Menuju konten utama

Bahaya Polisi Siber ala Mahfud MD

Pemerintah mau mengaktifkan polisi siber yang mencari penyebar hoaks. Dikhawatirkan rencana ini merusak kebebasan dan 'killing effect'.

Bahaya Polisi Siber ala Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan sambutan dalam pembukaan Rakornas Pengamanan Perbatasan di Jakarta, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

tirto.id - Keberadaan 'polisi siber', yang diusulkan diaktifkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, dikhawatirkan menjadi ancaman baru bagi kebebasan berekspresi masyarakat. Mahfud mengatakan badan ini perlu untuk menindak pelanggaran hukum khususnya penyebaran hoaks.

"Kalau ada orang mengancam-ancam jam delapan pagi, jam 10 sudah ditangkap, bisa kok sekarang. Dan itu banyak sudah dilakukan," kata Mahfud dalam Webinar KAHMI, Senin (28/12/2020) lalu. "Polisi siber kita bisa untuk hal-hal yang kriminil, membahayakan seperti itu," tambahnya.

Dengan mengaktifkan polisi siber, ia berharap media sosial tidak akan terlalu 'liberal' dan menimbulkan kerusakan.

Menurutnya penyebaran misinformasi sudah meresahkan dan itu ia alami sendiri. Contohnya, beredar kutipan dia empat tahun lalu tapi dibuat seolah-olah pernyataan terbaru sehingga menimbulkan kegaduhan.

Salah satu pihak yang khawatir dengan keberadaan polisi siber ini adalah Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar. Menurutnya pemerintah selama ini terlalu fokus menangani misinformasi di sisi hilir melalui pemidanaan, padahal peraturan pemidanaan terkait masih belum lengkap. Akibatnya, sering kali penyebar hoaks dipidana padahal itu dilakukan karena ketidaktahuan atau orang itu juga merupakan korban misinformasi. Selain itu, pasal yang dikenakan pun kerap kali berbelok menjadi ujaran kebencian atau pencemaran nama baik.

Pendekatan pemidanaan juga dinilai bertentangan dengan hak atas privasi karena itu mendorong negara mengerahkan intelijen di media sosial untuk patroli.

Kombinasi dua hal itu berakibat timbulnya 'killing effect', yakni masyarakat takut mengkritik pemerintah, bahkan sekadar menyampaikan pendapat di media sosial.

Fenomena ini sudah tampak bahkan sebelum polisi siber dikerahkan. Berdasarkan survei Indikator Politik pada Oktober lalu, sebanyak 69,6 persen responden menyatakan 'setuju dan sangat setuju' bahwa warga semakin takut berpendapat. Sebanyak 73,8 persen responden juga 'setuju atau sangat setuju' bahwa warga makin sulit berdemonstrasi atau protes. Kemudian, 64,9 persen responden 'setuju atau sangat setuju' aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa saat ini.

Di sisi lain, Wahyudi menyebut mulai Pemilu 2014, Pilkada 2017, hingga hari ini, penyebaran misinformasi semakin tidak terkendali. Hal ini menurutnya "memperlihatkan bagaimana mekanisme pemidanaan yang ditekankan itu belum mampu mengerem penyebaran disinformasi."

"Itu yang mestinya bisa dievaluasi, tidak terlalu lagi menekankan pada pendekatan pemidanaan," kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Rabu (30/12/2020).

Ia menuntut pemerintah mengubah paradigma dalam menangani hoaks dengan beralih ke hulu, salah satunya dengan cara memasifkan literasi digital kepada masyarakat. Wahyudi mengakui bahwa pemerintah sudah melakukan itu, tetapi sifatnya masih selebrasi dan belum sistematik. Ia berharap literasi digital bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.

Selain itu, pemerintah juga harus menggandeng pengelola platform media sosial dalam menangkal hoaks. Menurutnya, pengelola media sosial mampu menyusun algoritma agar unggahan yang dinilai tidak autentik tenggelam dan tidak terbaca oleh pengguna lain.

Sementara pidana tetap ada, namun "hanya diterapkan terhadap mereka yang pekerjaannya terus menerus menyebarkan disinformasi."

Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR RI Sukamta pun menolak usul Mahfud. Menurutnya pemerintah semestinya mulai memberikan perhatian pada jenis kejahatan siber lain, misalnya penipuan. Berdasarkan catatannya, sudah ada 13.520 aduan penipuan dengan total kerugian mencapai Rp1,17 trilliun. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding laporan penyebaran konten provokatif sebanyak 6.745 kasus.

"Ini jumlah aduan dan kerugian yang besar, namun tidak ada langkah serius dan strategis yang dilakukan pemerintah," kata Sukamta, Rabu.

Selain penipuan, sepanjang 2020 banyak terjadi kasus pembobolan data pribadi. Pada Mei lalu, akun Twitter @underthebreach, layanan pengawasan dan pencegahan kebocoran data asal Israel, menyebut telah terjadi peretasan pada 15 juta akun Tokopedia sejak 20 Maret. Kebocoran termasuk email, hash kata kunci, nama, dan nomor telepon. CEO Tokopedia William Tanuwidjaja mengakui hal itu.

Masih pada bulan yang sama, sekitar 2,3 juta data pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 dijual di forum komunitas hacker. Data tersebut berisi sejumlah informasi sensitif seperti nama lengkap, nomor kartu keluarga, nomor induk kependudukan (NIK), tempat dan tanggal lahir, alamat rumah, serta beberapa data pribadi lain.

Hingga saat ini tidak jelas kelanjutan kasus-kasus tersebut.

Baca juga artikel terkait POLISI SIBER atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino