tirto.id - Bencana alam melanda sejumlah wilayah di Indonesia secara beruntun. Itu berdampak pada fasilitas dan layanan kesehatan, termasuk penanganan pandemi COVID-19.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sulawesi Barat Muhammad Ikhwan menjelaskan warga di pengungsian “tidak lagi melakukan 3M (menjaga jarak, mencegah kerumunan, menggunakan masker).” “Dan 3T (testing, tracing, treatment) juga sudah tidak berjalan,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (18/1/2021).
Sulbar diguncang gempa dengan kekuatan 5,9 SR dengan kedalaman 10 kilometer dan berpusat di darat, tepatnya 4 kilometer barat laut Kabupaten Majene, 17 Januari. Setelahnya gempa susulan terus terjadi.
Per 18 Januari, 84 orang meninggal dunia, 679 luka ringan, dan 253 luka berat. Selain itu, 19.435 warga harus mengungsi, paling banyak dari Kabupaten Mamuju.
Selain korban jiwa, tujuh puskesmas pun rusak. Hanya tersisa satu rumah sakit yang bisa beroperasi dengan baik, yakni RS Regional Sulawesi Barat.
Akibatnya para pasien, termasuk pasien COVID-19, harus dirawat di tenda-tenda darurat. Bahkan pasien COVID-19 dari RS Regional Sulawesi Barat sempat dirawat di masjid karena pasien dan tenaga kesehatan khawatir terjadi gempa susulan. Beruntung tak ada pasien dengan gejala berat yang membutuhkan ventilator saat gempa terjadi sehingga evakuasi bisa berjalan lancar.
Sebagian besar tenaga kesehatan pun tak bisa bekerja setelah gempa karena ikut mengungsi akibat rumah roboh atau trauma. Sejumlah relawan tenaga kesehatan dari pelbagai daerah pun didatangkan untuk membantu. “Kami mengandalkan teman-teman relawan dari luar untuk menangani fase akutnya ini, satu atau dua minggu ke depan,” kata Ikhwan.
Ketua Satgas Covid-19 IDI wilayah Sulselbar dr. Abdul Azis mengatakan para tenaga kesehatan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah penularan COVID-19. Salah satunya adalah memastikan relawan yang berangkat sudah dikonfirmasi negatif melalui swab antigen dan wajib menggunakan APD kala bertugas.
Saat ini relawan masih membutuhkan alat swab antigen untuk screening COVID-19 pada pasien yang terluka akibat gempa. Senin kemarin baru 100 alat swab antigen yang masuk ke Mamuju.
Selain itu, pihaknya juga memerlukan APD untuk menangani pasien terkonfirmasi COVID-19 maupun bergejala COVID-19, dan obat-obatan untuk mengobati luka dan keperluan operasi setelah gempa.
“Yang paling penting alat screening karena di sini sangat terbatas, minimal kami swab antigen mendapat bantuan yang banyak supaya protokol screening itu tetap kami akukan. Jadi tidak serta merta karena ini bencana lantas kita abai,” kata Azis kepada reporter Tirto, Selasa (19/1/2021).
Masalah juga terdapat di pengungsian. Menurutnya, di tengah situasi yang serba terhimpit, masyarakat sudah mengabaikan protokol kesehatan, dan otoritas pun tak bisa melakukan tindakan tegas karena warga masih trauma.
Provinsi Kalimantan Selatan juga dilanda bencana banjir sejak Selasa (12/1/2021). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat per Sabtu (16/1/2021) lalu sebanyak 27.111 rumah terendam dan 112.709 warga mengungsi.
Sama seperti di Sulbar, di provinsi ini pun penanganan COVID-19 tak lagi maksimal. “Yang jadi masalah adalah di lokasi-lokasi penampungan atau pengungsian. 3T dan 3M agak sulit dilaksanakan. Pertama dari kesediaan barang itu sendiri; kedua dari kondisi; ketiga mereka untuk makan saja sudah kesulitan sehingga kemungkinan penularan di sekitar situ jadi semakin banyak,” Ketua IDI Kalsel Rudiansyah menjelaskan kepada reporter Tirto, Senin (18/1/2021).
Kepala Dinas Kesehatan Kalsel H.M Muslim pun menyadari itu. Ia mengaku telah mengirimkan fasilitas cuci tangan dan masker ke titik-titik pengungsian. Dinas Kesehatan juga sudah mengirimkan alat rapid tes antigen untuk melakukan screening terhadap warga. Hanya saja aparat tetap sulit membuat warga mau menjaga jarak.
Meski demikian, menurutnya banjir itu tak memengaruhi rumah sakit rujukan COVID-19. Pasalnya, pengungsi banjir yang sakit atau luka-luka akan lebih dulu ditangani di posko kesehatan, selanjutnya baru dirujuk ke rumah sakit dan tak melulu ke rumah sakit rujukan COVID-19.
Selain itu, tingkat keterisian ruang isolasi COVID-19 di Kalsel sepekan sebelum banjir pun baru 48 persen.
“Sampai saat ini berdasarkan pemantauan kami relatif masih bisa ditangani karena penyakit yang terbanyak di antaranya kutu air, sakit kepala, gangguan asam lambung, dan hipertensi,” kata Muslim kepada reporter Tirto, Selasa.
Satgas penanganan pandemi tingkat pusat telah membuat protokol mencegah penularan Corona di tempat pengungsian. Salah satunya dengan memisahkan pengungsi rentan seperti lansia dan penderita komorbid dengan kelompok muda. Kemudian pemerintah harus menyediakan sarana kebersihan.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan mereka juga berupaya mencegah penularan langsung dengan menggelar usap antigen massal. Masyarakat yang reaktif akan dirujuk ke dinas kesehatan setempat.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino