tirto.id - Senin, 3 Juli 2000, seorang profesor dari Columbia University sedang jalan-jalan bersama keluarganya di Lebanon. Gayanya semi-necis: kaos hitam bagian dalam, kemeja biru bagian luar, topi, kacamata hitam, jam tangan di sebelah kiri, dan sepatu merah mengilat.
Ia menyempatkan mampir ke penjara El-Khiam, yang terkenal menjadi tempat penyiksaan pasukan perlawanan Lebanon oleh tentara Israel. Saat itu, Israel baru saja angkat kaki dari Lebanon selatan usai pendudukan selama 18 tahun. Selama itu pula sang profesor tak pernah singgah ke Lebanon.
Dari penjara, ia dan keluarganya pergi ke sebuah desa perbatasan, tempat tentara Israel membangun sebuah pos militer. Desa itu bernama Kafr Killa.
Di wilayah perbatasan itu, sang profesor menggenggam sebuah batu di tangan kanannya dan mengambil ancang-ancang. Berjarak kurang lebih 30 kaki dari tempatnya berdiri ke tentara Israel di atas menara pengawas, ia melemparkan batu itu ke arah tentara. Batu hanya menabrak pagar kawat berduri di depan menara pengawas, tanpa mengenai siapa pun.
Momen itu direkam oleh seorang fotografer dari kantor berita agensi berbasis di Prancis. Setelah kejadian itu, sang profesor dikecam oleh banyak pihak dan bikin publik Israel berang.
Dua hari kemudian, sang profesor mengeluarkan pernyataan resmi dan mengeklaim dirinya sadar atas apa yang dilakukan. Ia mengaku bahwa hari itu bukan hanya dirinya yang melempar batu, tapi banyak orang lain. Mereka melempar batu untuk merayakan satu hal: “membuat isyarat kegembiraan simbolis bahwa pendudukan telah berakhir.”
Di dalam berita Columbia Spectator—pers mahasiswa dari kampus tempat sang profesor mengajar—yang terbit sekitar dua pekan setelah kejadian pelemparan batu itu, sang profesor mengaku heran atas kecaman publik.
“Ini bukan kebencian terhadap Israel. Itu adalah sikap anti-pendudukan. Saya punya banyak teman Israel. Saya pernah mengajar di Israel dan memiliki beberapa kontak di sana. Saya tentu sangat menentang pendudukan militer dalam bentuk apa pun, baik oleh Israel di negara-negara Arab, Irak, atau Kuwait atau apa pun,” katanya.
“Saya menentang segala jenis pendudukan.”
Di Columbia University, profesor yang terkenal kritis terhadap ragam kebijakan Amerika Serikat dan Israel atas negara-negara Arab, serta membela kemerdekaan Palestina itu mengajar sastra Inggris dan perbandingan sejak 1963. Intelektual berani dan kritis berdarah Palestina itu bernama Edward Wadie Said.
Mentereng Berkat Kritik Orientalisme
Said lahir pada 1 November 1935 di Yerusalem, kota di Palestina yang akhirnya dirampas paksa oleh Israel dan menjadi episentrum konflik tanpa akhir kedua negara hingga hari ini. Ayahnya adalah pebisnis yang beberapa kali tinggal di Amerika Serikat. Pada 1947, keluarganya terpaksa pindah ke Kairo, Mesir, untuk menghindari konflik pembagian wilayah Palestina oleh PBB saat itu.
Empat tahun kemudian, ia pindah ke Amerika Serikat dan menghabiskan seluruh masa studinya di sana: meraih gelar sarjana di Princeton University (1957), serta selesaikan master dan doktoralnya di Harvard University (1960 & 1964).
Pada 1963, sebelum selesaikan doktoralnya, Said mulai mengajar sastra Inggris di Columbia University dan dipromosikan sebagai profesor penuh pada 1969. Tak sampai satu dekade, Said menghasil mahakarya yang menjadi salah satu buku paling penting dalam studi ilmu sosial abad ke-20: Orientalism (1978).
Di dalam bukunya itu, Said menggugat cara pandang para sarjana dan seniman Barat yang selama ratusan tahun meneliti dan menggambarkan dunia Timur lewat penafsiran dan definisi mereka sendiri, bukan dari orang-orang yang hidup di Timur. Singkatnya: memahami dunia Timur, namun menggunakan kacamata Barat.
Diskursus itu disebut “orientalisme”, dan Said mengkritiknya dengan sangat keras. Ia menolak dirinya, cara pandangnya, dan identitasnya sebagai orang Timur didefinisikan sesuka hati para sarjana Barat yang ia sebut sebagai “orientalis”.
“Orientalisme merupakan suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis antara 'Timur' dan [hampir selalu] 'Barat',” tulisnya. “Timur adalah 'yang lain' (the other) bagi Eropa.”
Said sadar bahwa terminologi “orientalisme” kurang digandrungi oleh para pakar di saat bukunya diterbitkan. Mereka lebih suka menyebutnya dengan “kajian ketimuran” atau “kajian wilayah".
“Baik karena istilah tersebut terlalu kabur dan umum, maupun karena istilah itu memiliki konotasi dengan sikap eksekutif penjajah yang congkak dari kolonialisme Eropa abad XIX dan awal abad XX,” tulis Said.
Menurutnya, orientalisme sudah kadung kuat dan menjadi salah satu titik kunci hegemoni bangsa Eropa saat menjajah bangsa-bangsa di wilayah Timur.
“Sedemikian otoritatifnya posisi orientalisme dalam dunia pemikiran saat itu hingga membuat saya yakin bahwa tak ada seorang pun yang bisa menulis, berpikir, atau bertindak terhadap dunia Timur tanpa mempertimbangkan batas-batas pemikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme,” katanya.
Bagi para akademisi yang memiliki fokus studi di ranah pemikiran kolonialisme dan pascakolonial, dua buku Said, Orientalism dan Culture and Imperialism (1993), menjadi bacaan wajib. Walau sebetulnya, pemikir asal Aljazair Malek Bennabi sudah lebih dahulu mengkritik metodologi penelitian Barat dalam mengkaji Timur, namun nama Said menjadi lebih terkenal.
Bertemu Michel Foucault dan Kecewa
Suatu hari pada Januari 1979, satu tahun setelah karyanya itu terbit, di rumahnya di New York, Said sedang mempersiapkan diri untuk mengisi kelas. Namun, tiba-tiba ia mendapat sebuah telegram bahwa dirinya diundang untuk hadir di sebuah seminar membahas perdamaian Timur Tengah oleh sebuah jurnal Prancis yang terkenal, Les Temps modernes. Seminar itu diadakan pada 13 dan 14 Maret 1979.
“Mohon dibalas,” tutup telegram itu, yang ditulis oleh pasangan filsuf feminis dan filsuf eksistensialis asal Prancis: Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre.
Saat tiba di Paris, Said diberi kabar bahwa pertemuan akan diadakan di apartemen milik Michel Foucault, salah satu filsuf penting abad ke-20 asal Prancis. Sesampainya di lokasi, keadaan sudah ramai. Ada beberapa pemikir dan aktivis dari negara-negara Arab seperti Ibrahim Dakkak, Nafez Nazzal, hingga mantan kepala intelijen militer Israel, Yehoshafat Harkabi.
Pada pertemuan itu, mereka membahas banyak hal: arti perjanjian damai antara Mesir dan Israel, perdamaian antara Israel dan dunia Arab pada umumnya, hingga pertanyaan yang lebih mendasar ihwal masa depan kehidupan bersama antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya.
Said dan para aktivis negara-negara Arab merasa heran karena diskusi hari itu seperti mengabaikan permasalahan yang dihadapi bangsa Palestina dan malah cenderung bicara soal perluasan wilayah Israel.
“Tentu saja tak ada yang menyebut soal penjajahan dan pendudukan Israel, yang dalam banyak hal sama dengan apa yang dilakukan Prancis di Aljazair,” kata Said. Ia kecewa terhadap Foucault. Said menuliskan cerita itu dalam Diary: My Encounter with Sartre (2000). Catatannya ini pernah diterjemahkan oleh sebuah penerbit Yogyakarta pada 2019 lalu.
Pada akhir 1980-an, filsuf Gilles Deleuze bercerita kepada Said, bahwa dirinya pernah berteman dengan Foucault namun berbeda pandangan terkait konflik Palestina dan Israel.
“Foucault mengekspresikan dukungan terhadap Israel, sedangkan Deleuze mendukung Palestina,” kata Said. “..sampai aku akhirnya bisa paham mengapa ia (Foucault) tampak sangat enggan berbicarakan politik Timur Tengah denganku.”
Padahal, Said sangat kagum dengan Foucault, terutama dengan konsep “arkeologi”-nya. Ia bahkan pernah membuat artikel jurnal khusus membahas Foucault tujuh tahun sebelum pertemuan itu.
“Istilah yang ia gunakan untuk merujuk pada riset level dasar dan studi arsip mental kolektif, yakni sumber-sumber epistemologis yang memungkinkan kita untuk tahu tentang apa yang diucapkan pada suatu periode tertentu dan di mana—dalam ruang diskursus seperti apa—ia diucapkan,” tulis Said.
Intelektual Tak Tunduk kepada Kekuasaan
Pada 1993, Said diminta untuk mengisi serangkaian kuliah umum di program The Reith Lectures oleh BBC, dengan judul utama Representation of the Intellectual. Ia membahas bagaimana seharusnya peran seorang intelektual di berbagai keadaan di sekelilingnya. Belakangan, rangkaian kuliah umum itu dibukukan.
Said sadar bahwa pembahasan mengenai “intelektual” bukanlah hal baru. Ia menyinggung bagaimana filsuf asal Prancis Julien Benda sudah lebih dulu pernah membahas peran intelektual dalam bukunya yang terkenal The Treason of the Intellectuals (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan) pada 1928.
Dalam kuliah umumnya itu, Said menjelaskan tugas mendasar kaum intelektual adalah mencari dan mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan. Kelompok intelektual itu harus hadir mewakili semua orang dan semua isu yang kerap dilupakan atau bahkan disembunyikan oleh kekuasaan.
“Intelektual harus mengitari, harus punya ruang untuk berdiri dan berkata balik kepada otoritas, karena kepatuhan mati kepada otoritas dalam dunia sekarang merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kehidupan intelektual yang aktif dan bermoral,” kata Said dalam kuliahnya.
Bagi dia, omong kosong jika ada kaum intelektual yang hanya ingin menulis, meneliti, dan belajar untuk diri sendiri. Orang-orang seperti itu, kata Said, harusnya tidak perlu dipercaya.
Intelektual harus mewakili emansipasi kelompok tertindas, memberikan pencerahan kepada orang-orang kecil, bukan justru berjarak dan meminta dilayani. Kata Said, kelompok intelektual macam itu tak ubahnya “dewa-dewa yang selalu gagal”.
“Secara ideal seorang intelektual mewakili emansipasi dan pencerahan. Ia tak pernah sebagai dewa yang harus dilayani, berupa abstraksi atau tak berdarah dan berjarak,” katanya. “Sebagai seorang inteletual, Anda adalah satu-satunya yang dapat memilih antara menyampaikan secara aktif kebenaran dengan semampunya, dan secara pasif mengizinkan seorang patron atau otoritas mengarahkan Anda. Bagi intelektual sekuler, para dewa ini senantiasa gagal.”
Rekam jejaknya yang mentereng sebagai pengkritik keras orientalisme hingga media-media Barat yang bias meliput soal Islam di negara-negara Arab, tak heran jika ia jeli berbicara mengenai peran kaum intelektual. Tak heran pula jika ia dalam salah satu pidatonya tahun 1999, pernah memuji sastrawan Pramoedya Ananta Toer karena karya dan ucapannya yang berani melawan rezim tiran Orde Baru.
Tentu saja, peran kaum intelektual yang dimaksud oleh Said sangat jauh berbeda dengan para akademisi di Indonesia saat ini yang kerap menjadi corong membela rezim yang berkuasa. Para akademisi tumpul yang hanya bisa menyindir sesama akademisi dan kaum intelektual yang turun ke jalan dan protes atas kesewenang-wenangan.
Padahal, dalam lintasan sejarah, banyak contoh kaum intelektual yang ikut protes dan menyuarakan kebenaran hingga turun ke jalan.
Hari ini, 18 tahun lalu, Said meninggalkan dunia. Namun pemikirannya tentang pembelaan orang-orang terjajah oleh para kaum intelektual akan selalu abadi.
Editor: Irfan Teguh