di Universitas Leiden pada 1874, dan lulus sebagai doktor di kampus yang sama pada 1880 dengan disertasinya yang terkenal: Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah).

Dalam narasi sejarah Indonesia, ia banyak dikonstruksikan sebagai “aktor jahat” di balik takluknya Aceh oleh pemerintah kolonial dalam perang yang berlangsung dari 1878 hingga 1908. Ia juga dianggap sebagai pembelah sekaligus pelemah Islam Indonesia.

Segala macam sinisme dan pandangan negatif yang tercurah padanya tentu bukan tanpa dasar. Dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (1958), Harry J. Benda mengatakan, memang Snouck lah yang telah merumuskan untuk memisahkan Islam dari politik dengan memilahnya menjadi dua bagian, yakni Islam religius dan Islam politik. Kesimpulan ini ia peroleh setelah melakukan penelitian kesusastraan, sejarah, dan etnografi selama bertahun-tahun (hlm. 44-45).

Tak Pandang Bulu terhadap Islam Politik

Sebelum kedatangan Snouck ke Hindia Belanda pada 1889, kebijakan yang diambil pemerintah kolonial terhadap Islam terkesan inkonsisten. Di satu sisi, mereka mengembangkan sikap tidak mau ikut campur dalam urusan-urusan ritual umat Islam, seperti saat ibadah salat, zakat, ataupun jika umat Islam hendak membangun masjid. Namun di sisi lain, mereka justru bersikap represif terhadap orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji.

Segala macam ketakutan dan kerancuan kebijakan terhadap Islam ini bukannya tanpa sebab. Pecahnya Perang Padri pada 1803-1838 serta Perang Jawa pada 1825-1830 sudah cukup menjadi pelajaran bagi pemerintah kolonial. Betapa dahsyatnya kekuatan politik Islam ini sebagai penyulut konflik jika sampai salah langkah lagi dalam mengantisipasinya.

Selain itu, belum adanya pedoman ilmu pengetahuan yang memadai mengenai masalah Islam juga merupakan masalah lain yang harus segera dipecahkan. Sehingga, mau tak mau, pemerintah kolonial harus mengambil sikap defensif dan berhati-hati terhadap umat Islam.

Mengetahui kebijakan para pendahulunya yang keliru, Snouck bergerak cepat. Melalui De Atjeher (1893), buku etnografinya tentang masyarakat Aceh, ia menawarkan solusi penyelesaian terhadap Perang Aceh yang berlarut-larut serta penanganan Islam di Hindia Belanda secara menyeluruh.

Seperti diungkap Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986), Snouck menegaskan bahwa pada dasarnya Islam di Hindia Belanda adalah agama yang damai. Namun, anak pendeta dari Oosterhout ini juga tak menutup mata terhadap kekuatan fanatisme politik dalam Islam. Maka ia mengatakan, yang menjadi musuh pemerintah kolonial bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (hlm. 10-12).

Snouck juga membagi golongan Islam menjadi tiga kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas, yakni Islam sebagai ritual keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang kemasyarakatan, dan Islam dalam bentuk kenegaraan.

Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia menawarkan tiga pendekatan yang berbeda pula. Sebagaimana diungkap Benda, kepada yang pertama, pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur di dalamnya. Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji. Tetapi untuk kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu (hlm. 44-48).

Secara umum, apa yang dimaksud Snouck adalah keberadaan orang Islam bukanlah ancaman terhadap keberlangsungan pemerintahan kolonial. Maka, toleransi kepada umat Muslim merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk menjaga rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Penindasan terhadap mereka bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak perlu. Malahan tidak terhormat bagi negara semacam Belanda, yang menjunjung tinggi asas kebebasan beragama.

Infografik Mozaik Haji Abdul Gaffur

Infografik Mozaik Haji Abdul Gaffur. tirto.id/Sabit

Warisan Akhir

Warisan pemikiran Snouck bagi kebijakan Belanda terhadap Islam dapat dilacak dari lembaga yang lahir setelah memperoleh masukan darinya. Salah satunya mengenai pengangkatan penghulu di daerah-daerah sebagai pegawai negeri.

Snouck mengatakan, fungsi penghulu adalah membantu tugas bupati dalam mengawasi kemunculan Islam politik. Selain digunakan sebagai alat kontrol, para penghulu ini juga bisa dimanfaatkan menjadi penghubung aspirasi umat Islam di akar rumput dengan pemerintah kolonial.

Warisan penting lain adalah pemikirannya tentang pendidikan di Indonesia. Snouck memimpikan kesatuan pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Di dalamnya, kedua unsur itu bisa menjadi partner dalam kehidupan budaya dan sosial. Kebijakan semacam ini menurutnya akan mampu menutup jurang pemisah antara pemerintah dengan rakyat kebanyakan dan mencegah fanatisme Islam lewat pendidikan ala Eropa.

Pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 85 tahun lalu, Snouck Hurgronje meninggal dunia di Leiden. Gagasan sekaligus kontroversinya masih terus mewarnai wacana Islam politik Indonesia hingga hari ini.

==========

Versi awal artikel ini ditayangkan pada 26 Juni 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait ISLAM POLITIK atau tulisan lainnya dari Mustaqim Aji Negoro

tirto.id - Humaniora
Penulis: Mustaqim Aji Negoro
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh